Saturday, June 9, 2007

Mencari Mulia dalam Ber-"Asyik Masyuk"

Ilham D Sannang

Penggandengan kata "agama" dan "senggama" pertama kalinya saya dengar di MP Book Point Cipete, Jakarta, dalam acara peluncuran memoar God’s Call Girl, Sang Pelacur Tuhan (Voila Books). Memoar itu mengisahkan pergulatan hidup Carla Van Raay, mantan biarawati yang terjerumus dalam bisnis pekerja seks, lalu bertobat.
Sungguh menarik dan mengejutkan telinga dan isi kepala ketika gagasan "agama" dan "senggama" ditelisik hubungannya. Apalagi, salah satu pembicaranya adalah seorang agamawan (yang berselibat; tidak bersenggama), Romo Haryatmoko, dosen filsafat lulusan Sorbonne, Perancis, yang kini mengajar di sejumlah universitas bergengsi di Tanah Air.
Pengaitan "agama" dan "senggama" sendiri sebenarnya adalah sesuatu hal yang klasik, namun tak lepas dari kontroversi. Bagi tradisi budaya/masyarakat tertentu, agama diasosiasikan dengan "kesucian", sedangkan "senggama" diasosiasikan dengan "kekotoran" dan "dosa", atau setidaknya "tabu". Seks menjadi sesuatu hal yang tabu dibicarakan di depan umum karena "memalukan", sedangkan agama adalah hal yang selalu didengung-dengungkan/dirayakan dalam berbagai kesempatan, walaupun belum tentu diamalkan.
Mungkin ini bedanya agama dan senggama: agama selalu dibicarakan, ritualnya dirayakan, tapi hakikatnya malas diamalkan. Senggama sebaliknya: tabu dibicarakan, tapi rajin diamalkan. Mengapa? Berbicara tentang agama adalah terpuji. Berbicara tentang seks dan senggama dianggap keji.
Hanya orang-orang tertentu sajalah yang berhasil berpantang diri dari senggama, dan mampu menyalurkannya secara positif lewat sublimasi sehingga melahirkan kreativitas dan karya- karya yang hebat. Walhasil, seks dan agama selalu saja bergandengan, walaupun tidak selalu bersimbiosis dengan nyaman.
Yesus, figur sentral dalam agama Kristen, dan nabi yang juga dimuliakan umat Islam, menerima dengan baik seorang mantan pekerja seks yang bertobat, yang lalu menjadi wanita terhormat. Perempuan ini bahkan begitu mencintai Yesus sehingga ia rela membasahi kaki gurunya tersebut dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya. Kemudian, ia mencium kaki Yesus dan meminyakinya dengan minyak wangi (Lukas, 7:38). Kaum pria yang menyaksikan peristiwa tersebut menganggapnya sebagai pelecehan, tetapi Yesus sendiri tidak menganggapnya demikian.
Dalam Islam, bersenggama bahkan berpahala, asal dilakukan istri dan suami. Bukankah kalau bersenggama dengan selain istri/suami sendiri adalah dosa? Maka, demikianlah, jika dilakukan sesuai tuntunan Tuhan, senggama mendatangkan ganjaran pahala. Menurut ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SWA ini, agama bahkan berjalin erat dengan senggama. Bagaimana tidak? Bukankah salah satu kebaikan yang akan terus mengalir sampai hari kiamat adalah doa anak saleh kepada orangtua?
Bahkan, fungsi rekreasi duniawi ini dikatakan sebagai "prolog" saja agar manusia semakin bersemangat mengejar kenikmatan surgawi yang jauh melampaui dimensi duniawi. Fungsi rekreasi suami-istri ini begitu ditekankan oleh Nabi. Beliau menasihati agar laki-laki tidak menghampiri para istri dengan semangat mementingkan diri sendiri. Namun, hendaknya memulai dengan mengirimkan "rasul-rasul" (utusan) pembawa "risalah" (pesan). Ketika para sahabatnya bingung dengan maksudnya, Rasul menegaskan bahwa "utusan dan pesan" itu berupa ciuman dan pelukan.
Ini adalah komunikasi dialogis (timbal-balik) tubuh, sebagai hidangan awal sehingga sang istri siap memasuki hidangan utama. Jika "utusan dan pesan" ciuman dan pelukan ini diabaikan, para istri tidak akan merasa nyaman dan akan merasa hanya dimanfaatkan layaknya barang.
Budaya patriarki
Namun, alangkah sayangnya ketika agama yang suci ini dikotori oleh persepsi dan budaya patriarki. Dengan persepsi patriarkis ini, perempuan selalu menjadi obyek penderita (yang sering kali benar-benar menderita), sedangkan laki-laki menjadi subyek pelaku yang "serbakuasa serbatahu". Seks menjadi alat dan simbol kuasa.
Memang, laki-laki adalah imam/pemimpin di rumah tangganya. Namun, bias patriarki yang kental akan membuat kepemimpinannya tidak disertai tanggung jawab dan cinta. Ayat pemimpin itu (laki-laki adalah pemimpin bagi wanita, QS, 4:34) dicabut rohnya. Padahal, memimpin berarti mencintai yang dipimpin. Mencinta berarti memberi, bukan mengambil.
Dalam perspektif patriarki, menjadi pemimpin dianggap sebagai hak. Padahal, dalam perspektif yang seimbang sesuai tuntunan Nabi dan Tuhan, menjadi pemimpin seyogianya terlebih dahulu dianggap sebagai kewajiban. Setelah kewajiban terlaksana, barulah hak diterima.
Cinta adalah menunaikan tanggung jawab sebelum menuntut hak. Bahkan, cinta yang tulus murni tidaklah menuntut hak sama sekali. Ia hanya sibuk memberi. Dengan demikian, terjadi hubungan timbal-balik yang harmonis, saling melindungi jiwa dan raga. "Laki-laki adalah pakaian bagi perempuan, dan perempuan adalah pakaian bagi laki-laki" (QS, 2:87). Demikian Al Quran membimbing.
Pakaian melindungi pemakainya dari panas dan hujan, melindungi kehormatan pemakainya, menimbulkan rasa nyaman, bahkan mempercantik dan mempergagahnya menjadi rupawan. Pakaian selalu lekat di badan. Hanya sekali-kali saja pakaian kita lepaskan. Demikian pula peran suami-istri. Suami- istri berupaya sekuat tenaga saling melekati, melindungi, mempercantik, mempergagah.
Maka, tidak heran, dalam budaya masyarakat patriarki agama diselewengkan. Coba lihatlah film-film bioskop tema horor- setan. Atau sinetron-sinetron "religi" di teve-teve, yang dibuka dan ditutup dengan ceramah rohani. Sang ustadz dan agamawan selalulah laki-laki. Adapun Mak Lampir, pocong, kuntilanak, sundel bolong, hantu bangku kosong, suster ngesot, semuanya perempuan.
Ke manakah perginya Pak Lampir? Abah bolong? Mantri ngesot? Mengapa hantu-hantu itu selalu perempuan? Dan, mengapa sang pengusir hantu itu selalu laki-laki agamawan? Ini adalah produk-produk budaya patriarki; segalanya dilihat dari perspektif laki-laki.
Nasib perempuan
Bila ada laki-laki pecandu narkoba, atau mantan perampok, yang bertobat, lantas menjadi ustadz, maka masyarakat menyambut hangat. Adakah sambutan yang sama diberikan pada mantan pelacur-nista, yang berbalik mendalami agama? Berita seperti ini rasanya jarang sampai di telinga. Adakah masyarakat kita siap menerimanya?
Sering kali kita sendiri yang menghalang-halangi saudari- saudari kita itu untuk kembali ke jalan suci. Dengan memakai standar ganda, "perempuan harus lebih bisa menahan diri dan lebih suci daripada laki- laki". Pria berdosa ditoleransi karena "manusiawi". Namun, jika wanita berdosa dicaci maki, bahkan sering kali oleh wanita sendiri.
Dosa kejatuhan Adam ke bumi dipersalahkan pada Hawa. "Memang perempuanlah penyebab bencana-kejatuhan", begitulah mereka punya pernyataan. Maka, tidaklah heran jika setan-setan dan hantu di film bioskop maupun sinetron teve kebanyakan perempuan.
Padahal, bukankah Adam juga tidak bisa menahan diri? Dan, menurut firman Tuhan dalam Al Quran, Adam dan Hawa justru sama-sama tidak dapat menahan diri (QS, 7:19-25). Jadi, sudah selayaknyalah jika diri sendirilah yang disesali. Tidak perlulah mengambinghitamkan istri, suami, atau siapa pun di luar diri. "Hitung-hitunglah diri," demikian wasiat sang sufi, Abdul Harits Al-Muhasibi.
"Jangan mengambinghitamkan keadaan," itulah pula hikmah yang dipetik oleh Romo Haryatmoko dari kisah Carla van Raay di atas; kisah sang mantan biarawati yang terperosok ke dalam bisnis pelacuran, namun akhirnya sadar kembali ke jalan yang benar.
Carla memang pernah diperkosa ayah kandungnya sendiri; pengalaman yang pasti selalu membekas jika ia berhubungan dengan laki-laki. Ia ingin lari dari derita, lalu masuk biara. Namun, ketika kedamaian tak kunjung tersua, ia justru menyalahkan biara dan agama. Dan, karena impitan ekonomi, terpaksa ia mengambil jalan dengan melanggar susila demi melayani nafsu pria.
Carla adalah korban determinasi psikologis yang diciptakannya sendiri, dengan "bantuan" kejahatan dan penderitaan yang menimpanya. Nasib buruk yang beruntun menimpa hidupnya menjadikannya berputus asa meraih kebaikan. "Mungkin sudah nasibku masuk dalam lembah hitam, maka sekalian saja harus kuhayati, nikmati, dan jalani peran dan suratan kehidupan". (Bahkan, manusia pun mencari makna dalam kejahatan yang dia lakukan!)
Bukankah kita tetap dapat meraih keselamatan, tanpa harus mengabaikan kesenangan- kesenangan karunia Tuhan?
Ilham D Sannang Editor Sebuah Penerbit di Bandung

No comments: