Monday, June 18, 2007

Abou El Fadl tentang Peta Umat (1)

Jika dibandingkan dengan metode Fazlur Rahman dalam kajian keislaman yang cenderung melebar, tetapi tidak kurang tajam dan mendalamnya, pendekatan Khaled Abou El Fadl lebih menukik dan berani, khususnya dalam masalah syariah yang memang merupakan disiplin utamanya. El Fadl kelahiran Kuwait, lama belajar di Mesir, kemudian di Amerika Serikat.

Sekarang adalah guru besar hukum Islam di UCLA School of Law. Mata kuliah yang diasuhnya adalah hukum Islam, hukum imigrasi, hukum hak-hak asasi manusia, dan hukum internasional dan keamanan nasional. Semuanya berkaitan dengan masalah hukum. Saya pernah memapah Abou El Fadl di Kantor PP Muhammadiyah Jakarta pada saat memberi ceramah di sana sekitar satu setengah tahun yang lalu, yang dipandu oleh Sukidi, sekarang belajar di Harvard.

Dalam kondisi fisik yang tidak lagi prima, El Fadl adalah salah seorang juru bicara Islam kontemporer yang cerah di muka bumi. Ia telah menulis beberapa karya penting tentang Islam yang diramunya dari sumber-sumber klasik dan modern. Di atas ramuan itulah ia memetakan tafsirannya tentang Islam dengan cara yang sangat kritikal, mendalam, dan komprehensif.

Pedang kritiknya dibidikkan kepada dua sasaran: Puritanisme Islam dan modernitas sekuler. Solusi yang ditawarkannya adalah sebuah Islam moderat yang cerdas, kreatif, dan penuh semangat juang, sebagai cerminan dari rahmat bagi seluruh alam. Resonansi ini sebagian didasarkan pada kesimpulan salah satu karya terbarunya, The Great Theft / Kemalingan Besar. ( New York: HarperSanFrancisco, 2005, 290 hlm. plus catatan akhir). Karya lain yang tidak kurang menantangnya, di antaranya And God Knows the Soldiers dan Speaking in God's Name. Kedua buku ini banyak berbicara tentang gelombang puritanisme kontemporer. Menurut El Fadl, aliran puritan dapat dilacak akarnya pada golongan Khawarij, bekas pengikut 'Ali bin Abi Thalib, yang pada abad pertama Islam telah banyak membunuh orang Islam dan non-Muslim, dan bertanggung jawab dalam menghabisi nyawa 'Ali bin Abi Thalib sendiri. Setelah terlibat dalam pertumpahan darah yang panjang dan sia-sia, sisa-sisa kaum Khawarij masih dijumpai sedikit di Oman dan Ajazair, tetapi mereka sudah berubah menjadi moderat, bahkan pasifis (suka damai).

Dalam penglihatan El Fadl, mengapa arus ekstremisme marak di dunia Muslim sekarang? Salah satu sebabnya adalah karena ''lembaga-lembaga tradisional Islam yang secara historis bertindak untuk meminggirkan aliran ekstremis tidak ada lagi. Inilah yang membuat periode sejarah Islam sekarang jauh lebih sulit dibandingkan periode yang lain, dan inilah sebabnya mengapa orientasi puritanisme modern lebih mengancam integritas moralitas dan nilai-nilai Islam melebihi gerakan-gerakan ekstremis sebelumnya.

Barangkali inilah pertama kali dalam sejarah bahwa pusat dunia Islam, Makkah dan Madinah, telah berada di bawah kontrol negara puritan selama periode yang demikian lama.'' (Ibid., hlm. 102). Dengan uang yang melimpah, Wahabisme telah diekspor ke berbagai pojok bumi yang mematikan kebebasan berpikir dan intelektualisme Islam. Ironisnya adalah bahwa Kerajaan Saudi dalam politik global banyak bergantung pada Amerika Serikat.

Inilah sebuah kongsi yang aneh antara dua sistem politik yang sebenarnya sangat rapuh, tetapi direkat oleh kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek. Puritanisme kontemporer memang umumnya muncul dari rahim Wahabisme, dan Taliban adalah salah satu bentuknya. Jadi, tidak mengherankan jika seorang Usamah bin Ladin diterima baik dalam kultur Taliban, karena persamaan doktrin yang dianut, dengan catatan jasa Amerika cukup besar dalam mendukung puritanisme ini sewaktu menghadapi pasukan Uni Soviet di Afghanistan.

Sejak tragedi 11 September 2001, kemudian aliansi mereka pecah. Dan Amerika sekarang kewalahan menghadapi ''anak didiknya'' ini yang sebagian terlibat dalam kegiatan teror global, sebagaimana juga Gedung Putih di bawah Bush telah pula menjadi pusat teror negara bersama Israel. Invasi terhadap Afghanistan dan Irak dengan helah yang dibuat-buat adalah bentuk terorisme negara untuk menghancurkan dua bangsa dan negara lemah, yang sekarang kondisinya malah semakin memburuk dan rusak.

Menurut keterangan yang diberikan Pak Taufiq Kiemas kepada saya di pesawat Garuda dalam penerbangan ke Yogyakarta pada 23 November, sebenarnya Presiden Megawati telah mengingatkan Bush agar tidak menyerang Irak, sebab akan sulit keluar dari sana, tetapi Bush tetap nekat. Sebuah kenekatan yang harus dibayar dengan ongkos yang sangat mahal, termasuk kekalahan Partai Republik baru-baru ini dalam pemilihan senat dan kongres Amerika.

(Ahmad Syafii Maarif )

No comments: