Sunday, June 17, 2007

Perihal Politik, Mengapa Muslim Lari ke Agama?
10-6-2007

Oleh : DALIA MOGAHED /Syirah On Line

Washington, DC – Salah seorang ahli terkemuka mengenai demokrasi Islam, Noah Feldman, menjelaskan dalam bukunya “After Jihad: America and the struggle for Islamic Democracy” bagaimana paradigma Barat telah memusatkan perhatiannya pada dua model pemerintahan yang berlawanan satu sama lain, yang masing-masing dapat dilacak asal-usulnya ke dua kota kuno: Yerusalem, tempat kelahiran Kristen dan Athena, tempat kelahiran Demokrasi.

Dalam banyak hal, Yerusalem mewakili model dominasi agama, tidak ada pemisahan antara Gereja dan Negara, dan ditandai oleh kekuasaan hampir mutlak dari seorang kaisar yang juga merupakan kepala Gereja. Sementara Athena mewakili akal sehat, tempat agama dijadikan suatu hal yang sangat “pribadi”, dewa ilmu pengetahuan mendominasi, dan rakyat memiliki suara langsung menentukan siapa yang akan memimpin mereka.

Sejarah Barat ditandai oleh dinamika ketegangan antara kedua kota tersebut. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa jika sebuah konsepsi masyarakat akan pemerintahan ideal tidak sesuai dengan model sekuler Athena, maka pastilah ia memilih model Yerusalem. Dalam paradigma biner ini, tak tersedia pilihan ketiga.

Namun, Feldman menegaskan, sejarah politik Islam berasal dari kota lain, Madinah, tempat asal-usul tradisi spiritual dan demokrasi Islam.

Survei Gallup belum lama ini menunjukkan bahwa walaupun ada keragaman besar di antara bangsa-bangsa Muslim, beberapa tema utama yang muncul justu berlawanan dengan kearifan konvensional. Salah satu temuan tersebut adalah adanya dukungan luas umat Muslim bagi shariah, prinsip-prinsip keagamaan Islam yang umumnya dilihat sebagai pengatur segala aspek kehidupan, dari hal kecil hingga besar.

Sering dianggap di Barat sebagai korpus hukum penindas yang didukung hanya oleh sejumlah kecil orang-orang fanatik (dan secara khusu dibenci oleh perempuan), pengangkatan shariah sebagai salah satu sumber hukum memperoleh dukungan dari mayoritas delapan bangsa berpenduduk mayoritas Muslim yang disurvei. Mungkin yang lebih mengejutkan adalah ketiadaan perbedaan berarti antara laki-laki dan perempuan menyangkut dukungan mereka bagi penerapan shariah dalam tata pemerintahan. Satu-satunya yang berbeda dengan yang lain adalah Turki, di sana 57% mengatakan bahwa shariah tidak seharusnya menjadi sumber hukum.

Bagaimanakah sesungguhnya shariah dipahami oleh sebagian besar umat Muslim? Apakah pengangkatannya berarti sebuah penolakan terhadap nilai-nilai demokrasi dan seruan bagi kekuasaan mutlak seorang imam yang sempurna?

Temuan-temuan yang didapatkan menunjukkan sebaliknya. Mayoritas terbesar dari mereka yang disurvei, selain menyatakan kekaguman terhadap kebebasan politik di Barat, juga mendukung kebebasan berpendapat, beragama, dan berkumpul – termasuk hak seorang perempuan untuk memberikan suara, mengemudi, dan bekerja di luar rumah. Sebaliknya, mayoritas pada setiap bangsa yang disurvei kecuali Arab Saudi (di mana angkanya 40%) juga berpendapat bahwa sudah sepantasnya perempuan menduduki jabatan-jabatan tertinggi pada pemerintahan dalam Kabinet dan Dewan Nasional negara mereka. Di samping itu, sekitar 60% berkata, mereka tidak menginginkan para pemimpin keagamaan memainkan peran langsung dalam perancangan konstitusi sebuah negara (bahkan di kalangan mereka yang meyakini pandangan yang bertentangan sekalipun, kebanyakan menginginkan para ulama dibatasi pada fungsi penasihat saja).

Haruskan Barat terkejut dengan tanggapan ini? Richard Bulliet, dalam bukunya “The Case for Islamo-Christian Civilization”, menjelaskan bahwa shariah secara tradisional bertindak sebagai pemberi batasan terhadap kekuasaan pemerintah. Ia menulis, “Apa yang menghalangi para penguasa berperilaku sebagai tiran adalah hukum Islam, shariah, karena hukum tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip keilahian dan bukan manusia, tak seorang penguasa pun dapat mengubahnya untuk melayani kepentingannya sendiri.”

Dalam bahasa yang lebih sederhana, shariah dalam pemahaman Muslim merupakan wakil dari hak-hak yang tak dapat dialihkan, yang diberikan kepada setiap orang oleh Sang Maha Pencipta. Karena itu, peranan pemerintah seharusnya melindungi hak-hak tersebut, dan sekularisme total, bagi banyak orang, dapat berarti hilangnya semua batasan terhadap tirani pemerintah, dan kenyataannya ia telah mengambil hak-hak yang diberikan Tuhan kepada umatnya.

Bahwa sebagian besar mayoritas Muslim mendukung pendekatan yang menolak mengasingkan Tuhan dari wilayah pemerintahan, walaupun mereka meyakini nilai-nilai demokrasi mungkin membingungkan banyak orang yang hanya dapat memahami demokrasi sekuler bergaya Perancis.

Hal lain yang mengejutkan adalah betapa banyaknya orang Amerika yang sesungguhnya merangkul model yang sama. Dalam sebuah jajak pendapat terakhir Gallup terhadap rumah tangga Amerika, 46% mengatakan bahwa Injil seharusnya menjadi salah satu, jika bukan satu-satunya, sumber hukum, dan 9% lebih mengatakan bahwa Injil seharusnya menjadi satu-satunya sumber hukum.

Namun, mayoritas orang Amerika, sebagaiman kaum Muslim, tidak mendukung pemberian kendali kepada pemimpin agama. Menariknya, orang Amerika memandang peran para pemimpin keagamaan hampir sebangun dengan orang-orang Iran. 55% orang Amerika dan Iran berkata bahwa para pemimpin keagamaan seharusnya tidak memiliki peran dalam perumusan konstitusi sebuah negara baru, sementara sisanya percaya mereka harus diberikan setidaknya satu peran tertentu.

Pemahaman terhadap tiga model pemerintahan ini, yang merangkul nilai-nilai agama dan demokrasi, mungkin merupakan kunci Amerika membantu membangun demokrasi sejati yang didukung rakyat di belahan bumi ini []

* DALIA MOGAHED PEMIMPIN GALLUP CENTER FOR MUSLIM STUDIES. BERSAMA JOHN ESPOSITO, IA MENULIS BUKU “WHO SPEAKS FOR ISLAM? LISTENING TO THE VOICES OF A BILLION MUSLIMS” YANG AKAN SEGERA TERBIT.

ARTIKEL INI DIMUAT HASIL KERJASAMA SYIRAH DENGAN COMMON GROUND NEWS SERVICE (CGNEWS)


No comments: