Sunday, June 3, 2007


FPI, Jembatan Kepentingan Ekonomi Elit?

Oleh : M. Abdul Hady JM*

Realitas historis membuktikan, sejak masa klasik sampai sekarang, gerakan dan pemikiran Islam selalu dipengeruhi dinamika sosial-politik, ekonomi dan budaya tertentu. Lebih-lebih konfigurasi politik pemerintah yang berkuasa.

Dinamika sosial-politik pasca runtuhnya tembok militeranisme 21 Mei 1998 silam, turut memberikan benih stimulasi tumbuh-suburnya gerakan Islam di Indonesia. Salah satu gerakan, yang selama sekian tahun dibungkam kekuatan penguasa otoriter Orde Baru, adalah gerakan Islam radikal-fundamentalis. Kini, gerakan Islam ini mulai mendapat ruang cukup luas dan leluasa untuk menampakkan geliatnya. Akhirnya, suasana politik yang makin terbuka dan kontrol negara yang kian lemah membuat kelompok ini kian berani menyuarakan aspirasi dan mengekspresikan gerakannya. Ekspresi ajaran Islam melalui simbol-simbol formal pun kentara ke permukaan.

Front Pembela Islam (FPI), misalnya, merupakan salah satu gerakan Islam model ini. Ia sering menggunakan simbol-simbol keislaman sebagai dasar gerakan. Misalnya bisa dilihat dari kegigihan perjuangan mereka mengembalikan Piagam Jakarta dan tuntutan diberlakukannya Syari'at Islam.

Aktvis atau elit FPI sendiri adalah beberapa aktivis gerakan Islam radikal-fundamentalis, baik yang berorientasi ekonomi (Darul Arqam), politik formal (PBB, PKS, dan PSII), sosial (LDII dan KISDI), militer (Laskar Jihad), maupun yang bercorak intelektual (LDK dan Nurul Fikr). Semua aktivis lembaga-lembaga ini ada dalam FPI.

Buku Gerakan Islam Simbolik; Politik Kepentingan FPI, ini mencoba memotret secara tuntas gerakan FPI dalam pergumulannya dengan perubahan sosial yang sangat cepat. Al-Zastrouw Ng penulis buku ini, selain mengurai motif-motif kemunculan kelompok FPI juga mencoba memaparkan paham keagamaan yang dianutnya.

Secara resmi, kelompok ini berdiri pada 17 Agustus 1998. Didirikan oleh sejumlah haba'ib, ulama, muballigh, dan aktivis Islam lainnya, yang dipelopori Habib Muhammad Rizieq Shihab.

Secara ekonomi, para aktivis gerakan ini kebanyakan dari kelas sosial menengah, yaitu golongan yang telah menikmati hasil pembangunan. Sementara golongan masyarakat yang menjadi korban pembangunan justru tidak tertarik pada pola gerakan ini.

Secara sosiologis, anggota FPI dapat dipilah menjadi empat kategori (h. 104-106). Pertama, masyarakat awam, yaitu masyarakat biasa yang ikut aktif dalam pengajian yang diselenggarakan FPI. Kedua, kelompok intelektual dan akademisi, yaitu para mahasiswa, dosen, dan peneliti. Umumnya, mereka mayoritas berasal dari perguruan tinggi umum. Lebih spesifik lagi dari fakultas eksak. Walau ada juga yang dari perguruan tinggi agama. Namun, umumnya mereka tidak memiliki basis pendidikan agama kuat.

Ketiga , kelompok preman dan anak jalanan. Kelompok ini direkrut FPI tidak melalui jalur formal pendaftaran, tetapi melalui pendekatan personal. Mereka lebih banyak dididik latihan fisik untuk melakukan sweeping, penggerebekan, dan demonstrasi, tanpa dibekali pendidikan agama. Keempat, golongan haba'ib dan alim ulama. Ini merupakan kelompok elit yang menduduki posisi penting dan penentu kebijakan dalam FPI.

Secara normatif, diantara keempat lapisan sosial anggota FPI ini dalam memandang, memahami dan memosisikan Islam tidak ada perbedaan. Akan tetapi, pada tataran praksis, masing-masing memiliki pemahaman, cara pandang, sikap dan kepentingan yang berbeda-beda terhadap Islam.

Pemahaman keagamaan yang dianut FPI bersifat skripturalis-simbolis, menjaga otentisitas ajaran sampai dataran yang paling simbolik, meski itu harus dilakukan dengan melanggar substansi ajaran Islam itu sendiri (h. 101).

Selain itu, gerakan ini seolah didorong oleh motif suci untuk kepentingan agama, padahal menurut amatan Al-Zastrouw Ng, kalaupun ada, dorongan dan pertimbangan agama sejatinya sangat minim. Akan tetapi diri mereka lebih didominasi oleh dorongan ekonomi-politik. Bahkan, buku yang semula sebagai tesis di PPS Universitas Indonesia ini memberi kesimpulan penting dan amat mengejutkan, bahwa FPI bukanlah termasuk gerakan Islam-radikal-fundamentalis yang memiliki komitmen tinggi untuk memperjuangkan Islam dan mencita-citakan berdirinya negara Islam. Tetapi, ia merupakan gerakan Islam radikal-politik, yang menjadikan agama hanya sebagai kedok untuk menutupi kepentingan politik dan ekonomi para pemimpinnya.

Buku ini diharapkan dapat membangkitkan kesadaran semua pihak, terutama para aktivis gerakan Islam untuk berhati-hati. Perubahan sosial yang sangat cepat sangat rentan akan terjadinya berbagai macam manipulasi. Sebab, semua hal disikapi orang sebagai komoditi yang cenderung untuk dimanipulasi. Terlebih segala yang berkaitan dengan agama.

Hal itu sangat mungkin terjadi di Indonesia. Sebab, sikap keberagamaan masyarakat Indonesia masih mistis, yaitu memandang dan memahami agama secara emosional dan simbolik. Akibatnya, mereka akan sangat mudah tertipu oleh tampilan luar dalam berbagai simbol agama. Untuk itu, buku ini sangat penting dibaca oleh semua pihak.

Selamat membaca!

*Peresensi adalah alumnus PP. Al-Jalaly Ambunten-Sumenep, Madura.

No comments: