Sunday, July 8, 2007

NU di Tengah Arus Radikalisme Islam

Oleh Abd Moqsith Ghazali

09/03/2006

Sekarang adalah momentum yang tepat bagi NU untuk sosialisasi ke luar, tentu dengan meniscayakan adanya stok salesman yang mampu memasarkan gagasan moderat NU hingga menembus level dunia. Sosialisasi jelas bukan hanya untuk tujuan mengerem laju stigmatisasi Islam yang terus berjalan, melainkan juga untuk menggantikan model keislaman Timur Tengah yang dominan dan keras.

Tulisan ini sebelumnya dimuat dalam Koran Tempo, Sabtu, 4 Februari 2006

Nahdhatul Ulama adalah salah satu ormas keagamaan paling tua di negeri ini. Pada tanggal 31 Januari 2006, ia telah memasuki usia ke 80. Dalam tempo yang panjang tersebut, NU telah menorehkan banyak kontribusi bagi kelangsungan bangsa dan negara ini. Tak ada keraguan, NU adalah ormas keagamaan yang memiliki komitmen tinggi bagi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di bawah tenda besar bernama Pancasila. Di tengah resistensi yang kuat dari sebagian umat Islam terhadap Pancasila, melalui muktamarnya yang ke-27 tahun 1984 di Situbondo Jawa Timur, NU melakukan terobosan dengan menerima asas tunggal Pancasila dan menyatakan bahwa bentuk negara kesatuan republik Indonesia adalah keputusan final. Dalam konteks ini, bisa dikatakan bahwa NU bukan sekadar punya komitmen melainkan sangat fanatik terhadap Indonesia dengan Pancasilanya ini.

Berbeda dengan ormas keislaman lain, NU misalnya tak pernah mengajukan klausul khilafah islamiyah. Begitu juga dalam hal formalisasi syari'at Islam. Baik dalam periode kepemimpinan Abdurrahman Wahid maupun Hasyim Muzadi, NU terus menyatakan penolakannya terhadap formalisasi syari'at Islam. NU berjuang untuk tegaknya maksud-maksud syari'at (maqasid al-syari'at) berupa keadilan, kemaslahatan, hak asasi manusia dan bukan untuk diformalisasikannya ketentuan-ketentuan harfiah syari'at Islam. Dalam acara halaqah LDNU (lembaga Dakwah Nahdhatul Ulama) di gedung PBNU tanggal 21 Desember 2005, KH Hasyim Muzadi sebagai Ketua Umum PBNU dengan tegas menyatakan bahwa NU tak antusias dengan perjuangan formalisasi syari'at Islam. NU hanya mendukung tegaknya maqashid al-syari'at. Dengan informasi ini kita akan maklum, kenapa NU misalnya tak mengajukan hukum rajam, potong tangan, dan lain-lain agar dimasukkan dalam sanksi-sanksi hukum positif kita.

Pandangan keagamaan progresif seperti ini kiranya tak lepas dari penguasaan luas para kiai NU terhadap sumber-sumber keislaman yang otentik, sehingga mereka bisa dengan mudah menyelamatkan diri dari jebakan skripturalisme dan fundamentalisme Islam. Coba perhatikan, melalui halaqah di PP Watucongol, Muntilan, Magelang, 15-17 Desember 1988 dengan tema "Telaah Kitab Kuning Secara Kontekstual", para kiai NU memutuskan tentang pentingnya memahami kitab kuning secara kontekstual, yaitu pemahaman yang didasarkan pada konteks yang melatarbelakangi kehadiran sebuah teks. Pemaknaan secara harafiah, menurut para kiai, tak cukup menolong bagi usaha menangkap makna terdalam dari sebuah teks. Tidak cukup dengan pemahaman secara kontekstual, para kiai NU melalui Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung, tanggal 21-25 Januari 1992 mengintroduksi upaya ijtihad atau istinbath terutama untuk memecahkan sejumlah masalah keislaman kontemporer.

Namun, pemahaman keislaman a la NU itu mulai mendapatkan tantangan yang tidak ringan. Adanya grafik fundamentalisme dan radikalisme Islam yang cenderung naik. Jalan kekerasan kerap ditempuh untuk tujuan memperjuangkan dan mendakwahkan Islam. Pelbagai ormas keagamaan belia--karena rata-rata baru muncul pada era reformasi--tak ragu untuk melakukan penutupan terhadap rumah ibadat umat agama lain, pengrusakan demi pengrusakan terhadap tempat-tempat yang dinilai berbau maksiat. Bahkan, pemboman sengaja dilakukan dengan alasan jihad fiy sabilillah. Sementara, sebagian yang lain terus berkoar untuk merancang ulang Indonesia menjadi negara Islam, khilafah islamiyah, formalisasi syari'at Islam, dan lain sebagainya. Mereka berpendirian bahwa Pancasila adalah hasil bikinan manusia yang relatif sehingga harus digantikan dengan dasar Islam. Mereka pun menolak demokrasi hanya karena ia berasal dari Barat.

Pertanyaannya, bagaimana NU harus bersikap dan memosisikan diri di tengah kecenderungan baru itu? Di sinilah pada hemat saya, NU harus bekerja di dua level secara sekaligus. Pertama, sosialisasi internal. Ke dalam, NU harus mensosialisasikan gagasan-gagasan moderatnya hingga ke level paling bawah. Sebab, saya berkali-kali dikagetkan oleh sejumlah keadaaan dimana sebagian orang NU mulai menyuarakan tentang pentingnya mendirikan negara Islam. Mereka tidak setuju terhadap konsep Indonesia sebagai negara bangsa yang didasarkan pada Pancasila. Sebagaimana banyak disuarakan kelompok Islam fundamentalis, warga NU itu pun setuju terhadap formalisasi syari'at Islam, sebuah sikap ideologis yang jelas berseberangan dengan apa yang pernah diputuskan NU. Apakah NU mulai--meminjam bahasa yang rajin dipakai oleh para penyangga rezim Orba--"kesusupan" ajaran Wahabi yang dahulu ditampiknya secara bertubi-tubi? Apakah para kiai NU begitu terpukau dengan pikiran Taqiyuddin al-Nabhani tentang khilafah islamiyah yang gencar didakwahkan teman-teman Hizbut Tahrir. Wallahu a'lam.

Saya hanya ingin mengatakan bahwa fenomena itu menunjukkan satu hal. Yaitu, kurang intensifnya pengurus NU di dalam mensosialisasikan keputusan-keputusan penting yang pernah diambilnya, sehingga pandangan-pandangan keagamaan NU belum merembes hingga ke tingkat bawah. Untuk itu, sosialisasi internal ini menjadi relevan. Harapannya, apa yang dikemukakan para kiai NU mulai dari tingkat pusat hingga ranting sejauh menyangkut hal-hal yang strategis kiranya berada dalam nada dasar yang sama, padu dan kompak. Tanpa ada sosialisasi internal yang gencar, maka tidak tertutup kemungkinan warga NU akan berada dalam pelukan ideologi ormas lain. NU akan mengalami proses metamorfosa; dari moderatisme-progresivisme ke fundamentalisme-ekstrimisme, dari inklusivisme ke eksklusivisme. Sangat mengkhawatirkan.

Kedua, sosialisasi eksternal. Dengan jama'ahnya yang konon 40-an juta NU mestinya bisa menggarami semesta umat Islam di pelbagai kawasan dunia. Anggota yang demikian gegantik--dan saya kira tak ada ormas keislaman di dunia ini yang memiliki anggota sebanyak itu--adalah aset yang berpotensial dalam menentukan pigmen keislaman dunia. Namun, kampanye NU tentang moderatisme Islam di fora internasional tampaknya belum digarap secara lebih optimal. Sehingga warna keislaman yang cukup pekat menonjol di publik dunia masih warna keislaman yang keras dan bengis, sejenis Islam yang dikampanyekan secara militan dan gegap gempita oleh tokoh-tokoh fundamentalis Islam Timur Tengah. Tak ayal lagi, banyak orang yang mengidentikkan Islam dengan terorisme. Sebagian umat Islam mulai tidak nyaman dengan agama yang dianutnya.

Sekarang adalah momentum yang tepat bagi NU untuk sosialisasi ke luar, tentu dengan meniscayakan adanya stok salesman yang mampu memasarkan gagasan moderat NU hingga menembus level dunia. Sosialisasi jelas bukan hanya untuk tujuan mengerem laju stigmatisasi Islam yang terus berjalan, melainkan juga untuk menggantikan model keislaman Timur Tengah yang dominan dan keras. Model keislaman NU yang santun dan toleran harus bisa menggantikan model keislaman Al-Qaedah yang ekstrim dan radikal. Pola keislaman moderat seperti yang dikembangkan NU kiranya yang paling mungkin untuk diajak serta dalam membangun tata kehidupan dunia yang damai dan demokratis. Sekiranya Muhammadiyah dengan kalkulasi anggotanya kurang lebih 30-an juta orang itu juga melakukan hal yang sama, maka semakin kukuhlah posisi Islam moderat pada tingkat dunia. Dengan ini pula publik pun segera tahu bahwa pandangan keislaman ekstrim seperti yang ditunjukkan oleh kelompok fundamentalis Islam hanya lapis terkecil dari samudera populasi umat Islam dunia [].

No comments: