Sunday, June 24, 2007

Islam, (Kartu Atau Moral) Politik?

WASPADA Online

Oleh M. Lukman Hakim Hasibuan, MA

Adalah satu fakta, hampir setiap kali adanya pemilihan untuk memperebutkan kekuasaan atau jabatan politik di negara ini, issue agama ikut dilibatkan guna memenuhi 'syahwat politik'. Fenomena biasa yang kita lihat, perang ayat selalu terjadi dalam ajang kampanye. Bahkan, jauh sebelum pemilihan umum diadakan, baik pada tingkat pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau pemilihan presiden (Pilpres), genderang perang ayat sudah terasa.

Tak heran kita sering menemukan simbol dan atribut agama dikedepankan guna merebut hati dan simpati menjelang pemilihan umum, ditambah lagi sering mendadak bermunculan selebaran-selebaran yang terkadang menghantam kualitas beragama dari masing-masing calon. Tidak penting benar atau salah, yang jelas ambisi politik terwujud. Rentannya politik yang tidak sehat ini dikarenakan politik dapat dijadikan sebagai 'surga' untuk memiliki kekayaan, kekuasaan dan kehormatan secara cepat di tengah-tengah masyarakat. Banyaknya fasilitas yang mapan diberikan kepada elite politik yang berkuasa banyak menggelapkan mata elemen bangsa kita. Untuk itulah banyak orang berlomba-lomba untuk terjun di dunia politik.

Umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini justru yang paling sering dimanfaatkan. Tampaknya para elite lingkaran politik menyadari simpati umat Islam mutlak dibutuhkan sebagai kantung suara politik. Tidak aneh, menjelang pemilihan umum biasanya pejabat yang jauh dari umat spontan merapat dengan mengikutsertakan simbol dan atribut agama. Namun sayangnya -bukan tidak sedikit- setelah ambisi politik tercapai, umat Islam dengan segala kepentingannya sering diterlantarkan atau justru dikorbankan. Ibarat pendorong mobil mogok, setelah mobilnya jalan melaju yang mendorong malah ditinggalkan.

Tipikal manusia yang menjual agama demi ambisi, berangkali bisa dianalogikan kepada cara politik dengan berjubah agama guna mencari kepentingan sesaat banyak disindir Tuhan dalam Al-Qur'an sebagai orang yang membeli ayat Tuhan dengan harga yang sangat murah (tsaman qaliila). Dalam kitab fathurrahman terdapat 10 ayat Al-Qur'an yang menyinggung masalah ini. yaitu QS:2: 41,79,174, QS:5: 47,109, QS:3: 77,187,199, QS:9:10 dan QS: 16:95. Sudah mentradisi tampaknya, dunia politik melihat pembentukan budaya politik bangsa kita masih berkutat pada politik primordial. Umat gampang sensitif dengan simbol-simbol agama. Sebagai contoh, penyanyi Iwan Fals pernah mengungkapkan rasa keheranannya, ketika ia turun dari panggung sehabis tampil menyanyikan lagu-lagu rohani Islam, umat berebutan menyalami sambil mencium tangannya, persis seperti santri 'sungkeman' terhadap kyai dalam tradisi pesantren. Padahal katanya, dalam show-show biasanya fenomena ini tidak pernah terjadi, malah justru sebaliknya rentan dengan tindakan anarkis jika fans berada pada histeria yang tinggi. Mengapa ini terjadi? pasalnya pada saat tampil Iwan Fals menggunakan jubah ala sang kyai. Kondisi ini sering membawa Islam terjebak permainan 'kartu politik' ketimbang sebagai referensi moral politik yang obyektif. Artinya, ketika dalam keadaan yang dibutuhkan, umat Islam ibarat 'kartu AS' yang digunakan sebagai aji pamungkas menghadapi lawan.

Islam, Moral Politik
Dalam ibadah Islam dikenal dua sistem hubungan yaitu hablun min Allah (hubungan baik kepada Allah) dan hablun min annas (hubungan baik sesama manusia). Kendatipun demikian bukan berarti keduanya terpisah sebagaimana konsep dunia sekuler sekarang. Sebagai ilustrasi, ketika perintah Allah mengerjakan zakat dilakukan seorang Muslim dalam rangka hubungan baiknya kepada Tuhan, pada saat itulah keseimbangan dan pemerataan ekonomi dirasakan dalam konteks sosial kemanusiaan, sehingga secara tidak langsung kewajiban syariat tadi telah menciptakan kedamaian dan kebaikan di muka bumi.

Politik juga merupakan bagian yang diatur dalam Islam. Walaupun ia terkesan hanya sebatas hubungan pada sesama manusia tetapi Islam telah menggariskan bahwa politik harus pada komitmen moral yang bervisi pada kebaikan dan keadilan yang bertujuan menegakkan nilai-nilai ketuhanan di muka bumi. Dalam rangka menciptakan moral politik yang spiritualis tidak terlepas dari beberapa hal:

Pertama, politik pada hakikatnya merupakan naluri manusia (dalam istilah Aristoteles zoon politicon) yang bersumber dari fitrahnya, hakikatnya dalam berpolitik, hati nurani tidak boleh diabaikan. Politik yang dilandasi hati nurani lebih tepatnya mampu menghilangkan 'syahwat politik' yang ambisius dalam mencapai tujuan. Sebab banyak saat ini para politikus yang melakukan 'syirik politik' yang pada mulanya berkomitmen pada kepentingan rakyat akhirnya menduakan hak-hak rakyat untuk kepentingan sendiri.
Kedua, berpolitik seharusnya dipayungi nilai-nilai spritualitas (keimanan dan kesalehan). Di sinilah perbedaan politik sekuler yang berasumsi tidak ada lawan atau kawan yang abadi melainkan yang ada adalah kepentingan abadi. Kepentingan di sini sudah tentu bisa sifatnya pribadi dan kelompok sehingga politik sekuler cenderung buas dan rakus tanpa segan menghantam lawan-lawan politik. Target yang ingin diraih adalah asal tujuan dapat dicapai apapun dapat dilakukan walaupun harus mengorbankan kepentingan orang banyak (rakyat). Beda halnya dengan politik Islam sebagai moral politik dasarnya adalah kemashlahatan umat manusia dalam bingkai amar ma'ruf nahi munkar.
Ketiga, politik didasari akhlak mulia yang bertujuan memanusiakan manusia dalam rangka menciptakan peradaban yang baik. Akhlak dalam konsep Al-Ghazali sebagaimana tertuang dalam karyanya Ihya' ulumuddin, adalah yang timbul secara spontanitas dari dalam diri tanpa dibuat-buat. Jika berpolitik yang terkesan dipaksakan dan dibuat-buat pada akhirnya nanti akan memperlihatkan hakikat sebenarnya. Ia akan menjadi aib dalam sepanjang hidup kita. Contoh seperti ini banyak diperlihatkan sejarah sebagai ibrah bagi kita. Lihatlah Hitler dengan konsep nazinya, Mussolini dengan konsep fasisnya yang diingat generasi berikutnya sebagai bagian dari potret kelam sejarah manusia pada masanya hingga kini. Islam sebagai moral politik menjadikan perilaku politik bersumber dari nilai-nilai universal Islam untuk kemanusiaan dan bukan sekadar kepentingan umat Islam ansich. Nilai-nilai universalisme Islam tanpa terbatas ruang dan waktu yang mampu mencakup dan memayungi semua golongan bangsa ini. Kendatipun jika kemenangan politik dilahirkan dari kelompok Islam, bukanlah itu berarti 'kemenangan Islam'. Sebab kalau ini yang dirasakan, akan melahirkan sentimen agama dengan mengabaikan kepentingan kelompok di luar Islam.

Penutup
Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini haruslah lebih berperan sebagai motivator moral politik bangsa kita. Idealisme ini sudah tentu terpulang kepada kita selaku umat Islam, sejauh mana umat Islam mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam hidupnya. Sebab kita perlu menyadari bahwa Islam bukan sebatas pada simbolis saja tetapi juga perlu melibatkan aspek substansi. Kelemahan kita selaku umat mayoritas di negeri ini dikarenakan kita lebih cenderung melihat pada nilai-nilai simbolis dan atribut Islam sebagai ukuran entitas kemenangan politik, sehingga pola pemikiran kita seperti ini sering menjebak umat dalam permainan kartu politik dan bukan moral politik. Wallahu 'alam bi Asshawab.

(Penulis adalah KA. KUA Haranggaol Horisan Kab. Simalungun). (wns)

No comments: