Saturday, July 28, 2007

Erdogan & Islam Peradaban


Oleh : Zaim Uchrowi

Ada sebuah keinginan saya yang belum terwujud: Tinggal beberapa bulan di Kota Istambul, Turki, dengan menyewa apartemen yang menghadap Selat Bosphorus. Laut sempit berarus yang membatasi daratan Eropa dan Asia, lalu lalang kapal-kapal dagang yang melayari jalur Laut Mediterania dan Laut Hitam; burung-burung camar yang bebas beterbangan di depan jendela, aroma baklava serta salad dengan kesegaran zaitunnya; hingga embusan angin yang menerpakan serpih-serpih air asin ke wajah, akan menjadi keseharian yang saya nikmati.

Bukan hanya itu yang akan saya dapatkan. Peradaban yang menghampar di seluruh sudut pandang tidak akan pernah berhenti menyejukkan mata sekaligus jiwa. Sesekali saya juga akan bergabung dengan kerumunan di pusat-pusat turis seperti di Masjid Biru atau Istana Topkapi. Namun, waktu saya mungkin akan lebih banyak berada di sudut-sudut sepi kota seperti di sisi makam Sinan. Di situ saya dapat merasakan gelombang jiwa "Sang Michaelangelo Dunia Islam" kendati jasadnya telah tertanam berabad silam. Saya juga akan mencari kesempatan untuk dapat hadir di lingkaran halaqah sufistik yang menggelar tarian Darwis dalam keremangan malam sebagai bagian dari zikir mereka.

Suasana demikian membuat saya terbayang pada karakter keislaman yang diantarkan Rasulullah SAW pada umatnya. Yakni, karakter keislaman yang lurus dan teguh sekaligus bernuansa dan berjiwa. Bukan karakter keislaman yang kering dan kaku seperti di jazirah Arab kini maupun karakter bengkok dan lembek seperti yang kita warisi di sini. Arab sepeninggal Rasul dan empat khalifah tak pernah menjadi pusat peradaban. Yang terjadi malah kemerosotan sehingga harus diluruskan oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab. Di sini keislaman sempat melahirkan pusat peradaban seperti di Samudera Pasai, Giri, Banten, maupun Ternate. Tetapi, cakupan peradaban itu sebatas di level regional, bukan global.

Di Turki berbeda. Keislaman mampu melahirkan peradaban global yang dapat bertahan selama berabad-abad. Keislaman yang bukan mengambil jarak, apalagi memusuhi, universalitas yang dipegang semua orang. Gambar Bunda Maria di dinding Aya Sofia, yang sepeninggal Konstantinopel lalu difungsikan sebagai masjid, tidak dihapus. Khazanah lama itu dibiarkan saja bersanding dengan tulisan 'Allah" dan 'Muhammad'. Keislaman demikian menaungi, bukan memusuhi, kemajemukan. Keislaman demikian tidak alergi melainkan justru membangun modernitas menuju ke arah yang benar.

Karakter keislaman peradaban itu telah begitu berakar di Turki, sehingga tak mati sekalipun terus digilas oleh ekstremis sekularis selama hampir seabad. Sebaliknya, gilasan itu justru melahirkan tunas-tunas baru yang lebih berkualitas seperti Tayyib Erdogan dan kawan-kawan yang kini mengusung bendera Partai Keadilan dan Pembangunan. Tekanan terhadap mereka sampai sekarang tidak berkurang. Namun, Erdogan terus bekerja dan bekerja untuk membangun bangsanya.

Ustadz santun dan intelektual itu tentu saja menguasai ilmu agama. Namun, ia juga sangat paham soal pembangunan dan peradaban global. Maka, saat berkesempatan menjadi wali kota Istambul, ia efektif mengatasi berbagai persoalan masyarakat. Rakyat miskin merasa sangat terbantu. Kalangan pebisnis gembira. Itu yang memuluskan Erdogan menjadi Perdana Menteri dan membuktikan dirinya sebagai pemimpin terbaik Turki dalam setengah abad terakhir. Ia mampu mengatasi krisis ekonomi, mengundang investor, dan membuka lapangan kerja. Ia membebaskan Turki dari sebutan lamanya: "Si Eropa yang sakit."

Erdogan bukan sekadar ustadz yang fasih berceramah. Bukan pula politisi umat yang gembira karena menjadi lebih berkuasa dan lebih kaya, seperti banyak politisi di sekitar kita. Erdogan adalah pemimpin yang sungguh-sungguh ingin menyejahterakan rakyat dan membangun peradaban. Kesungguhannya itu dirasakan oleh masyarakat Turki yang kemudian memberinya dukungan 60 persen kursi parlemen buat partai yang dipimpinnya, dan cuma 40 persen pada semua partai sisanya. Masyarakat Katolik serta komunitas Kristen Armenia pun mendukungnya karena keislaman peradaban dibawa Erdogan dan kawan-kawan bukan semata untuk umat Islam sendiri, melainkan untuk seluruh masyarakat.

Dalam kepemimpinan Erdogan. Turki bukan cuma menawarkan Bosphorus dengan suasana Mediteranianya. Turki juga menawarkan sebuah karakter keislaman yang efektif buat membangun peradaban di masa depan. Sebuah karakter keislamann yang semestinya kita semua, termasuk para ustadz dan politisi umat, bekerja keras buat membangunnya bagi nusantara

No comments: