13-5-2007
Oleh : AHMAD TOHARI
KIAI Badrun adalah yang tidak pernah kena demam pilpres (pemilihan presiden) pada tahun 2004 lalu. Sejak Pilpres putaran pertama hingga putaran kedua yang dimenangi oleh pasangan SBY-Kalla, Kiai Badrun tampak ayem-ayem saja. Imam masjid kecil di kampung kami itu sama sekali tak tertarik untuk berhubungan dengan agen-agen tim sukses yang merambah sampai ke wilayah pelosok, tak terkecuali kampung kami.
Padahal banyak hal besar maupun kecil, khos maupun biasa, yang terlibat dukung-mendukung. Dan banyak di antara mereka berusaha mendapat bagian uang politik, biasanya dengan dalih pembangunan masjid, pondok, dan sebagainya. Kiai Badrun juga tetap ayem ketika diingatkan bahwa Hasyim Muzadi adalah kiai besar Nahdlatul Ulama (NU) yang ikut mencalonkan diri jadi wakil presiden.
Tidak. Kiai kampung kami itu tak pernah menyatakan dukungan kepada pasangan mana pun. Hal ini membuat banyak prasangka diarahkan kepada Kiai Badrun. Ada yang bilang Kiai Badrun tak punya sikap. Dan dengan demikian bisa membingungkan umatnya. Ada lagi yang bilang Kiai Badrun sudah tak setia lagi kepada gurunya yang nyata-nyata mendukung salah satu pasangan. Semua tuduhan dibiarkan lewat.
Namun, Kiai Badrun merasa perlu memberi tanggapan ketika ada orang bilang, dengan sikapnya yang ayem-ayem itu berarti dia pantas diragukan ke-NU-annya. Ah, Kiai Badrun memang takut dikatakan tidak NU lagi karena internalisasi agama baginya, ya NU itulah. Dan tanggapan itu secara tak langsung dijelaskannya dalam khotbah Jumat terakhir sebelum hari pelaksanaan pilpres putaran kedua.
Dalam Khotbah itu Kiai Badrun menjelaskan presiden bisa diibaratkan hanya seorang sopir yang mengemudikan sebuah bis. Memang, kata Kiai Badrun, figur seorang sopir merupakan faktor penting; bagaimana tingkat keterampilannya, pengalaman dan wataknya (Kiai Badrun tidak memasukkan unsur agama yang dianut si sopir, ini yang hebat). Namun, menurut Kiai Badrun, figur seorang presiden bukanlah segalanya.
“Keberhasilan perjalanan dengan bis juga ditentukan oleh kejujuran kondektur dan keterampilan kernet. Selain itu semua, penumpang harus tertib dan bayar ongkos dengan semestinya.
“Bahkan itu belum cukup,” tambah Kiai Badrun, “Bis yang dikemudikan sopir harus dalam keadaan laik jalan: mesinnya sehat, setirnya bagus, remnya pakem, ban-bannya cukup angin. Malah semua itu pun belum cukup. Sebab kalau jalan yang dilalui longsor atau jembatan putus, maka si sopir tak mungkin bisa membawa bis dan penumpangnya sampai ke tujuan dengan selamat.”
Sampai pada titik ini teman di sebelah saya berbisik (dia melanggar aturan untuk tidak bersuara selagi khotib di atas mimbar), “Kiai Badrun pasti akan menyampaikan riwayat bahwa semua kita adalah pemimpin, ... dan seterusnya.” Tebakan teman saya benar. Kiai Badrun menyampaikan sabda Kanjeng Nabi yang sudah ditebak teman saya itu. Dan penjelasan yang dikemukakan Kiai Badrun sangat menarik.
“Nah kita semua adalah pemimpin pada tingkatan masing-masing dan kini kita duduk menjadi penumpang bis itu. Artinya, kita bersama-sama ikut menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan kerja sopir.”
Pada awal khotbah saya katakan, sebagai penumpang yang bertanggung jawab, kita harus tertib dan bayar penuh karcis. Dengan kedua hal tersebut kita berhak atas pelayanan yang baik. Dan bila pelayanan semacam itu tidak didapat, maka kita harus berani menuntutnya. Selain itu kita juga harus berani menegur sopir bila ugal-ugalan atau kondektur yang curang.”
PULANG dari salat Jumat, teman saya bilang, “Kiai Badrun benar juga. Betapa dan bagaimanapun seorang presiden, dia bukan penentu tunggal. Perbaikan dan kemajuan bangsa ini lebih banyak ditentukan oleh gabungan faktor-faktor lain.
Ya, bagaimana seorang presiden bisa berhasil memimpin bangsa dan negara ini bila sistem yang dikemudikannya keropos; supremasi hukum dan penegakan HAM masih menjadi impian. Feodalisme masih menggejala di segala bidang sektor kehidupan. Pokoknya, demokrasi masih diawang-awang. Akibatnya mental korup tetap subur.
Kini rakyat sudah terlalu kecewa dan bersikap masa bodoh. Ya, sepandai apa pun seorang sopir, tak akan mampu membawa bis yang remnya blong, apalagi di atas jalan yang rusak, kondekturnya korup...”
“Eh, kamu ngomong apa?” potong saya.
“Saya bilang, Kiai Badrun benar. Dia tidak peduli siapa pun yang terpilih jadi presiden, kita ikut menentukan keberhasilan kepemimpinannya.”
“Betul. Artinya kamu pun sadar harus memberikan kontribusi. Apa?”
Teman saya termenung. Dan gelagapan ketika saya tanya ulang. Maka, terpaksa saya tuntun dia.
“Kamu setia bayar pajak?”
“Ya, Pajak Bumi dan Bangunan, serta Pajak Kendaraan Bermotor.”
Teman saya diam.
“Kamu seorang pegawai negeri. Apa kamu selalu berdisiplin waktu dan giat memberikan pelayanan kepada masyarakat? Berani menolak suap atau menegur atasan yang nyeleweng? Di rumah, apakah kamu mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang komit kepada kebenaran dan kejujuran?”
Saya menunggu. Tetapi teman saya tak menjawab satu pun pertanyaan yang saya ajukan. Kecuali cengar-cengir. Khotbah Kiai Badrun bergaung kembali. Dia memang benar. Sesudah lahir presiden terpilih, daftar persoalan masih sangat panjang. Dan salah satu persoalan itu ada di tangan setiap warga negara yang wajib melaksanakan kepemimpinan pada bidang serta serta tingkatan masing-masing.
Namun, masalahnya memang susah. Lihatlah wajah teman saya. Dia bisa membenarkan khotbah Kiai Badrun. Tetapi, dia sendiri nyaris tidak tahu apa yang baik dilakukan untuk menjadi andil bagi perbaikan dan kemajuan negeri ini. []
No comments:
Post a Comment