Oleh : KH HUSEIN MUHAMMAD
“Saya dulu konservatif”, begitu ujar saya kepada seorang wartawan beberapa waktu lalu. Pernyataan itu kemudian menjadi judul wawancara.
Konservatif adalah cara pandang yang selalu ingin mempertahankan tradisi dan pikiran-pikiran lama, tanpa analisis kritis dan tanpa ingin berubah. Sebagai seorang yang hidup di pesantren saya dididik dengan doktrin-doktrin keagamaan. Doktrin-doktrin tersebut mengacu pada teks-teks klasik (kitab kuning) karya para ulama besar abad petengahan.
Mereka adalah tokoh-tokoh besar yang pendapat-pendapatnya otoritatif dan tabu untuk dikritik. Mengkritik mereka akan selalu menuai stigma minimal “sû’ul adab” alias tidak sopan. Maka saya tidak pernah mendiskusikan secara rasional pikiran-pikiran mereka apalagi menghadapkannya dengan realitas sosial. Semuanya berkutat pada teks. Teks-teks dalam kitab kuning itu adalah kebenaran yang harus selalu dipertahankan dan diamalkan dalam kehidupan selama-lamanya. “Al-Haqîqah fi al alfâzh la fi al-a’yân,” begitu kira-kira kaedahnya.
Selama pendidikan itu saya menerima begitu saja bahwa semuanya adalah ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Dan Aswaja adalah satu-satunya Islam yang benar dan yang menjamin penganutnya masuk surga. Ini karena ada hadis Nabi yang menyatakan bahwa “umatku akan terbagi-bagi dalam 73 golongan semuanya masuk neraka dan hanya satu yang masuk surga. Yang satu ini adalah golongan Ahlussunnah wal Jama’ah”. Aliran Islam yang lain adalah sesat atau menyimpang.
Maka sudah dapat diduga bagaimana pandangan saya ketika itu, dalam melihat orang-orang non muslim: Katolik, Protestan, Buddha, Konghuchu dan lainnya. Mereka adalah orang-orang kafir yang pasti akan masuk neraka. Meskipun perilaku sehari-hari mereka baik, tetap saja amal-amal mereka tidak diterima Allah.
Cara pandang seperti ini mungkin saja menjadi keyakinan masing-masing agama. Akan tetapi keyakinan tersebut lalu dihubungkan dengan relasi-relasi sosial dan kemanusiaan. Saya melihat mereka dengan mata penuh curiga, sinis dan menafikan. Berhubungan dengan orang kafir bukan sesuatu yang baik. Mereka adalah musuh.
Saya masih ingat peristiwa sosial dengan latarbelakang sentimen keagamaan. Ketika sejumlah dokter Katolik berencana mendirikan rumah jompo bagi warga muslim di sebuah desa. Masyarakat menjadi resah. Kristenisasi. Sejumlah tokoh segera mendatangi orang-orang Katolik itu dan mendesak agar usaha tersebut dibatalkan. Usaha itu akhirnya tidak jadi, dan orang-orang jompo muslim tetap saja tak mendapat perhatian kolektif sampai hari ini.
Beberapa tahun belakangan pikiran saya tiba-tiba saja dipandang asing oleh orang-orang di sekitar saya. Sejumlah tokoh agama, bukan kiai, bahkan ada yang menyebut saya sesat, kemasukan pikiran-pikiran Barat dan Yahudi. Sementara para kiai pada umumnya membiarkan, meski tidak setuju. “Biarkan saja, nanti juga akan kembali,” begitu kira-kira pendapat mereka yang sempat saya dengar. Ini, karena pikiran-pikiran keagamaan saya dalam banyak isu dinilai berlawanan dengan pandangan mainstream (arus utama).
Sebagian lagi menyebutnya liberal. Tapi saya sering menyebutnya “fundamentalis”. Perubahan ini karena saya memikirkan, mempertanyakan, mendiskusikan teks-teks keagamaan dengan pendekatan rasional serta menghadapkannya pada realitas kehidupan. Tetapi tidak seperti yang dipahami secara populer, “fundamentalisme” saya adalah “ushuli” (prinsip-prinsip universal).
Terma ini lebih diarahkan berkaitan dengan relasi antar manusia dalam kehidupan bersamanya di dunia. Paradigma ushuli tersebut mengacu pada nilai-nilai fundamental, antara lain; kebebasan, kesetaraan, penghargaan martabat manusia dan keadilan. Penegakan prinsip-prinsip ini dalam kehidupan bersama menjadi sangat mendasar justeru dalam kerangka kerahmatan semesta seperti diajarkan al-Quran.
Mengacu pada prinsip ini, saya lalu memandang orang lain, siapapun, apapun latarbelakang sosialnya apapun agamanya adalah saudara dalam kemanusiaan. Pandangan ini mengacu pada ayat al-Quran: “Sesungguhnya orang yang paling terhormat di mata Allah adalah yang paling takwa”. Atau hadis Nabi saw. “Sungguh, Allah tidak menilai tubuh dan rupamu, tetapi melihat kepada hati dan perbuatanmu”.
Saya selalu mengatakan bahwa agama hadir untuk manusia dan kemanusiaan. Pandangan ini sama sekali tidak berarti saya mengabaikan prinsip-prinsip keimanan Aswaja. Saya tetap meyakini rukun iman yang enam dan rukun Islam yang lima itu. Saya juga berpendapat bahwa prinsip kemanusiaan di atas adalah bagian dari “ihsan”,akhlaq. Dalam waktu yang sama saya membiarkan orang lain meyakini dan mengamalkan agamanya sendiri-sendiri. Toh keyakinan seseorang tidak bisa dipaksakan. Teks-teks suci Islam juga melarang mengajak atau berdakwah dengan cara memaksa apalagi dengan kekerasan.
Maka sejak beberapa tahun yang lalu saya tanpa prasangka bersahabat dengan warga bangsa non muslim. Sebagian mereka adalah pendeta, romo, pastur atau sebutan yang lain. Mereka adalah makhluk Allah yang memiliki hak-hak dasar yang dianugerahkan-Nya. Mereka memiliki hak untuk hidup dengan aman, mengemukakan pendapat dengan bebas, mengembangkan profesi apa saja dalam wilayah kultural maupun struktural.
Lima tahun lalu, tepatnya 26 Desember 2000 bersama teman-teman, saya membentuk forum lintas agama yang diberi nama “forum sabtuan”. Ini pikiran spontan yang muncul untuk merespon peristiwa pengeboman sejumlah gereja di Jakarta dan di tempat lain sehari sebelumnya. Semua teman sepakat meyakini agama pasti tidak akan membenarkan pembakaran dan pengemboman tempat-tempat suci atau melakukan kekerasan terhadap siapapun yang tidak bersalah.
No comments:
Post a Comment