Monday, July 30, 2007

An-Naim: Sekularisme Bukan berarti Peminggiran Islam dari Kehidupan Publik

(Tulisan Pertama)

Oleh : AGUS SETIA BUDI & FATHURI SR/SYIRAH

Abdullah Ahmad An-Na’im adalah pemikir Muslim terkemuka dari Sudan. Dikenal luas sebagai pakar Islam dan Hak Asasi Manusia (HAM), dalam perspektif lintas budaya. Penelitiannya mencakup isu-isu ketatanegaraan di negeri-negeri Islam dan Afrika, di samping isu-isu tentang Islam dan politik. Dia juga menekuni riset-riset lain yang difokuskan pada advokasi strategi reformasi melalui tranformasi budaya internal. Saat ini An-Na-im bekerja sebagai professor Charles Howard Candler di bidang Hukum di Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat

Saat ini Abdullah, demikian ia minta disapa, sedang mempromosikan buku barunya Islam dan Negara Sekular, Menegosiasikan Masa Depan Syariah.

Di antara pemikiran penting dari Abdullah soal ini adalah, sebagaimana dikatakannya, “Sekularisme tidak berarti pemingiran Islam dari kehidupan publik atau membatasi perannya terbatas pada domain personal dan privat.”

Menurutnya keseimbangan yang tepat bisa dicapai dengan melakukan pemisahan kelembagaan Islam dari negara dengan tetap mengatur peran politik Islam sehingga umat Islam bisa mengajukan kepada negara agar mengadopsi prinsip-prinsip syariah sebgai kebijakan publik dan menetapkannya mejadi undang-undang atau peraturan melalui Public reason (pemikiran umum). Tetapi hal itu dilakukan dengan tetap tunduk pada prinsip-prinsip Hak Asasi Mnusia (HAM) dan konstitusi, yang memang penting baik muslim dan non-muslim.

Untuk lebih dalam membahas soal ini, berikut hasil wawancara Fathuri SR dan Agus Setia Budi dari Syirah dengan Abdullah di Kampus II Universitas Islam Negeri Jakarta 23 Juli lalu:

Secara garis besar apa yang akan Anda tawarkan dalam buku baru anda?

Syariat memiliki masa depan cerah dalam kehidupan publik masyarakat Islam. Namun, saya dengan tegas menolak penerapan syariat yang dipaksakan oleh tangan-tangan negara. Menurut saya, sebagai ajaran suci, syariah haruslah dilaksanakan oleh setiap muslim secara sukarela. Karena penerapannya oleh negara secara formal dan paksa, dapat menyebabkan prinsip-prinsip syariat kehilangan otoritas dan nilai kesuciannya.

Oleh karena itu, negara secara kelembagaan haruslah dipisahkan dari Islam agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan umat Islam. Negara haruslah bersikap netral terhadap doktrin atau prinsip agama manapun.

Netralitas di sini tidak berarti negara secara sengaja memojokkan peran agama ke bilik-bilik sempit kehidupan privat, melainkan semata-mata demi menjamin kebebasan setiap individu untuk mendukung, berkeberatan atau memodifikasi setiap penafsiran manusia atas doktrin atau prinsip-prinsip agama.

Karenanya, dalam buku saya ini ingin mengadvokasi prinsip pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara, namun dengan tetap mempertahankan hubungan antara Islam dan politik, melalui apa yang disebut sebagai public reason. Prinsip ini memungkinkan penerapan prinsip-prinsip Islam dalam kebijakan publik secara legitimate, namun tetap tunduk kepada prinsip-prinsip ketatanegaraan yang berlaku, serta menjamin kesetaraan hak setiap warga negara tanpa membedakan agama, ras, suku, gender, dan ideologi.

Bagaimana dengan fenomena di pelbagai daerah di Indonesia,yang memberlakukan syariat Islam?
Penegakkan syariat Islam di Indonesia menurut saya justru malah merendahkan syariah itu sendiri karena apa yang dipraktekkan di beberapa wilayah di Indonesia tidak menyentuh pada substansi syariah. Hanya kulitnya saja.

Di daerah Indonesia yang memberlakukan syariat Islam, pada hakekatnya bukan memelihara kesucian syariah, akan tetapi jika ditelisik lebih dalam lagi mereka cenderung meremehkan atau mengentengkannya.

Kecenderungan ini dipicu karena kedangkalan pemahaman tentang syariat para pendorong pemberlakuan syariah. Mereka perlu mendapatkan pencerahan dari orang-orang yang expert di bidang syariat.

Hal ini ditunjukkan oleh pilihan mereka untuk memprioritaskan pelaksanaan kulit syariah daripada substansinya. Yang diberlakukan di beberapa daerah hanya berkutat pada persoalan tata cara berpakaian, wanita tidak boleh pergi pada malam hari tanpa ditemani muhrimnya. Lalu jika seseorang ingin nikah mereka harus punya sertifikat yang menerangkan bahwa ia benar-benar sudah bisa membaca al-Quran ini adalah sebuah kekonyolan.

Mereka, maksudnya para pendukung penegakkan syariat Islam, dalam pandangan saya tidak pernah menitikberatkan pada inti syariat sendiri, di antaranya soal keadilan sosial. Misalnya bagaimana memberantas korupsi sampai akar-akarnya. Mereka tidak menyentuh pada persoalan pokok syariat, justru meraka lebih terobsesi dengan “seks”.

Kemanapun mereka (para wanita) yang di daerah pemberlakukan syairat Islam harus berbalutkan kain panjang, kerudung yang sampai sedada dan lain sebagainya. Syariah hanya dijadikan pajangan oleh para elit penguasa.

Pandangan mengenai negara Islam sebetulnya berdasarkan klaim yang keliru karena prinsip-prinsip syariah yang akan diterapkan oleh negara pada dasarnya hanya mmepresentasikan pandangan elit yang akhirnya akan menjadi kebijakan negara dan bukan hukum Islam. Sebaliknya, negara sekular yang benar-benar menafikan agama dalam kebijakan publik dan undang-undang juga berdasarkan pada klaim yang keliru karena Islam atau agama lain tidak bisa dipisahkan dari politik.

Dan perlu dicatat juga bahwa memisahkan agama dari adat Istiadat atau budaya dalam pengalaman historis maupun kontemporer masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang tidak mungkin karena masyarakat Indonesia tidak dapat hidup dalam kategori analisis yang abstrak semacam itu. Jadi harus ada kompromi anatara budaya dan agama.

Jika demikian bagaimana dengan sekularisme di Indonesia?

Perdebatan seputar sekularisme pada masa pra-kemerdekaaan dan terus berlanjut hingga masa sesudahnya bisa disederhanakan ke dalam dua fraksi, yaitu nasionalis sekular atau nasionalis yang netral-agama dan nasionalis Islam. Debat ini terus berlangsung selama masa pergerakan, sejak tuntutan parlemen Indonesia hingga masa persiapan kemerdekaan. Momen kunci perdebatan ini adalah momen proklamasi kemerdekaann Indonesia, saat tujuh kata tentang tentang kewajiban menjalankan syariah dihapuskan dari Pancasila. Menurut hemat saya, perdebatan ini merupakan perdebatan yang sehat dan penting dan tentui harus terus berlanjut di kemudian hari.

Tantangannya sekarang adalah bagaimana mengawal dan mempromosikan proses ini dengan cara-cara yang konstruktif daripada menyia-nyiakan waktu dan tenaga untuk mendirikan sebuah ilusi bernama negara Islam atau negara sekular yang meminggirkan agama dari ruang publik sepenuhnya karena kedua hal tersebut merupakan dikotomi yang keliru dan dilema yang tidak perlu.

Pada saat kemerdekaan, sekularisme dan pemisahan agama dari negara didefinisikan melalui Pancasila. Ini penting untuk dicatat karena Pancasila tidak memasukkan kata sekularisme yang secara jelas menyerukan untuk memisahkan agama dan politik atau menegaskan bahwa negara harus tidak memiliki agama. Akan tetapi, hal-hal tersebut terlihat dari fakta bahwa Pancasila tidak mengakui satu agama pun sebagai agama yang diistimewakan kedudukannya oleh negara dan dari komitmennya terhadap masyarakat yang plural dan egaliter.

Namun, dengan hanya mengakui lima agama secara resmi, negara Indonesia membatasi pilihan identitas keagamaan yang bisa dimiliki oleh warga negara. Pandangan yang dominan terhadap Pancasila sebagai dasar negara Indonesia secara jelas menyebutkan tempat bagi orang yang menganut lima agama tersebut, tetapi tidak bagi mereka yang tidak menganutnya.[]


No comments: