Dialog Antar-Agama
Ketidakadilan merupakan Akar Konflik
Diah Marsidi
Sulitkah melakukan dialog antar-agama? Kalau melihat lancarnya pembahasan, diskusi, dan percakapan yang berlangsung dalam pertemuan Dialog Antar-agama Regional Asia Pasifik II di Waitangi, Selandia Baru, 29-31 Mei, dialog semacam itu tidaklah sulit.
Mungkin juga karena acara itu sudah tiga kali digelar. Setelah dilakukan pertama kali di Yogyakarta akhir 2004 atas prakarsa Pemerintah Indonesia dan Australia, dilanjutkan dengan pertemuan kedua di Cebu, Filipina, Maret 2006, yang pemrakarsanya bertambah, yaitu dari Pemerintah Filipina dan Selandia Baru. Dialog pun berlanjut di Waitangi.
Peserta pertemuan itu adalah para tokoh agama dari negara anggota ASEAN, Australia, Selandia Baru, Timor Leste, Papua Niugini, dan Fiji. "Dalam kesempatan semacam ini, orangnya sebagian besar itu-itu saja. Jadi memang sudah tak punya masalah dalam berdialog antarkami," kata Din Syamsuddin, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang ikut dalam ketiga dialog itu.
Seringnya bertemu dan bertukar pikiran itu mungkin salah satu alasan mengapa dialog yang terjadi di Waitangi berlangsung mulus. Namun, apalah artinya dialog kalau tidak menghasilkan yang lebih dari sekadar bicara- bicara.
"Terlihat adanya kemajuan dari upaya dialog ini," kata Andri Hadi, Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Deplu RI yang memimpin rombongan Indonesia yang terdiri atas para tokoh agama Islam, Hindu, Buddha, Kristen, dan Katolik. Dialog sudah membicarakan "Plan of Action" yang disebutkan dalam Deklarasi Waitangi, sebagai tindak lanjut dari upaya ini.
Tak semua karena agama
Pada sesi awal dalam pertemuan dialog ini, para peserta menyepakati apa yang dibicarakan oleh Dr Zainal Abidin Bagir dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies UGM Yogyakarta. Ia berbicara mengenai tindakan antar-agama untuk perdamaian dan keamanan regional serta penyebab struktural konflik haruslah ditangani.
Tidaklah realistis untuk mengharapkan dialog antar-agama akan membereskan kekacauan yang disebabkan oleh struktur sosi-ekonomi-politis yang tidak adil. Agama sering dituding sebagai penyebab konflik yang mengancam keamanan.
Beberapa peserta mengajak agar melihat inti dari konflik di masyarakat. Bila tak ada marginalisasi terhadap bagian-bagian masyarakat, agama akan tidak ada gunanya dipakai sebagai penyulut konflik. Namun bila marginalisasi itu ada, agama bisa menjadi alat yang ampuh sebagai penyulut konflik. Hanya bila ada marginalisasi dan jurang perbedaan, maka agama akan efektif dimanfaatkan.
Peserta lain menyebutkan, di beberapa negara peserta, seperti Australia, Selandia Baru, dan Indonesia, tidak ada jenis masalah geopolitis yang bisa menimbulkan konflik. Yang ada, menurut dia, adalah masalah-masalah HAM, masalah-masalah penerimaan dan sikap menghormati kaum minoritas.
Sebagai contoh, Selandia Baru menjadi semakin multikultural karena perubahan struktur demografi setelah semakin banyak pendatang. Keragaman agama pun semakin kentara. Selandia Baru berpenduduk 4 juta jiwa berdasarkan sensus paling akhir, yakni tahun 2006.
Warga Selandia Baru terdiri atas 51 persen penduduk menganggap dirinya Kristen, 1,6 persen Hindu, 1,3 persen Buddha, dan 0,9 persen Muslim. Sebesar 32 persen warga menyebut dirinya tidak beragama. Keragaman agama itu diakui karena Selandia Baru tidak mempunyai agama resmi.
Mendorong sikap moderat
Walau penyebab struktural konflik harus ditangani dengan serius, apa yang disebutkan Bagir disepakati oleh para peserta bahwa dalam keterbatasannya dialog antar-agama bisa mempunyai peran untuk membantu tercapainya keamanan di kawasan.
Bila peserta dari beberapa negara menganjurkan pemberdayaan kaum minoritas atau pemberdayaan masyarakat madani, Indonesia lebih memilih pemberdayaan kaum moderat sehingga tidak lagi menjadi mayoritas yang diam, tetapi aktif berperan menentukan terciptanya keamanan dan perdamaian.
Namun, pada dasarnya setiap negara peserta dialog menginginkan agar seluruh lapisan masyarakat berperan menentukan situasi dan kondisi agar cita-cita bersama mengenai perdamaian itu tercapai. Seperti kata Menlu Selandia Baru Winston Peters, para wakil dari komunitas agama yang begitu beragam berkumpul di Waitangi untuk menciptakan saling pengertian dan sikap menghormati satu sama lain yang lebih besar.
Tema dari pertemuan ketiga dialog antar-agama regional itu adalah "Building Bridges". Pembangunan jembatan-jembatan itu diupayakan melalui rencana tindakan yang disepakati para peserta dalam Deklarasi Waitangi. Para peserta antara lain merekomendasikan agar para pemimpin agama dan pemerintah membuat serta memfasilitasi kontak antar-agama baik di tingkat lokal maupun nasional dan mendorong pertukaran pemuda, pemimpin agama, akademisi dari agama yang berbeda-beda di dalam maupun antarnegara.
Pendidikan dan media mendapat perhatian khusus, dengan pendidikan agama untuk meningkatkan pengertian akan agama dan kebudayaan yang berbeda pada tingkat sekolah menjadi salah satu topik kunci, baik dalam diskusi maupun dalam deklarasi. Salah satu rekomendasi adalah agar sekolah-sekolah meningkatkan pendidikan antar- agama, seperti layanan komunitas dan proyek bersama. Pertukaran wartawan juga disarankan sebagai salah satu cara meningkatkan pengertian antar-agama dan antarkebudayaan.
Dialog antar-agama ini dirasa perlu untuk lebih banyak dilakukan dengan mengikutsertakan seluruh masyarakat dalam menentukan keamanan dan perdamaian kawasan menjadi kepedulian bersama.
Beberapa peserta mempertanyakan apakah kelompok ekstrem juga sebaiknya diikutsertakan dalam dialog. Sedangkan peserta lain mengusulkan agar mereka yang agnostik, kelompok yang tak beragama, untuk diikutsertakan.
Tahun mendatang dialog antar-agama berlanjut di Kamboja, negara dengan mayoritas agama Buddha. Diharapkan kala para pemuka agama berkumpul kembali di sana, sebagian rencana tindakan dari Deklarasi Waitangi telah terwujud sehingga dialog tidak berhenti hanya pada sekadar berbicara dan berbicara semata. Dialog memang memerlukan tindakan lanjutan.
No comments:
Post a Comment