Sunday, June 24, 2007

Merobohkan Teologi Langit Cetak E-mail

Oleh: MAKSUN

Dalam karya magnum opus-nya, Min al-Aqidah ila al-Tsaurah, Hassan Hanafi, menginstruksikan agar kita segera mengubah teologi langit menjadi teologi bumi. ’’Bumi sebagai ruang hunian umat manusia harus selalu menjadi pijakan kita dalam beragama. Sebab, Allah bukan hanya Raja di langit, melainkan di bumi. Allah bukan hanya Tuhan para malaikat yang ada di sana, melainkan Tuhan umat manusia yang ada di sini, di bumi ini”, demikian ujar pemikir muslim kontemporer itu. Gagasan mengenai teologi bumi yang diintrodusir Hasan Hanafi itu, tampaknya, cukup relevan untuk dikedepankan.

Sebab, di tengah munculnya beragam problem kemanusiaan universal dewasa ini, yakni korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, keterbelakangan, dan semacamnya, ternyata agama mengalami semacam disfungsi dan mengidap krisis relevansi doktrinal. Artinya, agama tidak lagi mampu berperan aktif dan diskursif dalam merespons problem kemanusiaan, tetapi hanya menjadi atribut kesalehan individual yang melangit, dan tidak lagi menjadi sebuah kekuatan yang membumi untuk mendorong perubahan dan peningkatan kualitas empiris objektif umat manusia.

Bahkan, agama acap kali dipolitisasi sekadar menjadi corong terselubung bagi penguasa untuk kepentingan-kepentingan sesaat. Tidaklah berlebihan jika kemudian Malachi Martin, dalam penelitiannya selama bertahun-tahun terhadap tiga agama besar (Yahudi, Kristen, Islam), sebagaimana bisa dibaca dalam bukunya The Encounter, menyimpulkan bahwa agama kini telah memasuki daerah yang sangat kering baik sebagai personal concern maupun sebagai communal community.

’’Agama mengalami krisis dan era keberhasilan agama sudah berakhir,” demikian ujar Guru Besar Pontifical Biblical Institute, Roma, itu. Dalam konteks ini, saya mengandaikan sebuah kerangka teologis baru, yakni merobohkan dan mengonversikan teologi langit menjadi teologi bumi. Sejenis teologi yang memberikan perhatian lebih besar terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan.

Sebuah teologi yang emansipatoris yang memerdekakan rakyat banyak dari belenggu-belenggu struktural. Sebuah teologi yang diharapkan bisa menjelaskan sekaligus mengadili kondisi-kondisi aktual bumi yang telah melahirkan struktur-struktur dehumanisasi, disorientasi, alienasi, dan persoalan HAM lainnya.

Teologi Bumi
Teologi bumi, tentu saja, tidak sebagaimana teologi yang berkembang dewasa ini yang cenderung ahistoris dan asosiologis, dalam arti terputus dari pengalaman historis masyarakat kebanyakan. Karena itu, subjek teologi bumi bukan lagi isu-isu yang sangat formalistik dan melangit, yang bertumpu pada seputar pertanyaan: apa dan siapakah Tuhan itu, bagaimana bentuk-bentuk artikulasi Tuhan terhadap alam semesta dan kehidupan manusia, dan bagaimana pula manusia harus berperilaku di hadapan-Nya?

Isu-isu di atas merupakan pemikiran teologis tradisional yang terlalu teosentris dan melangit sehingga melupakan kondisi aktual bumi dan aspek-aspek antropologis dalam penjelasannya. Dalam teologi Islam, misalnya, teologi Wahabisme yang fundamentalistik tanpa disadari telah melegitimasi, membiarkan, bahkan melupakan formasi sosial dan struktur-struktur konkret yang eksploitatif.

Inilah yang menyebabkan mengapa Islam terkesan antisosial dan eksklusif. Berbeda dengan jenis dan rumusan teologi tradisional yang cenderung ngawang-ngawang alias melangit itu, teologi bumi sebagai teologi alternatif terhadap mainstream pemikiran teologis dewasa ini adalah sebuah upaya untuk membumikan (down to earth) persepsi ketuhanan dan memasukkannya ke dalam struktur-struktur kelembagaan masyarakat serta berbagai pranata social politik-ekonomis yang dialami masyarakat.

Dengan meminjam istilah ’’praksis’’ ala Juergen Habermas, teologi bumi bisa dimaknai sebagai teologi praksis, yakni aktualisasi nilai-nilai inti teologi ke dalam kenyataan konkret di masyarakat. Dengan demikian, teologi bumi mengajak kita untuk membangun model berteologi dan pemahaman atas teologi yang sudah semestinya digeser ke arah yang lebih praksis. Pemahaman dimaksud adalah pemahaman yang berbasiskan pembebasan dengan kelompok tertindas sebagai fokus perhatiannya.

Paradigma ini meniscayakan agar kitab suci tidak diberlakukan sebagai kisi-kisi yang memadati sejumlah kurikulum sekolah dan proposal sebuah penelitian saja, tapi harus disikapi sebagai teks yang akan memberikan sinaran etik-moral bagi kerja-kerja perubahan di masyarakat. Dengan demikian, teologi bukan saja berisi ajaran suci mengenai matra ketuhanan dan bernuansa akhirat, juga berperan untuk menafsirkan realitas sosial secara kritis dan transformatif.

Dalam perspektif Islam, misalnya, jelas kiranya bahwa Alquran datang tidak dengan semangat mengabsahkan realitas, tetapi untuk merombaknya. Ali Engineer, pemikir muslim dari India, menyatakan bahwa Islam yang berlandaskan Alquran adalah sejenis Islam yang memiliki concern pada upaya-upaya penegakan keadilan sosial dengan aksentuasi utama untuk membebaskan kelompok-kelompok yang tertindas dan marjinal, baik di ranah politik, sosial, maupun ekonomi.

Farid Esack, aktivis muslim asal Afrika Selatan, dalam bukunya Qur`an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Againts Oppression, menyatakan bahwa Islam datang untuk mereformasi struktur masyarakat Arab yang timpang, hegemonik, dan menindas. Walhasil, kini bukan saatnya lagi mempertahankan performance teologi yang melangit, serba-Tuhan, dan enggan meluangkan waktunya untuk sekadar menengok dan menyapa manusia yang tertindas, miskin, dan tak berdaya.

Sudah saatnya teologi langit itu dirobohkan dan digantikan dengan teologi bumi yang menghampiri seluruh umat manusia dengan belaian kasih sayang sekaligus mampu melahirkan term-term teologis yang bisa menjelaskan kondisi aktual bumi dan aneka problem yang dihadapi manusia.

Patut dicatat, merobohkan teologi langit tidak berarti menghilangkan sisi sakralitas, mitos, dan aspek transendensi agama karena semua itu merupakan entitas yang tak terpisahkan dari agama, melainkan mencoba mengikis nalar teologis yang selama ini cenderung melangit, teosentris, dan ahistoris, menuju nalar teologis yang benar-benar membumi, antroposentris, dan historis. Berteologi semacam inilah yang kiranya amat relevan dan signifikan untuk perjuangan merambatkan iman dan menegakkan keadilan sebagai syarat yang tak bisa ditunda-tunda lagi. Wallahu A’lam… (*)

MAKSUN
Dosen Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo, Semarang

No comments: