Friday, June 15, 2007

Sekularisme di Negara Berpenduduk Muslim

Sulastomo

Mencermati perkembangan di Turki, sungguh sangat menarik. Seorang calon presiden dicurigai karena membawa agenda Islam. Meskipun sudah dibantah, tetap tidak dipercayai. Demo kelompok sekuler dengan bebas digelar untuk mempertahankan sekularisme di negara yang mayoritas berpenduduk Muslim itu. Bayangkan, seandainya terjadi di Indonesia.

Sekularisme, kalau dikaitkan dengan agama, adalah cermin kegagalan "negara agama" , yang berkembang di Eropa sampai abad ke-19. Gereja dan istana raja menyatu. Ketika raja gagal memenuhi tugasnya sebagai kepala negara, gereja menjadi sasaran.

Antara gereja dan negara memang tidak bisa dipisahkan. Kegagalan negara adalah kegagalan gereja dan hal itu berarti kegagalan agama (Kristiani). Agama kemudian dikatakan candu bagi masyarakat, yang kemudian melahirkan negara komunis di Eropa Timur dan negara sekuler di Eropa Barat dan Amerika, yang memisahkan agama dari negara.

Esensi dari kenyataan seperti itu bahwa kehidupan beragama adalah wilayah privat, yang tidak perlu dicampuri oleh negara. Sebaliknya, negara pun juga tidak perlu mencampuri kehidupan beragama rakyatnya. Hal ini terlepas bahwa masalahnya tidak sesederhana itu.

Di mana peran agama?

Amerika Serikat (AS) adalah negara yang bisa belajar dari pahitnya mencampuradukkan agama dalam kehidupan bernegara. Amerika Serikat didirikan oleh para imigran Eropa yang melarikan diri ke AS untuk membebaskan diri dari kesewenang-wenangan penguasa yang mencampuradukkan agama dan negara. Karena itu, ketika mereka melahirkan Amerika Serikat (1776), dengan sadar para founding fathers AS memisahkan agama dari negara. Padahal, mereka itu adalah pemeluk agama yang taat. Kalau mau, bisa saja mereka menjadikan AS sebagai negara agama.

Di Eropa Timur, reaksinya lebih keras lagi. Revolusi Bolsyewijk (1917) yang terjadi di Rusia kemudian melahirkan negara komunis yang pertama. Dalam konsep ini, agama dinilai sebagai "candu" bagi masyarakat, yang berarti justru merusak masyarakat. Lebih jauh, hal itu kemudian diwujudkan dengan sikap anti-agama dan karena itu komunisme dikenal sebagai tidak mengenal atau anti-Tuhan (Atheis).

Di Eropa Barat, perkembangannya juga cukup menarik. Meskipun di sana masih ada partai agama, misalnya Partai Kristen Demokrat atau Partai Katolik, partai-partai itu tidak bermaksud menjadikan agama sebagai dasar negara. Pengalaman panjang Eropa yang pahit telah menyadarkan mereka untuk menyadari perlunya pemisahan agama dari negara.

Meskipun demikian, peran nilai agama tidak dapat diremehkan. Nilai-nilai agama telah menjadi landasan etika berbangsa dan bernegara, baik di Eropa maupun di AS. Bahkan, di negara komunis pun keberadaan nilai agama tidak bisa dihilangkan. Boris Yeltsin, mantan Presiden Rusia itu, ketika meninggal, dikremasikan sebagai seorang Katolik Ortodoks.

Bagaimana di Indonesia?

Indonesia, sebagai negara berdasar Pancasila, sering dideskripsikan sebagai bukan negara agama dan bukan negara sekuler. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa sering dikatakan sebagai sumber moral berbangsa dan bernegara. Mirip dengan di negara sekuler, di mana etika-moralnya juga berdasar ajaran agama. Namun, berbeda dengan di negara sekuler, Indonesia memberi perhatian yang lebih besar kepada kehidupan beragama. Hal ini dilakukan melalui Departemen Agama.

Dapatkah dikatakan bahwa hal itu juga berarti negara boleh melakukan intervensi terhadap kehidupan beragama warganya? Kehidupan beragama dengan demikian bukan wilayah privat, tetapi menjadi wilayah publik. Negara ikut menjaga kehidupan beragama agar tercipta kehidupan yang harmonis di antara para pemeluk agama.

Demikian juga negara wajib menjamin setiap pemeluk agama melaksanakan ajarannya dengan baik serta menjaga kemurnian setiap agama. Karena itu, diperlukan pengakuan agama yang legitimate. Di pihak lain, sebagai negara demokrasi, agama juga bisa menjadi dasar/asas perjuangan politik, bahkan diperjuangkan untuk menjadi landasan berbangsa dan bernegara.

Dalam kenyataannya, konflik sosial dan politik yang melibatkan umat beragama justru sering terjadi. Negara terpaksa sering menjadi juru damai. Demikian juga konflik politik yang melibatkan partai politik atau kelompok politik berdasar agama.

Apakah konsep Negara Pancasila seperti itu tidak justru mengundang peluang konflik antarumat beragama? Inilah yang sedang kita pertaruhkan, khususnya oleh para pemimpin agama, untuk dapat membuktikan bahwa konsep kehidupan beragama berdasar Pancasila benar-benar lebih menjamin kehidupan yang harmonis di antara sesama umat beragama.

Bahwa perbedaan beragama tidak menjadi masalah untuk dapat hidup harmonis, oleh karena setiap agama harus dapat memberi manfaat bagi seluruh umat manusia (Rachmatan lil ’alamin).

Hal ini agaknya terkait dengan konsep demokrasi kita. Bahwa demokrasi tidak berarti kebebasan tanpa batas.

Demokrasi harus berdasar platform bersama yang disepakati sehingga pengamalan ajaran agama berjalan dalam koridor yang harus disepakati bersama itu. Dalam hal ini adalah Pancasila.

Mungkin hanya dengan pengorbanan seperti itu maka perbedaan atau pluralisme beragama dapat menjamin kehidupan umat beragama yang harmonis. Dengan demikian, memberi dampak positif bagi pembentukan etika berbangsa dan bernegara.

Sulastomo, Koordinator Gerakan Jalan Lurus, Ketua Bisma (Badan Interaksi Sosial Masyarakat), Wadah Kerukunan antara Umat Beragama

No comments: