Menatap pendidikan Islam masa depan |
- Artikel Zuhaid El-Qudsy berjudul Pendidikan Islam sebagai Alternatif (SOLOPOS, 22/6) menarik didiskusikan lebih lanjut. |
Menarik karena gagasan itu bertitik tolak dari aktualitas permasalahan pendidikan nasional terkait rendahnya mutu lembaga pendidikan, dan pada gilirannya gagal menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Sebagai jalan keluar atas karut marutnya permasalahan pendidikan nasional, ia menawarkan pendidikan Islam sebagai solusi alternatif. Untuk tesis pertama, tentang rendahnya mutu pendidikan bangsa Indonesia, itu tidak dapat dibantah dan harus kita akui, meskipun kedengarannya amat memalukan. Bagaimana mungkin sebuah negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, tapi mutu pendidikan dan kualitas SDM-nya sangat rendah. Padahal, ajaran Islam menganjurkan umatnya untuk mentradisikan membaca (iqra), mencari ilmu, mengkaji alam semesta, dan bekerja keras untuk mencapai identitas khairul ummah (umat terbaik). Dengan demikian terdapat jurang yang sangat jauh antara idealitas ajaran Islam dengan realitas amaliah keseharian umatnya. Pada titik ini, pasti ada sesuatu yang keliru pada diri umat, terutama dalam kaitan dengan pemahaman atas ajaran Islam, sikap, dan perilaku umat. Tesis kedua, tawaran pendidikan Islam sebagai alternatif pendidikan nasional juga dapat diterima, meskipun dengan catatan. Permasalahannya adalah bagaimana format dan model pendidikan yang akan diajukan sebagai alternatif dan jalan baru pendidikan nasional? El-Qudsi menyebut dan menawarkan sistem pendidikan ala khalifah yakni sistem pendidikan yang menempatkan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam mengurus kebutuhan rakyatnya, termasuk kebutuhan pendidikan. Ini kondisi ideal yang pernah dipraktikkan dalam suatu episode sejarah Islam. Apabila alternatif itu yang dipilih sebagai model pendidikan Islam, pertanyaan apakah masalah pendidikan bangsa Indonesia yang demikian kompleks dan rumit itu akan menemukan solusinya dengan cara bertamasya menyusuri lorong waktu untuk kembali pada masa silam? Apakah kita sudah benar-benar kehilangan akal dan kehabisan energi dalam proses pergumulan membangun sistem pendidikan Islam, sehingga permasalahannya dilemparkan ke masa lalu? Kajian kesejarahan dilakukan bukan untuk bernostalgia atau sekadar romantisme, tetapi dalam rangka menggali pedoman dalam menentukan langkah menghadapi zaman yang dilalui (kini dan masa depan). Penulis mengusulkan pendekatan kekinian (kemodernan) dan keindonesiaan dalam menatap pendidikan Islam masa depan, sebagai jalan baru (alternatif) pengembangan pendidikan nasional. Wajah pendidikan Islam Yang dimaksud pendidikan Islam mencakup dua pengertian: Pertama, segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa. Kedua, keseluruhan lembaga-lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program dan kegiatan pendidikannya atas pandangan dan nilai-nilai Islam (Mochtar Buchori, 1989: 178). Berdasarkan pengertian pendidikan Islam tersebut, selanjutnya akan digunakan untuk melihat dan membedah permasalahan pendidikan nasional. Peran apa yang bisa disumbangkan pendidikan Islam dalam usaha meningkatan kualitas SDM. Tidak dapat dipungkiri bahwa di Indonesia pendidikan Islam adalah bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional. Struktur internal pendidikan Islam Indonesia dewasa ini dapat dipetakan atau merupakan sinergi dan perpaduan dari empat jenis, yakni pesantren, madrasah, sekolah/kembaga pendidikan yang bernapaskan Islam, dan pendidikan agama Islam di sekolah/lembaga pendidikan umum. Dari empat jenis pendidikan tersebut sebagian besar dikelola oleh masyarakat sendiri (swasta), dan hanya sebagian kecil yang diampu pemerintah (negeri). Dari gambaran itu dapat diketahui bahwa pendidikan Islam di Indonesia tumbuh dari bawah, dan kehadirannya memang dibutuhkan masyarakat. Sebagai ilustrasi, jumlah lembaga pendidikan Islam tingkat dasar (SD/MI) di Solo ada 41 sekolah. Dari jumlah tersebut, hanya ada satu yang dikelola oleh pemerintah, yakni MIN Banyuanyar. Yang menarik adalah, sebagian sekolah-sekolah Islam tersebut sangat diminati masyarakat sehingga sebelum pendaftaran resmi dari pemerintah mereka rata-rata sudah tutup. Tentu minat masyarakat tersebut masih sangat tentatif, apakah karena tren santri baru, atau memang SD Islam jauh lebih bermutu. Kenyataan bahwa lembaga pendidikan Islam itu tumbuh dari bawah, berdiri di atas kaki sendiri, itu ada untung-ruginya. Keuntungannya, lebih leluasa dalam melakukan pembaruan sehingga memungkinkannya untuk maju pesat dan terbebas dari campur tangan atau hambatan politik birokrasi. Hanya saja, pembiayaannya harus dicukupi sendiri. Situasi ini sebenarnya sangat kondusif sebagai pintu masuk meningkatkan mutu pendidikan Islam. Di Sambi Boyolali misalnya, ada Pondok Muhammadiyah Manafiul Ulum yang menyelenggarakan pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMA dan SMK dengan menggratiskan, atau membayar semampunya, biaya hidup dan biaya pendidikan santri/siswanya. Ternyata mutu pendidikannya relatif memadai dan bisa menggaji guru relatif tinggi. Biaya operasional dicarikan dari zakat, infak, sedekah ditambah usaha-usaha produktif yang dikelola pondok. Ilustrasi itu menunjukkan bahwa problem utama pendidikan Islam pada dasarnya bukan terletak pada minimnya pembiayaan. Tapi lebih karena ketiadaan teori Islam tentang pendidikan dan hilangnya budaya kerja keras di kalangan praktisi pendidikan. Ahmad Tafsir (1994: 2-3), guru besar pada UIN Jakarta, berpendapat, ”Umat Islam tidak miskin. Rendahnya mutu sekolah Islam bukan karena umat Islam Indonesia miskin, melainkan karena ada yang harus dibenahi dalam pola pemikiran umat Islam.” Ia menambahkan, ”Penyebab utama mutu sekolah Islam rendah, yaitu pengelola sekolah, kepala sekolah, dan guru sekolah Islam belum memiliki teori-teori pendidikan modern dan islami.” Ketiadaan teori-teori pendidikan Islam membuat praktik pendidikan Islam sepertinya tidak berbeda dengan pendidikan sekuler-materialisme, sebagaimana yang berjalan di dunia Barat. Untuk itu, yang diperlukan dewasa ini adalah membangun teori-teori pendidikan islami melalui gerakan intelektual. Gerakan intelektual Islam bukan sekadar melakukan islamisasi ilmu dalam pengertian mengislamkan ilmu-ilmu sekuler. Cara kerjanya berangkat dari konteks ke teks. Tapi lebih produktif kalau langkahnya adalah gerakan pengilmuan Islam, yakni proses keilmuan yang bergerak dari teks Alquran menuju konteks sosial dan ekologis manusia (Kuntowijoyo, 2006: vi). Islam dijadikan sebagai sistem keilmuan sehingga umat Islam mampu melihat realitas berdasarkan konsep-konsep Alquran. Pengembangan pendidikan Pengembangan pendidikan adalah usaha meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan, baik aspek manajemen maupun kualitas proses pembelajarannya. Sedikitnya ada tiga langkah yang harus dilakukan untuk mengembangkan pendidikan, yakni perencanaan, penelitian dan evaluasi, serta jejaring. Pertama, perencanaan secara terpadu dan menyeluruh. Kedua, selain perencanaan yang baik dan tepat, pengembangan pendidikan Islam juga perlu didukung riset dan evaluasi atau research and development (R&D). Riset dan evaluasi pendidikan merupakan dua jurus empirical inquiry yang dapat dijadikan landasan pengembangan pendidikan secara bijak. Sayangnya kegiatan R&D sampai sekarang belum ada yang menekuni, tidak terkecuali yayasan penyelenggara pendidikan Islam. Oleh karena itu dapat dipahami bila pembaruan pendidikan Islam hanya bersifat tambal sulam, belum menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya. Macetnya kegiatan R&D menjadi penyebab tidak lahirnya teori-teori Islam tentang pendidikan. Terakhir, penguatan jejaring lembaga-lembaga pendidikan Islam. Sebuah realitas yang tidak dapat dibantah, bahwa mutu sekolah-sekolah Islam sangat beragam. Ada yang sudah sangat maju, tapi tidak sedikit pula yang jalannya masih tertatih-tatih. Mereka harus maju bersama dengan cara membangun jejaring. Akan memadai apabila beberapa sekolah Islam bertindak sebagai pelopor, kemudian sekolah-sekolah Islam yang lain menjadi pemantap dari kepeloporan ini. Tiga langkah pengembangan tersebut perlu dipikirkan bersama, dan jika relevan bisa menjadi panduan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dengan cara demikian, gagasan pendidikan Islam sebagai alternatif dapat segera terwujud. Bahkan, bukan sekadar alternatif tetapi menjadi arus utama (mainstream) dalam pengembangan pendidikan nasional. Apabila proses pendidikannya bermutu, maka dengan sendirinya akan melahirkan SDM yang berkualitas unggul dan berdaya saing. - Mohamad Ali SAg MPd, Kepala SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Solo, pegiat PRPIKS |
Tuesday, July 3, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment