Sunday, July 8, 2007

Hamas dan Era Islam Politik

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

06/02/2006

Bagi saya, tiap keberhasilan sebuah pemilu di dunia Islam saat ini, apa pun hasil yang muncul dari sana, harus diberi applause dan dipandang sebagai aset politik yang penting untuk konsolidasi demokrasi di masa datang. Saya selalu menarik napas lega tiap mendengar berita tentang pemilu yang sukses di negeri-negeri Islam.

Tulisan ini pernah dimuat di Kompas, Sabtu, 28 Januari 2006

Perkembangan menarik terjadi di Palestina. Hamas, kelompok yang selama ini dianggap radikal, pasti akan memenangi pemilu legislatif di Palestina yang berlangsung Rabu (25/1). Hasil sementara menunjukkan, Hamas meraih 76 kursi dari 132 kursi parlemen.

Partai Fatah warisan Yasser Arafat hanya memperoleh 43 kursi. Oleh banyak warga Palestina, kekalahan Fatah dianggap ”tsunami politik” karena mengakhiri 40 tahun dominasi Fatah yang nyaris tak tertandingi selama ini.

Kemenangan Hamas melengkapi kemenangan serupa yang dicapai kelompok Islamis di Iran beberapa waktu sebelumnya dengan naiknya Presiden Ahmadinejad. Di Mesir, meski gagal memenangkan pemilu kepresidenan, kelompok Ikhwanul Muslimin juga mendapat suara cukup signifikan. Prediksi yang selama ini dikemukakan banyak kalangan bahwa manakala keran demokrasi dibuka di negeri-negeri Timur Tengah yang selama ini diperintah rezim despot, maka kelompok Islamis akan menang, untuk sebagian sudah terjadi.

Reaksi AS sangat berlebihan

Kita kini sedang menjelang tibanya era baru, era Islam politik. Intelektual Mesir, Said al-Asymawi, menyebut fenomena naik daunnya Islam politik sebagai al-Islam al-Siyasi.

Kemenangan Hamas langsung disambut reaksi amat negatif oleh Presiden Bush dan Pemerintah Israel. Presiden Bush menyatakan, AS tidak akan melakukan negosiasi untuk perdamaian dengan Hamas kecuali jika yang terakhir ini menyatakan diri untuk meninggalkan metode kekerasan dan ”terorisme” sebagai alat perjuangan dan niatnya untuk menghancurkan Israel.

Menurut saya, reaksi Washington ini tidak mengagetkan, bahkan sudah bisa diduga. Meski, bagi saya, reaksi itu amat berlebihan. Prospek negosiasi perdamaian di Palestina tidak serta-merta berhenti karena Hamas berkuasa di Palestina. Kiranya, tokoh-tokoh Hamas, berhasil masuk kekuasaan, akan lebih banyak memakai bahasa negosiasi ketimbang bahasa bom bunuh diri.

Dalam jangka panjang, sukses Hamas amat positif untuk memaksa aneka kelompok Islam yang selama ini dianggap radikal agar masuk proses politik normal. Hamas, setelah kemenangan ini, tidak bisa lagi menggunakan metode kekerasan seperti sebelumnya. Hamas, dengan sendirinya, akan dipaksa memakai bahasa diplomasi yang normal. Kiranya, bahasa ”kekerasan” yang selama ini dipakai kelompok-kelompok Islam yang sering disebut ”radikal” di Timur Tengah, sebetulnya resultante dari buntunya proses demokrasi yang normal. Perubahan politik melalui proses yang ”normal” nyaris mustahil terjadi di banyak negara di kawasan itu. Jalur kekerasan ditempuh sebagai alternatif terakhir, meski bahasa itu, dalam banyak kasus, tidak menghasilkan apa-apa selain frustrasi berkepanjangan. Agaknya kemenangan Hamas, jika tidak terganjal force majeure, akan mengakhiri siklus kekerasan yang selama ini membuat proses perdamaian di Palestina buntu.

Negara-negara Barat, terutama AS, sebaiknya memberi the benefit of doubt kepada Hamas untuk memanfaatkan kemenangan ini sebaik-baiknya, dan tidak mencoba melakukan intervensi dalam proses politik yang berlangsung pascapemilu.

Didorong political exigency yang sesaat, kadang pemerintah AS kurang sabar melihat proses demokrasi yang berlangsung di sejumlah negara, hanya karena hasilnya kurang menguntungkan dilihat dari segi kepentingannya sendiri. Saya kira, ketidaksabaran seperti ini menghambat proses demokrasi di dunia Islam. Jika retorika AS untuk ”menyebarkan” demokrasi di negeri-negeri Muslim adalah genuine, proses yang terjadi di Palestina kini harus disambut baik. Keberhasilan pemilu Palestina telah melengkapi keberhasilan pemilu-pemilu lain di Iran, Irak, Mesir, dan Afganistan, negeri-negeri yang kini menjadi hot spots diplomasi AS di dunia Islam.

Memang masalahnya tidak sesederhana itu. Perkembangan di Iran, misalnya, adalah salah satu contoh menarik. Presiden Ahmadinejad menang melalui prosedur demokratis. Kemenangan ini tidak menyenangkan negara-negara Barat, terutama AS, karena sikap Ahmadinejad yang amat konfrontatif terhadap Barat. Hal itu kini terbukti. Rencana pengembangan senjata nuklir Iran menjadi isu dilomasi rumit AS-Iran. Posisi Ahmadinejad yang amat konfrontatif dan anti-Barat membuat negosiasi tentang hal ini menjadi amat susah.

Lebih pragmatis

Apakah ”kebuntuan negosiasi” antara Barat dan Iran akan terulang di Palestina usai kemenangan Hamas, jika, nanti Hamas menempuh metode konfrontatif seperti Iran? Kita tidak bisa memprediksi. Namun, pernyataan sejumlah calon legislatif Hamas setelah kemenangan dalam pemilu menunjukkan perubahan taktik yang cenderung lebih pragmatis. Mereka tidak lagi menggembar-gemborkan tujuan penghapusan negeri Israel dalam retorika politik.

Bahkan, Hamas mulai sadar, untuk memperbaiki citranya yang berlumuran ”darah” dengan mengembangkan citra baru yang lebih ”damai”. Mereka mulai menyewa konsultan media untuk memperbaiki citra di panggung internasional.

Dalam jangka panjang, yang dibutuhkan negeri-negeri Timur Tengah adalah kepala negara atau pemerintahan yang mempunyai visi yang kurang lebih pragmatis sehingga dapat mengatasi masalah-masalah nyata. Bukan para ”demagog” yang hanya mengeksploitasi sentimen massa jalanan yang anti-Barat guna mengalihkan perhatian rakyat dari kegagalan pemerintah dalam mengatasi masalah-masalah domestik. Era Islam politik sedang naik daun. Tidak seluruh cita-cita kelompok-kelompok Islam politik bersesuaian dengan konsep negara demokrasi. Namun, selama cita-cita itu diperjuangkan dalam kerangka demokrasi, justru jauh lebih baik ketimbang kelompok-kelompok itu dicurigai dan diempaskan ke luar arena politik yang normal. Proses marjinalisasi politik semacam inilah yang memaksa aneka kelompok itu memakai bahasa kekerasan.

Bagi saya, tiap keberhasilan sebuah pemilu di dunia Islam saat ini, apa pun hasil yang muncul dari sana, harus diberi applause dan dipandang sebagai aset politik yang penting untuk konsolidasi demokrasi di masa datang. Saya selalu menarik napas lega tiap mendengar berita tentang pemilu yang sukses di negeri-negeri Islam. Memang, pemilu hanya tangga pertama, tetapi itu adalah tangga yang niscaya untuk tahap-tahap politik yang normal berikutnya.

Penyakit otoritarianisme sudah begitu kronis menjangkiti banyak negara Islam. Pemerintah- pemerintah Barat, untuk kenyamanan politik jangka pendek, kerap kali bekerja sama dengan, dan akibatnya melanggengkan, pemerintah-pemerintah otoriter itu. Kanker politik ini hanya bisa ”dibunuh” dengan pemilu.[]

No comments: