Friday, July 20, 2007

Nasionalisme Bola

Oleh : Zaim Uchrowi

Tampaknya bentuk itu biasa saja. Seolah tidak ada yang istimewa padanya. Sejak awal keberadaan manusia, bentuk ini telah sangat dikenal. Ia terlihat pada matahari yang tampak di siang hari. Ia lebih mudah dikenali di hari-hari tertentu di malam hari. Bentuk ini juga menjadi bentuk buah-buahan. Pada jeruk, misalnya. Bahkan, kepala manusia pun acap dikaitkan dengan bentuk ini. Apalagi mata. Tentu semua tahu bahwa bentuk itu adalah bundar.

Terdapat kekhususan dari bentuk ini. Bundar tidak mempunyai sisi. Jika harus disebut sisi, maka seluruh permukaannya adalah satu sisi yang sama. Tanpa sisi lainnya. Kekhususan lainnya adalah ketidakstabilannya. Disentuh sedikit, benda berbentuk bundar akan bergerak. Pada tanah atau dataran miring, barang bundar akan segera menggelinding. Banyak petaka besar terjadi karena gelindingan sang bundar. Gelindingan batu gunung saat longsor, misalnya. Bola salju yang menggelinding hingga semakin besar dan semakin besar merupakan petaka yang mengerikan.

Namun, justru pada ketidakstabilannya Tuhan menciptakan kegembiraan. Barang kecil dan bundar selalu memberi kegembiraan pada anak-anak manusia. Bocah-bocah yang belum bisa berjalan sekalipun tertarik pada bola. Anak-anak kucing dan anjing juga suka bola. Naluri alami bocah itu tidak akan hilang hingga ia besar, dan bahkan dewasa. Begitu menariknya bola, maka banyak permainan diciptakan dari bola. Tenis, tenis meja, golf, bowling, bola voli, sepak takraw, polo, biliar, hingga sepak bola, menjadi permainan penting di dunia. Bukan hanya kegembiraan yang dapat diberikan oleh permainan itu, melainkan juga popularitas dan uang. Manusia dewasa sangat menyukai kedua hal ini. Sebagian malah menuhankannya.

Bukan hanya keceriaan yang diberikan Tuhan melalui bola. Lewat bola, Tuhan juga memberi antusiasme terhadap identitas dan eksistensi diri. Inilah yang kita saksikan beberapa hari ini, saat kita menjadi tuan rumah kejuaraan sepak bola Piala Asia. Bambang Pamungkas, Elie Aiboy, Maman Abdurrahman, Yandri Pitoy adalah sebagian nama yang mencuat di acara itu. Nama-nama itu dapat diganti dengan nama siapa pun, para pesepak bola lainnya. Namun, ketika mereka bermain sepak bola atas nama negara, perasaan kita ikut hanyut terbawa oleh permainan itu. Kita merasa tengah mempertaruhkan martabat bangsa dan negara. Perasaan kita ikut bertempur habis-habisan seperti permainan Bambang dan kawan-kawan di lapangan bola.

Perasaan seperti ini sudah lama tak kita miliki. Pelajaran sejarah dan kewarganegaraan tak cukup mampu membangun kebanggaan terhadap bangsa. Slogan-slogan kebangsaan yang terpampang hanya berlalu di depan mata. Peringatan hari-hari bersejarah tak lebih dari sekadar proses menghabiskan anggaran. Kita pun menjadi makhluk yang sangat pragmatis, dan kadang 'hedonis' serta 'snobis' dengan berfoya-foya dan berbangga-bangga dengan merek-merek asing.

Kita tak merasa bersalah sedikit pun ketika tidak memberi keuntungan pada bangsanya sendiri. Yang kita pikirkan lebih tertuju pada cara bagaimana terus memperkaya diri sendiri. Apa pun caranya. Bukan bagaimana secara bersama berkembang dan maju. Itu wajah kita secara umum. Termasuk ketika kita adalah pejabat publik atau tokoh politik yang makmur dari dana publik. Keserempakan dan kebersamaan sebagai bangsa seperti tak pernah ada. Padahal, rasa kebangsaan itulah kunci keberhasilan dan kemajuan bangsa. Kita seperti tak punya rasa kebangsaan atau nasionalisme. Itulah yang membuat Indonesia tak kunjung maju. Setidaknya kalimat itulah yang pernah dibisikkan seorang Duta Besar negara sahabat ke telinga saya.

Di Piala Asia kita memang kalah dari Korea Selatan. Tetapi, dengan semangat bertanding seperti yang ditunjukkan pesepak bola kita, sebenarnya kita telah menang. Kita telah menang atas ego sendiri. Kita berani bertempur sampai akhir untuk sebuah keserempakan dan kebersamaan berbangsa. Jika kita semua dapat meniru semangat tempur para pesepak bola kita di setiap lapangan kehidupan, keserempakan sebagai bangsa akan segera kita dapatkan. Dengan keserempakan, kemakmuran bersama akan dapat segera kita raih.

Tuhan mengajari kita lewat bentuk bundar ciptaannya yang lalu kita terjemahkan menjadi bola dan permainan sepak bola. Sekarang, mau tidak belajar dari itu.

No comments: