Sunday, June 17, 2007

Menelusuri Jejak LDII
11-3-2007
Oleh : Ekos Koswara

Mulanya LDII berangkat dari sebuah pengajian kecil hingga menjadi sebuah gerakan politik yang mirip aliran Khawarij.

Berbeda pandangan dalam memahami sebuah ajaran agama merupakan sebuah kelaziman yang tak mesti diperdebatkan. Namun di Indonesia masalah ini kerap kali terjadi, bahkan dijadikan ajang politik kekuasaan. Dan itu artinya perbedaan tidak dilihat sebagai rahmatan lil alamin tetapi sebagai ancaman. Selain itupun juga tidak dari perpekstif epistimologis yang benar melainkan ditumpangi motif

kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang penuh dengan prasangka (suuzhon). Bukan tak heran bila aliran-aliran keagamaan yang berkembang saat ini yang dianggap tak wajar menjadi objek kepentingan. Mereka yang dicap sesat, haram bahkan kafir merasa terdiskriminasi oleh kekuasaan struktural dan budaya. Dengan hal tersebut dapat menumbuhkan sikap yang sekterian. Merasa benar sendiri itulah yang menjadi sumber egoisme dan lahirnya pengklaiman terhadap kelompok tertentu.

Dulu sebelum negeri ini lahir, pernah terjadi hal serupa seperti yang dialami Syeh Siti Jenar yang dianggap sesat oleh temannya sendiri yang tergabung dalam Wali Songo. Komunitas ini didukung penuh oleh kerajaan Demak saat itu yang di kuasai Raden Fatah.

Rupanya kejadian ratusan tahun lalu itu dialami oleh kelompok aliran Darul Hadis, Kediri, yang menjadi cikal bakal lahirnya Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia (LDII). Dalam praktek ajarannya kelompok ini bertekad untuk memurnikan semua ajararan Islam di Indonesia yang berpedoman pada al-Qur’an dan Hadis.

Dari sepak terjangnya kelompok ini agak mirip gerakan wahabiah di Arab. Gerakan ini sangat berpengaruh di dataran Arab Saudi dengan satu tujuan yaitu kembali pada Qur’an dn Hadis. Kelompok ini menganggap kondisi Arab saat itu jauh dari sumber Islam sebenarnya. Sehingga tak heran jika kelompok ini dianggap mirip gerakan wahabiah, karena tokohnya, Nur Hasan pernah tinggal lama di Mekah.

Dalam catatan sejarahnya, Kejaksaan Agung pada 29 Oktober 1971 menyatakan Darul Hadis sebagai ajaran terlarang. Namun tentunya larangan itu tak berarti menghapus Pesantren Burengan yang menjadi sumber lahirnya ajaran Darul Hadis. Larangan itu bermula dari kerasahan-keresahan kelompok masyarakat dan para tokoh agama.

Kontroversi pun terus berkembang ketika aliran ini menerapkan konsep imamah dan jamaah yang melahirkan ajaran-ajaran baiat, keamiran, jamaah dan ketaatan pada imam. Selain juga penerapan sistem manqul yaitu penularan ilmu langsung dari imam. Keresahan itu memuncak setelah kelompok ini berani menyatakan golongan lain, kafir. Keberanian ini serupa yang dilakukan kelompok khawarij. Selain bersikap lebih eklusif (tertutup) dari lingkungan masyarakat.

Selang beberapa waktu kelompok ini berganti baju dengan tujuan untuk mengubah citra di mata masyarakat. Menariknya pergantian ini bermula dari saran Rudini, Menteri Dalam Negeri saat itu yaitu dengan nama Lembaga Dakwah Islamiah Indonesia. Secara politik pergantian ini sangat menguntungkan kelompok ini sehingga dapat leluasa lagi mengembangkan ajarannya ke berbagai pelosok negeri. Tetapi resiko lainnya, kelompok aliran ini harus rela di gandeng Golkar sebagai partai terbesar saat itu. Namun ke intiman ini hanya bertahan hingga derasnya arus reformasi. Dan apa boleh buat keberadaannya kembali terus diusik oleh masyarakat dan lembaga-lembaga keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia.

Hampir setiap tahunnya organisasi dakwah ini mampu melahirkan ratusan juru dakwah yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini. Paling tidak telah menguasai di 30 Provinsi, 245 Kabupaten dan 1.426 kecamatan. Dan tak hanya sampai disitu. Singapura, Australia, Amerika Serikat dan Arab Saudi juga mulai dikuasai.

Dalam catatan GATRA jumlah anggotanya mencapai 13 juta orang lebih. Ini menunjukan angka yang sangat besar yang dapat diperhitungkan berbagai kalangan. Maka tak heran jika pada Pilpres kemarin pasangan Mega-Hasyim merapat untuk mendapat dukungannya, meski secara struktural tak berapiliasi kepada pasangan ini. Bahkan Guntur dan Guruh sempat berkunjung ke Pesantren Burengan yang dipayungi LDII.

Jejak aliran Khawarij versi Indonesia ini tidak sekedar menyebarkan luaskan prinsip-prinsip ajarannya. Tetapi permainan api politik sempat dijalani dengan tujuan pencitraan. Terlebih lagi para tokoh-tokoh LDII banyak yang duduk dikursi legislatif dari berbagai partai

politik. Terlepas dari ajarannya yang kontroversi di kalangan masyarakat, organisasi ini memiliki peran dalam kancah politik negeri ini. Cara demikian pun bukan berarti upaya pembenaran ketika ajaran Islam benar-benar dimanupulasi demi kepentingan sesaat.

Kepentingan agama yang dibumbui politik di sisi lain memiliki nilai maslahat namun juga madaratnya cukup besar. Sejak dulu Siti Jenar mengingatkan, jika urusan agama sudah dikaitkan dengan politik, maka kehidupan agama tidak dapat menjadi jalan hidup dan jalan kedamaian yang dilaluinya.

Dalam politik yang menang akan merasa benar. Dan yang kalah akan dinyatakan salah, sesat bahkan haram. Karena itu, ia hanya menjadi dogma yang dipaksakan dalam praktek kehidupan. Dari perpekstif sosiologi agama, apa yang dikatakan Siti Jenar merupakan priesty religion (agama kependetaan). Pada dasarnya semua agama adalah kenabian, artinya agama yang diberikan Allah melalui seorang nabi (orang yang diberi kabar).

Keberadaannya hingga saat ini, LDII terus menjadi kontroversi dikalangan masyarakat dan para tokoh agama. Karena dianggap melenceng kelompok ini dianggap sesat yang harus segera bertobat dari dosanya. Terlebih lagi MUI, sebagai kumpulan ulama paling rajin menghantam aliran atau kelompok yang dianggap merusak ajaran Islam.

Tentu hal ini bermula dari penyebaran ajaran yang berlebihan, terkesan pemaksaan. Sehingga perbedaan-perbedaan dalam penafsiran ajaran Islam tidak boleh ada dan hidup di negeri ini tanpa seizinnya. Tentunya hal ini juga menimbulkan sekterian-sekterian baru.

Oleh karena itu, nampaknya diperlukan upaya menumbuh kembangkan peradaban baru yang berorientasi pada perdamaian dan kemaslahatan. Menerapkan konsep ini tak penting siapa yang benar dan siapa yang salah sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Persoalannya adalah siapa yang berhak mempunyai otoritas penuh untuk mengklaim seseorang atau kelompok tertentu itu dianggap sesat? MUI kah atau siapa? Tapi bukankah Tuhan sendiri yang menciptakan perbedaan itu sendiri dengan tujuan untuk saling memahami dan mengenal bukan saling mengklaim. Penerapan akan mengalami kesulitan jika sudah dikaitkan dengan urusan-urusan politik. Begitupun dengan

kontroversinya ajaran LDII dan juga lainnya. Menurut Ahmad Sahal, fenomena ini berangkat dari arus pemahaman dan pengamalan Islam yang subtantif. Sehingga kondisi inilah yang menimbulkan keresahan-keresahan dikalangan masyarakat pada umumnya.

Di Indonesia yang sedang menuju kehidupan demokratis perlu ditumbuhkan sikap-sikap yang terbuka pada realitas keberagaman dalam memahami ajaran agama. Pada dasarnya ajaran agama memusatkan perhatian pada kahidupan ruhaniah manusia bukan pada yang bersipat materi. Bersikap merasa benar sendiri lebih menunjukan pribadi yang arogan.

Jika diperhatikan banyaknya kasus yang terjadi pada kelompok atau aliran-aliran minoritas yang dianggap bersebarangan lebih merupakan politisasi agama. Selain itu juga mencerminkan kehidupan beragama yang eklusif. Sebab itu dibutuhkan sikap-sikap yang lebih arif dan demokratis dalam menghadapi segala perbedaan yang sebagai bagian dari hidup yang plural []


No comments: