Relasi Agama dan Negara yang Terus Digugat
Hingga 62 tahun Indonesia merdeka, perdebatan untuk menentukan kedudukan agama dalam negara masih saja terus berlangsung. Di tengah pertentangan antara kelompok yang pro dan kontra di tingkat nasional, beberapa pemerintah daerah justru telah memberlakukan ajaran agama sebagai dasar regulasi, yang mengatur kehidupan publik di daerahnya. Ketidaktegasan pemerintah dan elite politik membuat nasib Pancasila sebagai dasar negara pun menggantung.
Pascapenghapusan kalimat kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dalam Piagam Jakarta yang disusun menjelang Proklamasi Kemerdekaan, sebagian kelompok Islam terus memperjuangkan diberlakukannya kembali kalimat itu dalam konstitusi negara. Sejak era Konstituante 1955 yang ingin membuat Undang-Undang Dasar (UUD) baru hingga era reformasi dalam Perubahan UUD 1945, semangat formalisasi agama dalam kehidupan bernegara tetap diusung.
Upaya ini sempat diredam pemerintahan Orde Baru, yang menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Bahkan, Pancasila dijadikan alat penguasa untuk bertindak represif terhadap kelompok penentang kebijakan pemerintah dengan tudingan tidak pancasilais. Pancasila dijadikan alat penyeragaman Indonesia yang majemuk.
Menurut Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir saat meluncurkan bukunya, yang berjudul Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia akhir Mei lalu, perjuangan untuk menjadikan Islam sebagai sumber hukum negara hingga kini gigih dilakukan partai berasas Islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Di luar parlemen, upaya menghidupkan syariat Islam dalam negara getol dilakukan beberapa organisasi massa Islam yang mengusung ideologi transnasional, seperti Hizbut Tahrir, Majelis Mujahiddin Indonesia, maupun Front Pembela Islam. Berbagai problem kemasyarakatan dan kebangsaan diyakini mampu diatasi jika syariat Islam ditegakkan dalam semua aspek kehidupan.
Penerapan syariat Islam dalam kehidupan bernegara menemukan tempatnya pada pemerintahan daerah. Pascadesentralisasi, sejumlah daerah yang memiliki tradisi keagamaan Islam yang kuat gencar memberlakukan peraturan daerah (perda) yang bersumber pada ajaran Islam. Hal yang diatur dalam perda itu mulai dari pengaturan tata cara berpakaian, pemberantasan maksiat, hingga pelaksanaan sejumlah ibadah.
Jurnal Reform Review Volume I Nomor 1 Tahun 2007 menyebutkan, perda berbasis ajaran agama atau biasa disebut perda syariat dilaksanakan di enam provinsi, 38 kabupaten, dan 12 kota. Pola pemberlakuan perda itu pun berbeda-beda.
Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang menegaskan pelaksanaan hukum Islam, perda syariat dibuat pemerintah provinsi yang mengacu kepada sebuah aturan induk, yaitu Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Penegakan Syariah Islam. Perda yang dibuat berlaku bagi seluruh kabupaten/kota di NAD.
Di Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat, perda dibuat di tingkat provinsi secara umum dengan harapan akan dikembangkan dan dijadikan aturan induk bagi pelaksanaan perda serupa di kabupaten/kota. Beberapa kabupaten/kota di kedua provinsi itu sudah memberlakukan aturan serupa.
Di Provinsi Riau, Sumatera Selatan, dan Gorontalo, perda syariat dibuat di tingkat provinsi, tetapi tidak diikuti pemerintah kabupaten/kota. Aturan yang diatur umumnya terkait dengan pelarangan pelacuran dan peredaran minuman keras.
Bentuk lain dari pemberlakuan perda syariat adalah perda dibuat oleh pemerintah kabupaten/kota, tanpa ada aturan induk di tingkat provinsi. Kabupaten Cianjur (Jawa Barat), Tangerang (Banten), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), dan Pamekasan (Madura, Jawa Timur) adalah beberapa pemda yang melaksanakan perda syariat walau provinsi induknya tak mengaturnya.
Kemunculan perda berbasis ajaran Islam mendorong munculnya perda syariat berbasis ajaran Kristen, yaitu Rancangan Perda Kota Injil di Manokwari (Papua Barat), yang juga mengatur tata laku moral masyarakat. Kondisi ini bisa memicu lahirnya perda syariat berbasis agama lain di seluruh Indonesia.
Semula, pelaksanaan perda syariat dianggap mampu mengembalikan nilai moral masyarakat yang sudah rusak, terutama dengan merajalelanya kemaksiatan. Aturan umum yang mengacu kepada hukum konvensional itu dinilai tidak mampu mencegah dekadensi moral yang terjadi.
Namun kini muncul tudingan pelaksanaan perda syariat adalah usaha pemerintah setempat untuk menutupi kegagalan mereka dalam mengelola tata pemerintahan yang baik dan transparan. Implementasi penegakan syariat itu di berbagai daerah pun banyak yang bersifat manipulatif.
Peraturan yang dibuat cenderung mengatur moralitas individu dan mengabaikan moralitas publik. Akibatnya, korupsi, inefisiensi birokrasi, dan ekonomi biaya tinggi tetap terjadi.
Gagalnya upaya mempertahankan nilai moral masyarakat lebih disebabkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengimplementasikan dan menegakkan aturan yang ada. Kegagalan itu bukan karena acuan hukum yang bersumber kepada nilai umum masyarakat dan tidak bersumber pada ajaran agama.
Posisi dalam negara
Untuk memisahkan agama sepenuhnya dengan negara di Indonesia, seperti yang terjadi di negara Barat, sangat sulit. Pemisahan agama dan negara di Barat dilandasi kebencian atas "perselingkuhan" elite negara dengan pemimpin agama, yang menjadikan agama hanya sebagai alat penguasa. Sedangkan di Indonesia dan negara dunia ketiga, agama justru menjadi pemicu semangat heroisme untuk lepas dari penjajahan dan hegemoni bangsa Barat.
"Perselingkuhan" antarelite agama dan negara itu membuat agama kehilangan watak profetiknya, yang selalu membela kelompok lemah dan tertindas. Penggunaan agama sebagai alat politik dan ekonomi hanya menimbulkan diskriminasi yang justru jauh dari nilai agama itu sendiri.
Namun, dilepaskannya agama sepenuhnya atas negara membuat agama lepas tanggung jawab atas berbagai ketidakadilan dan tragedi kemanusiaan. Agama juga menjadi tidak bertanggung jawab atas kelaliman penguasa.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) Masdar F Mas’udi dalam diskusi bertemakan Meluruskan Arah Reformasi di Jakarta, yang diselenggarakan Gerakan Jalan Lurus pada akhir Mei lalu, mengatakan, nilai agama yang dapat masuk dalam ranah publik hanyalah nilai universalnya.
Nilai ini merupakan peneguhan dari sifat-sifat ketuhanan, yang tercermin dalam nurani setiap manusia dan ada dalam setiap agama. Nilai universal itu di antaranya adalah keadilan dalam Islam, cinta kasih dalam Kristen dan Katolik, antikekerasan atau ahimsa dalam Hindu, serta kesederhanaan dalam Buddha. Juga aspek lain dari agama lainnya.
"Aspek privat dan komunal agama tidak boleh dibawa ke ruang publik," kata Masdar.
Aspek agama yang bersifat personal, seperti keimanan, merupakan hak setiap individu. Sedangkan aspek komunal agama, seperti simbol agama, merupakan urusan internal keumatan, yakni antara pemimpin agama dan umat.
Masuknya nilai agama yang bersifat personal dan komunal dalam kehidupan publik dengan aturan dari negara rentan menimbulkan benturan dan konflik antarumat beragama. Karena itu, penempatan agama dalam kehidupan bernegara harus dirumuskan secara tegas. Kegamangan memosisikan agama dalam negara akan memicu munculnya berbagai persoalan kebangsaan lainnya.
Menurut Masdar, tidak ada satu pun ajaran kitab suci yang memerintahkan pembentukan negara berdasarkan agama. Juga Tuhan tidak pernah secara langsung memerintahkan pengaturan negara. Karena itu, kitab suci tidak dapat dijadikan konstitusi sebuah negara.
"Tuhan mengatur (negara) lewat hambanya melalui kitab suci supaya tercipta tata kehidupan yang seimbang dan selaras dengan apa pun dan siapa pun," katanya.
Sejarah awal Islam sendiri menunjukkan pembentukan masyarakat yang harmonis, sejahtera, dan berkeadilan lebih dipentingkan daripada mengakomodasi pembentukan negara Islam. Dalam Piagam Madinah yang diriwayatkan Ibnu Ishaq dalam buku berjudul Sirah an-Nabi SAW juz II halaman 119-123, tidak ada satu pun pasal dari 47 pasal yang menyebutkan tentang negara Islam.
Piagam Madinah merupakan landasan pembentukan negara Madinah dengan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpinnya. Negara Madinah ini selanjutnya menjadi dasar perkembangan peradaban Islam.
Saat dibentuk, Madinah terdiri atas banyak suku dan agama, mulai dari Islam, Kristen, dan Yahudi. Piagam Madinah lebih banyak mengatur hak, tanggung jawab, dan hubungan antarsesama warga negara.
Dalam konteks keindonesiaan, Pancasila hadir sebagai pemersatu atas perbedaan yang ada. Keragaman agama, budaya, dan adat istiadat diwadahi dalam Bhinneka Tunggal Ika. Upaya menyeragamkan bangsa Indonesia sesuai nilai kelompok tertentu jelas mengingkari perbedaan yang ada dan mengancam keutuhan bangsa.
Dosen pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Said Aqiel Siradj dalam makalahnya di sebuah seminar memperingati Hari Lahir Pancasila, pertengahan Juni lalu, mengatakan, Pancasila merupakan titik temu pandangan ideologis antara kelompok Nasionalis dan Islam. Pancasila akan tetap efektif sebagai pemersatu bangsa jika kebhinnekaan yang ada tetap terjaga.
"Daripada Islam dijadikan dasar politik tetapi negaranya tidak keruan, lebih baik Islam diamalkan sebagai pendorong lahirnya masyarakat yang berbudaya dan berperadaban," ujar Said lagi.
No comments:
Post a Comment