Thursday, June 21, 2007

CERITA DARI PESANTREN

PUTRI AL MUKMIN NGRUKI

Oleh Farha Ciciek[1]

Tidak sebagaimana pesantren (Putra) al Mukmin yang tersohor karena beragam peristiwa “heboh” yang berkadar politik tinggi, Pesantren Putri al Mukmin sepi dari ekspose dan pemberitaan. Mari kita bersilaturrahmi kesana…

Awalnya….

Pada tahun 1976, empat tahun setelah Pesantren al Mukmin (putra) berdiri[2], santri putri mulai diterima di lembaga pendidikan Islam ini. Menurut berbagai sumber, lambannya pengadaan kesantrian putri, terutama disebabkan oleh kekhawatiran beberapa pengasuh Pesantren sendiri. Sebagian pendiri Pesantren al Mukmin yang merupakan alumni Pesantren Darussalam, Gontor, Jawa Timur, masih memegang fatwa para pimpinan pesantren tersebut bahwa mengelola pesantren putri akan jauh lebih sukar karena pasti akan timbul banyak fitnah[3]. Dengan demikian untuk mendirikan kesantrian putri bukan semata-mata hanya mengacu kepada masalah sarana dan animo masyarakat tetapi yang lebih penting adalah sejauh mana pihak pesantren akan mampu memikul tanggung jawab dan amanah yang berat ini.

Prosesi kelahiran Pesantren putri al Mukmin berawal dari pembubaran Madrasah Diniyah asuhan Pesantren. Hal ini disebabkan karena kesibukan para pengajar Madrasah yang juga mengampu pesantren sehingga Madrasah ini sudah tidak bisa dikelola dengan baik. Supaya tidak menimbulkan masalah, pengurus yayasan sepakat untuk “memindahkan” para siswi yang tetap ingin belajar agama sebagai santri di Pondok Pesantren al Mukmin. Santri putri angkatan pertama berjumlah 2 orang. Karena belum ada sarana pemondokan khusus putri, mereka belum dapat langsung diasramakan sebagaimana rekan putranya. Setahun kemudian (1977) baru para santri putri ini diasramakan, itupun dalam status sebagai titipan di rumah 2 orang ustadh yang ada dilingkungan pesantren.

Pemisahan Wilayah berdasar Jenis Kelamin …

Serba terbatas, itulah kata yang tepat untuk mengungkapkan kondisi Pesantren putri di awal berdirinya. Semua sarana serba minim, baik asrama maupun sekolah. Oleh karena itu diambil kebijakan bahwa santri putri masih nebeng (bercampur) dengan santri putra.

Pada tahun 1980 pemisahan kelas dilakukan. Upaya pemisahan ini menurut beberapa ustadh senior terutama berakar dari tekad pesantren untuk merealisasikan Islam dengan lebih sempurna. Jadi hal ini bukan (semata-mata) masalah kuantitas (karena peningkatan jumlah santri putri saja) tetapi lebih merupakan masalah ideal. Pemisahan santri putra putri merupakan syarat yang diajukan kepada pengurus pesantren ketika Ustad HS diminta untuk terlibat dalam pengelolaan pesantren[4] . Ustadh yang merupakan alumnus pesantren PERSIS Bangil ini, mengambil keputusan untuk mencontoh pesantren PERSIS putri yang ada di Bangil, dimana segregasi (pemisahan) merupakan sebuah kebijakan yang harus dilaksanakan.

Namun pada saat itu, lagi-lagi karena keterbatasan sarana, walaupun kelas putra dan putri telah terpisah, kegiatan ekstra-kurikuler (kepesantrenan) seperti khitobah (latihan pidato), appresiasi kesenian, cerdas cermat dan lain-lain, masih bercampur juga. Pemisahan total, baik kegiatan persekolahan maupun ekstra kurikuler antara unit putra dan putri, baru dapat dilakukan pada tahun 1981/1982 setelah pihak Pondok Pesantren mendapat bantuan untuk pembangunan kompleks khusus putri dari Dewan Dakwah Indonesia (DDI).

Upaya menaati dan konsisten kepada kebijakan tersebut, bukan perkara yang mudah dalam lingkungan dan situasi sekeliling yang masih “tidak Islami”. Selain Kendala kultural (menyangkut perbedaan pandangan dengan lingkungan sekitar pondok ataupun masyarakat umum dengan segala implikasinya mulai dari tindakan pelecehan hingga ancaman), muncul juga berbagai kendala yang bersifat institusional. Hal ini terutama berkaitan dengan keterbatasan internal lembaga ini baik berupa sarana maupun prasarana. Sebagai contoh, pernah pada periode tertentu hanya ada 3 santri putri dalam satu kelas, namun mereka tetap dipisahkan dalam kelas tersendiri (khusus putri). Berdasarkan perhitungan yang berkaitan dengan persoalan managemen yang “benar”, tentunya akan lebih effisien jika tiga siswi tersebut digabungkan saja dengan kelas putra. Tetapi karena Pondok Pesantren telah bertekad untuk menjalankan sebuah kebijakan “islamisasi sistem pendidikan”, maka pemisahan tetap dilakukan walaupun dengan resiko tidak efisien alias merugi.

Jika terpaksa kebijakan lain diambil seperti kasus yang dialami Madrasah Tsanawiyah. Unit Tsanawiyah pernah terhenti aktifitasnya, bukan karena sengaja dihentikan, tetapi karena kurangnya jumlah siswi untuk dijadikan satu kelas, sedangkan ada kesulitan untuk memisahkan mereka dari para siswa secara khusus.

Berkata “TIDAK” pada Ikhtilat...

Pemisahan wilayah (segregasi) adalah salah satu cara pesantren menghindari “ikhtilat” (Pergaulan campur atau interaksi antara laki laki dan perempuan). Hal ini dilakukan karena pada prinsipnya masyarakat ideal Islam adalah masyarakat yang tersegregasi. Meskipun demikian kontak antara laki-laki dan perempuan dalam batas tertentu tetap diperbolehkan dan telah di atur dalam syari’ah.

Penolakan yang cukup keras terhadap membudayanya Ikhtilat, disebabkan karena kekhawatiran akan effek yang ditimbulkannya. Ust IS mensinyalir hal tersebut dalam penuturannya berikut ini :

“Banyak Kehancuran umat manusia jika kita teliti berawal dari ikhtilat. Ikhtilat biasanya akan merembet ke pergaulan bebas dan tak terkendali. Dengan demikian Ikhtilat akan menimbulkan fitnah. Namun walaupun demikian bergaul dalam batas tertentu diizinkan sesuai keteladanan Nabi. Secara nyata Pesantren ini hendak mengubah tindakan yang tidak Islami, seperti bercampurnya laki dan perempuan dalam satu kelas. Hal ini saya duga berasal dari para pemikir Barat yang secara sengaja hendak menghancurkan nilai Islam, melalui produk pendidikan seperti ini). Sebenarnya jika disimak lebih jauh prinsip Islam itu agung, menghambat manusia agar tidak tergelincir pada sesuatu yang jorok, yang akan mengakibatkan dekadensi moral. Sejarah manusia sejak awal menunjukkan bahwa jika terjadi ikhtilat cepat sekali terjadi kehancuran moral dan pada akhirnya kehancuran masyarakat”

Memang, nyaris secara aklamasi warga Pondok Pesantren ini mempunyai pendapat bahwa dekadensi sosial selalu berawal dari dekadensi moral, yang termanifestasikan terutama dari longgarnya pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian rekonstruksi moral dalam kerangka peradaban Islami harus diawali dalam bentuk pembatasan relasi perempuan dan laki-laki baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Masih berkaitan dengan persoalan ini, ust HS mengungkapkan :

“Walaupun perkembangan pesantren pesat dari segi fisik-bangunan maupun jumlah santri, tetapi untuk dikategorikan sebagai islami masih jauh. Masih diperlukan pembenahan yang cukup panjang, apalagi untuk membentuk ulama amiliin fi sabilillah sebagaimana yang digariskan dalam khittoh pesantren.

Menurut pengamatan ustadh senior ini, hal yang teramat mendasar dalam penataan relasi paling kecil antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan kepesantrenan saja belum sepenuhnya dilaksanakan dengan sempurna.

“ Terpisahnya kompleks putra putri hanya sebatas kali di pondok al Mukmin ini, dalam pandangan para pengasuh pondok Bangil maupun Gontor masih dikategorikan campur, karena ikhtilat sangat mungkin terjadi, dan memang itulah yang terjadi saat ini. Kyai Zarkasy dari Gontor berpendapat bahwa misalnya untuk membuat pondok putri minimal harus berjarak 100 KM dari kompleks putra. Seperti diketahui, saat ini pondok putri pesantren Darussalam di bangun di Mantingan, Ngawi. Amat jauh dari pondok Gontor (putra) yang berlokasi di Ponorogo. Akibatnya tak banyak hukum/peraturan dibuat dan tidak banyak terjadi pelanggaran pelanggaran.

Lebih jauh dikatakan bahwa:

Di pondok al Mukmin ini semakin hukum di buat semakin ditentang sebab ikhtilat sering terjadi. Misalnya karena tugas membuang sampah masih dilakukan oleh santri putra maka masih sering terjadi titip menitip surat cinta antara putra putri, begitu juga kalangan guru sama saja.

Selain kebijakan pemisahan kompleks antara pesantren putra dan putri, di dalam kompleks putri sendiri tempat laki-laki dan perempuan di buat terpisah, khususnya di ruang guru. “Agar lebih etis dan dapat menghindari ikhtilat”, demikian komentar umumnya para ustadh maupun ustadhah. Tetapi dalam kenyataan masih saja sering terjadi “pelanggaran,” Keluh beberapa pengasuh senior.

“ Yah walaupun yang mengajar laki-laki tapi seharusnya sekedar mengajar saja jangan campur baur di kantor bersama perempuan. Semua ini memang karena kompleks yang berdekatan itu hingga diakui belum ideal. Apa yang bisa dilakukan masih belum Islami. Namun Pondok berkeinginan disuatu saat untuk pisah secara total, merujuk ke Bangil, jika sudah memungkinkan keadaannya. Mungkin salah satu pondok putra atau putri dipindahkan ke Boyolali atau Kartosuro sehingga betul-betul tidak terjadi ikhtilat”

Untuk alasan menghindari ikhtilat itulah, semula pintu masuk dan keluar kompleks kepesantrenan putri yang harus melewati kompleks putra dialihkan ke jalur yang lebih “aman”. Demikian pula waktu rekreasi santri (Para santri diberi kesempatan refreshing sebulan sekali)

“Karena pertimbangan akan banyak terjadi perjumpaan dan ikhtilat antara terutama santri putra dan putri yang nantinya dikhawatirkan menimbulkan ekses negatif maka pintu keluar masuk ke kompleks putri dipindahkan ke sebelah Selatan. Juga pembedaan waktu rekreasi, untuk putri di Jum’at pertama dan putra Jum’at ketiga setiap bulannya. Semuanya dari dasar yang sama, yakni untuk mencegah kemungkinan pertemuan-pertemuan yang tidak perlu. Kebijakan ini merupakan implementasi Islamisasi hubungan laki-laki dan perempuan”, tandas ustadhah HD.

Memang jika dibandingkan dengan pada umumnya pesantren, misalnya pesantren yang berlatar NU, lingkup interaksi dan tata krama pergaulan antara laki-laki dan perempuan di Pondok Pesantren ini tampak lebih ketat. Tidak banyak bergurau, bicara seperlunya, tidak mengadakan kontak fisik misalnya bersalaman, atau ketika berbicara tidak memandang langsung ke mata.

Dalam kerangka ini juga sejauh menyangkut persoalan tarbiyah (pengajaran) di ambil kebijakan bahwa hanya para ustadh (laki-laki) yang sudah menikah saja yang diizinkan mengajar santri putri. Misalnya, Ustadh SG, walaupun berstatus sebagai Kepala Sekolah Aliyah pada tahun 1994, namun karena belum menikah tetap tidak diizinkan untuk mengajar bagian putri. Hanya dalam urusan administratif sesekali ia bertemu dengan santri putrinya.

Bagaimana dengan ustadhah (guru perempuan), apakah ada yang mengajar di pesantren putra? Hingga saat ini belum ada karena selain tidak (belum?) ditemukan landasan syar’inya, juga secara pragmatis lebih banyak tenaga pengajar laki-laki yang ada dan lebih “mampu dan profesional”, ulas ustadh SI dan Ustadhah SS.

Safar Nisa …

Selain ikhtilat, persoalan keperempuanan lain yang cukup panas dan mengundang debat seru di komunitas ini adalah persoalan safar nissa yakni aturan perjalanan kaum perempuan. Kontroversi tentang hal ini telah berlangsung sejak diperdebatkannya beberapa hadits yang melarang kaum perempuan bepergian sendirian tanpa pendamping lelaki yakni suami dan mahram (pendamping laki-laki yang disahkan agama). Mereka tak boleh dinikahi. Mahram antara lain terdiri dari ayah, saudara laki-laki, paman, anak laki-laki dan keponakan laki-laki.

Perdebatan mengenai hal ini menghangat, karena jika konsekuen dengan hadis sejenis maka eksistensi pesantren putri menjadi goyah, terancam bubar. Alasannya sederhana karena santri putri yang ada saat ini banyak yang berasal dari jauh dan hidup di lingkungan pesantren tanpa didampingi mahram. Begitu juga kebijaksanaan pesantren untuk menugaskan santri putri lulusan Mualilimat selama setahun, diberbagai wilayah Indonesia.

Setelah diadakan musyawarah tentang persoalan ini, pesantren memutuskan kebijakan untuk membatasi mobilitas warganya yang perempuan, baik para ustadhah maupun santri, sejauh itu berhubungan dengan tugas-tugas kepesantrenan. Keputusan ini cukup mengundang persoalan terutama di kalangan ustadhah yang belum menikah. Beberapa aktifitas, baik tugas kelembagaan maupun kepentingan pribadi menjadi terhambat. Seringkali terjadi penyimpangan tersembunyi yang dilakukan bukan hanya oleh para santri, namun juga oleh ustadhah. Misalnya menghadiri resepsi pernikahan kenalan teman di luar kota atau pulang kampung sendirian.

Sedangkan untuk santri putri, Pondok Pesantren menyebarkan himbauan bagi wali santri untuk mengantar jemput anaknya sendiri. Selama ini memang pesantren ini mentradisikan antar jemput santri putri. Santri putra, jika musim liburan tiba atau berakhir dapat datang atau pergi dari pesantren tanpa pendamping, namun bagi santri putri diwajibkan ada pendamping

Biasanya karena kendala geografis maupun ekonomis tidak semua orang tua dapat datang untuk mengantar jemput putrinya. Untuk mengatasi kesulitan ini dibentuk lembaga konsul (perwakilan) yang bertugas menggantikan fungsi orang tua, untuk kepentingan antar jemput santri putri. Orang tua santri cukup memberi surat kuasa kepada petugas konsul yang didirikan BP3 (organisasi wali santri)di tiap daerah.

Mar’atus Sholehah …

Ketika membuka telinga untuk mendengar wicara tentang eksistensi perempuan di al Mukmin, selalu muncul tema yang tipikal. Ada upaya keras untuk merealisasikan cara hidup perempuan yang berdasar syariah. Ketentuan dasar tentang hal itu dituangkan dalam buku khusus yang diajarkan kepada paara santri selama 2 semester. Buku setebal 48 halaman dan diberi judul Kewanitaan ini terdiri dari 8 bab, yaitu Beberapa Pandangan Masyarakat Tentang Wanita, Peranan Antara Laki-laki dan Perempuan, Ciri-ciri Wanita Sholehah, Wanita dan Aurat, Peranan Wanita dalam Kehidupan Masyarakat, Tugas dan Peranan Wanita Menurut Kedudukannya, Wanita Muslimah dan Busana serta beberapa larangan bagi kaum wanita muslimah .

Secara tegas buku ini memisahkan dan menjabarkan berbagai unsur yang dicirikan sebagai perempuan dan laki-laki. Bahwa laki-laki dan perempuan itu berbeda secara fitrati, baik dari segi biologis, psikologis maupun fungsi- fungsi sosialnya. Mengenai Latar belakang pemberian materi ini Pembantu direktur II menuturkan sebagai berikut :

“Materi kewanitaan diadakan guna memperteguh eksistensi wanita, memperjelas tugas-tugas pokoknya dalam Islam serta berbagai hal yang harus dikembangkan kaum wanita. Inti materi ini adalah bagaimana fitrah, sikap serta tugas-tugas pokoknya dalam Islam termasuk Aurat nissa serta sifat yang perlu dipertajam dari sifat wanita. Pada awalnya pelajaran kewanitaan belum didasarkan pada buku teks seperti saat ini namun baru pada tahap pengumpulan ayat dan hadist Rasul yang berkaitan dengan persoalan wanita sholehah, wanita pilihan, para azwajun (istri-istri) nabi dan beberapa hal penting yang berkaitan dengan kewanitaan. Selanjut­nya disempurnakan hingga berbentuk buku seperti sekarang ini, walau terus terang buku yang ada sekarang masih juga dirasa kurang memadai terutama dari segi kelengkapannya. Melalui materi kewanitaan kita ingin membentuk pribadi perempuan sebagai murabbiyah dan ibu rumah tangga yang berhasil walau tak menutup kemungkinan perempuan untuk mengembangkan ilmu tetapi hal-hal pokok yang mendasar ini diharapkan telah terkuasai. Kewanitaan awalnya diajarkan di Muallimat termasuk Thakhasus tetapi sebetulnya targetnya untuk semua unit pendidikan. Kesulitan mengajarkan di unit yang bukan Muallimat karena soal keterbatasan waktu tetapi karena santri terus meminta maka dipertimbangkan untuk diajarkan juga dengan harapan agar walau mereka mempunyai ilmu yang luas mereka tetap setia kepada fitrah kewanitaannya “.

Dalam waktu dekat ini ada rencana untuk melengkapi buku ini dengan materi tambahan agar lebih memadai. Hal ini dituturkan ustadhah SS berikut ini :

“Buku kewanitaan memang perlu dibenahi. Hal ini dilakukan karena perkembangan isu kewanitaan Mutakhir seperti persoalan emansipasi, feminisme, karir dan lain-lain belum tercakup di dalam buku ini. Yang ke dua karena rentang waktu pengajaran yang cukup lama (dua semester) sedangkan materinya terbatas hingga banyak waktu yang kosong (biasanya di gunakan untuk menghafalkan dalil) .

Belajar melaksanakan Syariah…

Semua ikhtiar yang dilaksanakan di al Mukmin seperti digambarkan di atas sebenarnya hendak menguatkan keyakinan bahwa agama bukanlah sekedar teori tetapi amalan perbuatan. Dalam kehidupan di Pesantren ini, agama lebih suka didekati melalui tata hukum. Masyarakat Pondok Pesantren ini menjadi masyarakat yang sangat peka (berorientasi) hukum. Ada beragam peraturan yang harus dijalankan beserta sanksi yang diterima jika terjadi pelanggaran. Semua itu disosialisasikan secara intensif melalui berbagai cara dan sarana. Dalam kegiatan formal maupun in formal pesantren.

Terkait dengan hal tersebut di atas, diantara beberapa persoalan yang amat ditekankan disini adalah disiplin ibadah dan berbahasa resmi, terutama Arab. Bahasa Inggris secara faktual kurang ditekankan. Sementara bahasa daerah dilarang keras, karena sering merupakan picu sektarianisme-kedaerahan. Persoalan lain yang juga diperhatikan adalah kesempurnaan menutup aurat, masalah etika dan pergaulan (terutama antar laki-laki dan perempuan). Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan yang berkenaan dengan ibadah, kebahasaan, berpakaian, pergaulan, pelanggaran bidang akhlaq dan disiplin belajar serta kebersihan lingkungan akan mendapat sangsi sesuai dengan derajat pelanggaran.

Setiap hari, di kala senja, hampir selalu ada pengumuman melalui pengeras suara terhadap santri yang berbuat kesalahan ringan, seperti tidak mengenakan kaos kaki ketika keluar kamar. Sesekali ada kasus berat yang hukumannya dicambuk. Misalnya untuk kasus pencurian di atas Rp 50 ribu dan hubungan sesama jenis kelamin (lesbian). Hukuman semacam ini dilakukan di masjid dihadapan jamaah sholat. Beberapa kali pesantren terpaksa mengeluarkan santri, karena kesalahan yang dilakukan tidak dapat ditolerir lagi, seperti kasus pencurian berulang kali misalnya.

Perihal hukuman, bukan hanya santri saja yang menjadi objeknya. Para asathidhah (guru) tak urung jika bersalah akan diberi sangsi. Berat ringannya sesuai dengan derajat kesalahan yang dilakukan. Sebagai contoh Pada tahun 1995 beberapa orang ustadhah muda pernah dikenakan hukuman skors mengajar selama 6 bulan karena ketahuan pergi mendaki gunung. Hal itu dianggap melanggar rambu-rambu tentang safar nisa (ketentuan bepergian bagi perempuan) yang telah ditetapkan. Meskipun salah seorang ustadhah memprotes hukuman tersebut karena kepergiannya disertai mahram (adik lelakinya) majlis hakim pesantren tetap saja menjatuhkan hukuman tersebut.

“ Meski terus terang saya merasa seharusnya tidak dihukum seberat itu, saya berusaha mengambil hikmah dari peristiwa pendakian itu. Pesantren memang harus konsisten. Artinya hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Apakah santri biasa atau para pemimpinnya”, demikian komentarnya kalem

Sensor..Sensor...Sensor

Selain disiplin hukum, pesantren selalu waspada terhadap pengaruh kebudayaan “luar”, yang dianggap amat berpotensi merusak proses yang sedang dijalani para santri. Untuk itu Pesantren melarang para santri membawa radio, HP, bacaan yang tidak “islami” (menurut ukuran pesantren) dan menonton TV. Meskipun demikian sesekali santri dihibur dengan penayangan tontonan pilihan seperti film perjuangan Islam yang diputar diruang makan

Dalam kerangka itu pula lembaga sensor di dibentuk. Lembaga ini memberlakukan disiplin yang sangat ketat terhadap kemungkinan masuknya hal-hal yang dikategorikan negatif, termasuk informasi dari luar yang dianggap “menyimpang”.

Oleh sebab itulah seluruh paket pos akan diperiksa terlebih dahulu sebelum disampaikan kepada santri tertuju. Namun seketat apapun peraturan yang diberlakukan, masih saja ada celah tempat meloloskan diri. Barang-barang terlarang seringkali dapat diseludupkan melalui paket non-pos (biasanya paket yang diantar langsung oleh famili, teman atau kenalan) dan dimasukkan ketika santri kembali seusai liburan panjang.

Mengantisipasi hal tersebut, pihak pesantren secara sengaja dalam waktu-waktu tertentu sering mengadakan sidak (operasi mendadak) guna menjaring berbagai benda terlarang. Apakah itu berbentuk buku bacaan (hanya bacaan yang dianggap “Islami” dan sesuai dengan visi Pondok Pesantren yang diizinkan beredar, baik berupa majalah, surat khabar, novel, cergam). Bacaan yang berkaitan dengan Islam, namun tidak bersesuaian dengan visi Pondok Pesantren akan dipersoalkan (Misalnya buku-buku agama Islam yang berprespektif Syi’ah atau karangan kelompok modernis Islam), foto atau gambar yang “tidak sopan” (baik gambar diri santri sendiri maupun gambar orang lain, termasuk foto para artis) ataupun surat atau dokumen yang mengarah ke hal-hal yang tidak senonoh atau berbahaya.

Para santri yang terjaring operasi penertiban akan disidang untuk mempertanggungjawab- kan perbuatan mereka. Begitu juga setiap surat (pos) yang masuk, jika dalam penyensoran dianggap “tidak senonoh atau berbahaya” santri yang bersangkutan akan diminta penjelasannya.

Di Pondok Pesantren ini obyek “penyensoran” ini tidak hanya sebatas barang-barang, tetapi juga orang, khususnya bagi yang berlawanan jenis. Hanya laki-laki yang berstatus mahram atau orangtua saja yang boleh mengunjungi santri putri. Untuk itu Pesantren mengeluarkan semacam kartu kunjungan yang khusus diberikan kepada keluarga santri. Kartu ini juga berfungsi sebagai kartu pengenal bagi kerabat laki-laki yang berstatus mahram. Namun meskipun penjagaannya sudah ketat diantara santri putri pernah kedapatan memanipulasi fungsi kartu ini untuk pacaran.

Awas, Dunia Luar Penuh Maksiat....

Selain masalah sensor, pesantren mempunyai cara khusus untuk menjaga “ mutu” santri agar tak tercemar oleh anasir-anasir buruk, khususnya ketika masa liburan. Tradisi pembekalan diciptakan dan dijalankan pesantren sebelum musim liburan. Acara yang mengambil tempat di Masjid ini wajib diikuti seluruh santri. Menurut beberapa santri sen­ior, isi pesan pra liburan selalu sama dari waktu ke waktu.

“Kami selalu diingatkan akan kacaunya dunia luar pesantren terutama dari segi moral. Untuk itu kami harus menjaga keteguhan aqidah maupun akhlaq agar tidak terpengaruh busuknya dunia. Kami juga diwajibkan untuk berdakwah terutama dikalangan kaum keluarga dan kerabat[5]

Selain pesan di atas, santri juga diingatkan tentang kemungkinan mengalami stress ketika pulang. Pasalnya karena orang tua maupun dunia luar tidak sepenuhnya memahami prilaku santri. Untuk itu diwajibkan agar santri senantiasa melakukan ibadah dan berakhlak yang terpuji ketika berada di rumah, sehingga orang tua dan sanak keluarga akan terpengaruh dan mengikuti sikap hidup mereka.

Bagi santri putri peraturan kepulangannya untuk libur diperketat. Karena tidak sebagaimana santri putra yang dapat datang atau pulang ke pesantren sendiri secara leluasa (tanpa perwalian), santri putri harus didampingi wali/mahram. Pendamping santri putri itu selain orang tua atau familinya, dapat juga lembaga konsul yaitu lembaga perwakilan orang tua yang dibentuk tiap-tiap daerah. Dengan memberikan surat kuasa kepada para konsul ini, orang tua santri tidak perlu datang sendiri mengantar atau menjemput putrinya. Para konsul inilah yang akan mengatur dan mendampingi para santri putri selama diperjalanan.

Bagi santri yang menduduki kelas terakhir sebelum dilepas meninggalkan esantren.selalu ada training khusus yang dinamakan tazwidud duat (pembekalan untuk para da’i). Training ini diadakan kurang lebih tiga sampai lima hari. Adapun materi yang diberikan diantaranya, informasi tentang berbagai perguruan tinggi, analisis situasi masyarakat baik nasional maupun internasional serta siasat dan peta dakwah. Bagi santri putri ditekankan untuk menjadi mar’atus sholihah (perempuan sholehah) yang berfungsi sebagai ummahatul ummah (ibu pendidik masyarakat) dengan mengamalkan pengajaran yang selama ini telah diterima di Pesantren.

Lenteng Agung-Pancoran

3 Januari 2005

Beragam Gambaran Sosok Alumni...

Sosok alumni sangat bervariasi. Sangat tergantung pergaulan dan lingkungan setelah meninggalkan pondok. Taruhlah bu AH, yang kini menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Sudah tidak tampak mengruki lagi. Masih berjilbab tapi sudah tidak berkaos kaki. Dalam hal pakaian ia hampir selalu memakai baju yang ngepas di badan, bukan longgar seperti ideal pondok al Mukmin. Pendapatnyapun sudah cenderung ngegender jika menyangkut soal perempuan. “Saya sudah tidak bergaya pondok lagi” aku alumni S2 jurusan Sosiologi UGM ini”.

Contoh lain adalah ANS. Perjalanan hidupnya mengantarkan perempuan ini masuk akdemi pariwisata dan malu untuk mengakuinya jika bertemu orang pondok. Ia juga cenderung menyembunyikan sebagaian identitasnya di dunia kerjanya karena khawatir berdampak buruk pada karirnya. “ Wah, bahaya kalau tersebar saya alumni pondok Ngruki, takut dikira macam-macam. Bau-bau teroris”. Yang jelas hidup perempuan itu sudah jauh dari aturan komunitas Ngruki. Sudah hidup dengan norma-norma dunia pariwisata...

Sisi lain perempuan alumni Ngruki ada pada lingkar Jakarta. Mereka masih membentuk kelompok dan saling kontrol. Mulai dari sms untuk sholat subuh, nasehat menasehati soal aurat sampai ghirah (semangat) untuk berjuang. Mereka menggunakan mailinglist di internet untuk berkomunikasi.

Ada beberapa alumni putri juga sedang melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Memang tidak sendiri tetapi bersama suami (baca : Mahram). Mereka tetap memegang nilai dan gaya hidup almamaternya al Mukmin.

Adakah yang menjadi Tokoh ? Salah satunya adalah Ibu AMN. Ia mengikuti dan memenangkan lomba ibu teladan yang diselenggarakan oleh majalah UMMI (majalah perempuan Islam yang mempunyai pembaca terbanyak di Indonesia). Pemenang UMMI AWARD ini merupakan ibu dari 6 anak, aktif berdakwah, berbusana jubah longgar dan berkata “yes” pada poligami....

Selayang Pandang Profil dan Aktifitas Pesantren

Pondok Pesantren al Mukmin terletak di Dukuh Ngruki, Desa Cemani, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, kurang lebih 13 km di sebelah utara kota Sukaharjo atau 1 km ke arah Selatan kota Solo. Di areal ini hampir semua aktifitias pondok berlangsung. Kantor Yayasan, kantor pondok, sebagian besar madrasah maupun asrama santri terletak disini pula.

Untuk menunjang proses pendidikan saat ini Pondok Pesantren memiliki berbagai sarana. Gedung sekolah putra dan putri (terpisah), asrama putra dan putri (terpisah), masjid putra dan putri (terpisah), perpustakaan pondok dan tiap-tiap unit pendidikan, unit ketrampilan (untuk putri ketrampilan menjahit dan tata boga sedangkan untuk putra mengelas, elektronika dan pertukangan), unit ketrampilan computer (terpisah) serta laboratorium yang dipakai secara bergantian oleh santri putra maupun putri dalam jadwal waktu yang berbeda. sedangkan koperasi dan kantin pelajar, balai pengobatan (kesemuanya terpisah), tempat dan sarana olah raga (terutama dikompleks putra, di kompleks putri tidak ada aktifitas olah raga yang rutin dan intens).

Dalam persoalan kepemimpinan, Pondok Pesantren ini menganut dan mengembangkan sistem kepemimpinan kolektif. Tidak sebagaimana lazimnya sistem kepemimpinan yang berlaku di pesantren tradisional dimana sentralitas kepemimpinan terletak di tangan seorang Kyai/Nyai, kepemimpinan di Pondok Pesantren ini dimandatkan oleh yayasan (YPIA) kepada Dewan Direktur (dirokterium) yang terdiri atas seorang Direktur dengan tiga orang Pembantu Direktur (pudir) . Secara operasional direktur dibantu pula oleh Kepala Unit Madrasah, Koordinator Kesantrian dan Badan Pembantu Pelaksana Pendidikan (BP-3) di berbagai daerah.

Sistem pendidikan yang diterapkan di Pondok Pesantren al Mukmin ini merupakan sintesa antara model yang diterapkan di pondok Darussalam, Gontor, Ponorogo dan Pondok Pesantren. PERSIS, Bangil. Dari pondok Gontor Pondok Pesantren al Mukmin mengadopsi metode pengajaran bahasa Arab dan Ingris (dikenal sebagai direct system) sedangkan dari Pondok Pesantren Persis, mengadopsi model pemikiran dan implementasi Syariah (hukum Islam).

Dengan optimalisasi dua model tersebut (keahlian berbahasa Arab dan Inggris serta mumpuninya pengetahuan tentang hukum Islam) Pondok Pesantren al Mukmin bermaksud mencetak generasi muslim yang berta­faqquh fiddin (memperdalam agama) secara sungguh sungguh sehingga kelak dapat menjadi ulama amilin fi sabilillah (ulama yang selalu bekerja di jalan Allah) yang akan sanggup menerima dan mengamalkan Islam secara kaffah (utuh). Cita-cita mencetak ulama dica­nangkan karena disadari bahwa dewasa ini tengah terja­di krisis ulama padahal semakin banyak ummat yang membutuhkan keberadaan para ulama. Ada dua tipe keulamaan yang hendak dihasilkan institusi ini :

1. Ulama yang mempunyai wawasan mengenai ayat-ayat tanziliah yakni ayat-ayat yang berkaitan dengan al Qur’an dan hadits. Mereka ini disiapkan sebagai juru dakwah dikalangan masyarakat (umum).

2. Ulama yang disamping memiliki wawasan dasar keagamaan juga mumpuni dalam bidang ilmu pengetahuan umum (non agama). Ulama tipe ini diharapkan mampu menjadi juru dakwah dikalangan intelektual.

Untuk mencapai sasaran yang diidealkan ini maka seluruh langkah pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren selalu merujuk kepada al Qur’an dan sunnah shohihah tradisi nabi yang sahih). Sebagai penjabaran-nya diadakan 3 materi dasar yakni aqidah Islamiyyah (ketauhidan), syari’ah (hukum Islam) dan bahasa Arab yang dikenal sebagai materi kepondokan. Materi ini menjadi titik tekan dan ciri khas pesantren yang harus diajarkan kepada semua santri di semua unit pendidikan. Sedangkan materi penunjang dan pelengkap diberikan sesuai dengan kekhususan unit pendidikan masing masing.

Pondok pesantren al Mukmin adalah pondok pesantren yang tergolong pesantren khalaf (moderen). Di lembaga pendidikan ini berlaku dua pola atau sistem belajar-mengajar yakni sistem formal (sekolah) dan non formal (kesantrian atau kepondokan).

Aktifitas Formal (Sekolah)

Aktifitas formal persekolahan unit-unit pendidikan seperti tersebut di atas berlangsung selama 6 hari sepekan (hari Jum’at libur). Setiap harinya santri mendapatkan 10 jam pelajaran (masing masing 40 menit). Kegiatan persekolahan ini berlangsung dari pukul 07.00 pagi hingga 17.30 sore, diselingi waktu jeda untuk sholat, makan siang serta istirahat. Adapun sistem sekolah formal terdiri dari 3 unit pendidikan, yaitu:

1. Sekolah Menengah Pertama (SMP)

2. Madrasah Aliyah (setingkat SMA)

3. Kuliyatul Muallimin (KMI/sekolah guru agama putra)dan

Kuliyatul Muallimat (KMA/s ekolah guru agama putri).

4. Takhassus

Disamping 3 unit tersebut ada unit khusus yang dilakukan untuk persiapan bagi para santri lulusan SLTP/SLTA dari luar pondok yang akan melanjutkan studi baik di Muallimat/Muallimin maupun madrasah Aliyah. Di unit ini santri diberi pelajaran khusus diniyah (keagamaan) serta bahasa Arab dan Inggris. Pengelolaan Thakhassus berada di bawah unit Muallimin/mat. Masa pendidikan di unit ini berlangsung 2 tahun. Jika selesai dapat melanjutkan langsung pada kelas V KMA/KMI atau jika mengikuti program Takhassus hanya setahun dapat melanjutkan ke kelas 1 Aliyah.

Salah satu kebijakan penting yang amat menentukan warna sebuah lembaga pendidikan adalah kurikulum. Dalam tradisi Pesantren ini, kurikulum dalam pengertian rencana pelajaran adalah guideline wilayah formal (sekolah), sedangkan kegiatan kepesantrenan dikategorikan sebagai kegiatan ekstra kurikuler,dalam kerangka upaya peningkatan professionalisme para santri.

Paket kurikulum yang diberlakukan di Pondok Pesantren ini terdiri dari tiga komponen :

1) Komponen pokok (dasar) yakni materi kepondokan yang terdiri atas mata pelajaran Aqidah (Theologi Islam), Syariah (Hukum Islam) dan bahasa al Qur’an (Arab)

2) Komponen penunjang berisi materi yang sesuai dengan spesifikasi unit masing masing. Bagi Muallimat/Muallimin diberi didaktik metodik (tarbiyah wa taklim), sedangkan bagi Aly sesuai jurusan masing-masing

3) Komponen pelengkap yakni berupa materi-materi yang dianggap penting

Komponen pertama dan kedua diberikan kepada santri laki-laki maupun perempuan secara menyeluruh. Sedangkan komponen ketiga, jenis kelamin dipertimbang­kan sebagai salah satu faktor penentu. Misalnya pelajaran kewanitaan, olahraga dan ketrampilan.

Aktifitas in-Formal (Luar Sekolah)

Aktifitas ekstra kurikuler para santri Pondok Pesantren al Mukmin baik di dalam maupun di luar pondok dikelola oleh bagian kesantrian. Bagian ini mempunyai struktur kepengurusan yang tersendiri. Secara operasional tugas-tugas unit kesantrian dijalankan oleh IST (kependekan dari Imaratus Suuniyah Tholibah), organisasi santri (sejenis OSIS di SLTP/SLTA umum). Tugas IST memang untuk membantu pimpinan pondok Pesantren dalam pengurusan aktifitas non-formal pondok17.

Deskripsi tentang aktifitas tersebut secara lebih detail dapat dikelompokkan dalam jadwal rutin harian, jadwal mingguan, jadwal bulan dan jadwal setengah tahunan/tahunan.

1. Jadwal Rutin Harian

Untuk Jadwal rutin harian secara rinci di Pondok Pesantren al Mukmin adalah sebagai berikut:

Waktu Kegiatan

03.30-04.30 Persiapan sholat shubuh berjama’ah

04.30-04.45 Qiroatul (membaca) al Qur’an

04.45-05.45 Olah raga/ kerja pagi/mandi

06.00-06.45 Makan pagi/persiapan sekolah

07.00-11.55 Masuk sekolah (7 jam pelajaran)

11.55-12.30 Sholat Dhuhur berjamaah

12.30-13.10 Masuk sekolah (1 jam pelajaran)

13.30-14.00 Makan siang

14.00-15.00 Tidur siang/kursus

15.00-15.45 Sholat ashar berjamaah

15.50-17.10 Masuk sekolah (2 jam pelajaran)

17.10-17.30 Olah raga/mandi/kerja sore

17.30-18.15 Sholat maghrib berjamaah

18.15-19.00 Pengajian/sorogan/makan malam

19.00-19.45 Sholat Isya’ berjamaah

19.45-20.00 Persiapan belajar/makan malam

20.00-22.00 Belajar di kelas masing-masing

22.00-04.00 Tidur

Selain aktifitas umum intern pondok tersebut. Sebahagian santri mempunyai kegiatan ekstra harian yakni memberikan pengajian kepada masyarakat di luar pondok. Materi pengajian dikonsentrasikan kepada pemberantasan buta huruf al Qur’an (PBHA). Pondok Pesantren memberi batasan lokasi paling jauh radius 5 Km dari pesantren . Waktu pelaksanaan setelah Maghrib hingga Isya. Aktifitas yang dijadikan ajang latihan dan persiapan untuk terjun ke masyarakat ini sebenarnya dirancang baik untuk putra maupun putri. Namun karena adanyaberbagai kendala, pihak Pondok Pesantren akhirnya memutuskan untuk santri putra saja (santri yang duduk di kelas 4 muallimin, 1 aliyah dan 3 Thakhassus). Kebijaksanan ini diambil karena beberapa pertimbangan, sebagaimana dituturkan Pudir II sebagai berikut :

“Kami mengakui bahwa santri Putri relatif kawasan maupun wawasan dakwahnya masih terbatas, walaupun putri diharapkan punya aktifitas juga tetapi kesulitan saat ini adalah di samping soal obyek da’wah juga masalah tempat dan waktu yang sesuai. Sebenarnya kapling untuk putri telah disediakan yakni di Madrasah Diniyah milik yayasan, kuliah ahad serta TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an) yang terletak dilingkungan sekitar pesantren namun jumlahnya masih terbatas (pesantren kilat jika liburan). Problema lainnya adalah karena menurut ketentuan syar’i perempuan tidak boleh muncul di tengah audiens yang berlainan jenis dan sulit mencari dan memberi kesempatan dakwah bagi audiens yang khusus putri maka kegiatan ini belum direalisasikan. Karena jika tetap dilaksanakan dengan fasilitas terbatas berarti hanya sebagian yang mendapat kesempatan dan kami khawatir hal ini akan mengakibatkan munculnya perasaan iri satu dengan lainnya. Untuk masa mendatang kami akan mengusahakan pengadaan Madrasah Diniyah khusus putri, atau Madrasah Diniyah umum tetapi dalam kelas dan di dalam kompleks pesantren pada malam hari. Supaya santri putri tidak tersebar diluar, karena kalau keluar akan timbul fitnah bahkan sepengalaman kami pernah santri putri yang keluar malam hari disaut pemuda, riskan jadinya. Hal-hal seperti ini tidak terjadi di kalangan santri putra, hingga memang ada kebijaksanaan yang berbeda terhadap mereka berkaitan dengan aktifitas di luar pesantren. Untuk santri putra latihan dakwah di luar pesantren diwajibkan untuk santri kelas tinggi. Waktunya antara Maghrib sampai Isya, berjarak paling jauh 5 Km dari pesantren. Paling tidak kegiatan ini membuahkan 2 manfaat sekaligus, yakni pertama dapat mewarnai lingkungan dengan warna yang lebih Islami dan yang ke dua sebagai arena latihan sebelum terjun secara penuh ke tengah masyarakat”.

2. Jadwal Mingguan

Ada beberapa macam kegiatan mingguan. Yang pertama adalah pengajian sistem sorogan (tradisional). Secara rutin jenis pengajian ini diadakan setiap selesai sholat Maghrib hingga Isya, dikenal dengan pengajian tausiyah (bermakna saling menasihati). Namun tidak seperti pesantren salaf (tradisional) pada umumnya, sistem pengajaran sorogan di Pondok Pesantren ini tidak mengacu pada kitab khusus dengan guru yang khusus pula serta tata cara yang yang monoton dan kaku. Tausiyah lebih longgar, mirip pengajian/ ceramah biasa. Materi pengajiannyapun lebih bervariasi (tergantung kepada pilihan penceramah yang diberi tugas). Dengan demikian pilihan materi menjadi longgar begitu juga cara penyampaian materi.

Jenis aktifitas mingguan yang kedua adalah praktek khitobah (berpidato). Pidato dilakukan dalam 3 bahasa, Indonesia, Arab dan Inggeris. Waktunya pelaksanannya setiap hari Kamis sore dan malam harinya. Aktifitas ketiga adalah Muhawaroh yakni latihan praktek berbahasa resmi secara massal setiap Jum’at pagi. Ketiga aktifitas tersebut di atas dilakukan baik oleh santri putra maupun putri.

Sebenarnya masih ada aktifitas mingguan lainnya yakni olahraga (diantaranya bela diri, sepak bola, renang, hiking dan badminton) namun dengan pertimban­gan khusus hal ini hanya diberlakukan kepada santri putra saja

3. Jadwal Bulanan

Setiap bulan majalah dinding (Mading) dan majalah santri tiap tiap unit pendidikan diterbitkan. Target ini tidak selalu lancar. Menurut beberapa orang redaksinya hal ini dikarenakan minimnya naskah yang masuk. Langkanya perolehan naskah ini dikarenakan persyaratan penulisan naskah yang harus dalam bahasa Inggris atau Arab saja.

Jadwal bulanan lainnya yang amat menggembirakan para santri adalah kesempatan refreshing ke luar pondok. Setiap sebulan sekali di hari Jum’at dari pukul 0700 pagi hingga 1100 siang, santri (putri khususnya) dengan perizinan yang ketat diberi kesempatan rekreasi keluar pondok (hari Jum’at minggu ke tiga bagi santri putra dan minggu pertama bagi santri putri). Dalam waktu terbatas ini biasanya dihabiskan santri untuk jalan jalan ke pasar, pertokoan, supermarket atau mengunjungi kawan, sanak famili atau kerabat lainnya. Santri putri dilarang bepergian sendirian. Ia harus didampingi teman (sesama santri putri atau kerabat yang datang menjemput).

4. Jadwal Setengah Tahunan/Tahunan

Jenis kegiatan meliputi antara lain : Hiking, long march (siahah), mendaki gunung dengan SAPALA (Santri Pencinta Alam) sebagai organisasi pendukungnya dan Rihlah (studi tour). Kecuali Rihlah, semua aktifitas ini dikhususkan hanya untuk santri putra. Rihlah untuk santri putri berdasarkan pertimbangan syar’i berjarak perjalanan sehari semalam. Kegiatan ini biasanya berupa kunjungan ke berbagai pesantren dan dimaksudkan untuk menambah wawasan santri.

Aktifitas paruh tahunan yang dikuti baik oleh santri putra maupun putri adalah pentas seni dan berbagai macam kursus (terutama Kesehatan dan Jurnalistik). Seluruhnya dilakukan secara terpisah (putra putri tersendiri)

Profil Pesantren Putri

Pesantren Putri menempati areal seluas 2000 M2, menampung 700-an santri putri, 21 orang ustadhah muda yang belum meni­kah,7 orang tukang masak dan 4 karyawati koperasi.Kompleks ini terletak bersebelahan dengan kompleks pesantren putra, hanya dipisahkan oleh kali mambu, demikian penduduk sekitar menyebutnya.

Kesederhanaan memang telah tampak semenjak memasuki ruang tamu seluas 50 M. Perabot yang ada hanyalah beberapa set meja dan kursi yang tampak mulai lusuh, beberapa pot bunga, rak sepatu, meja kursi penjaga serta kotak amal. Berdampingan dengan ruang tamu, ada toilet dan ruangan seluas lebih kurang 30 meter untuk menginap para tamu.

Bangunan kompleks yang sebagian berlantai tiga ini, memuat baik fasilitas sekolah maupun asrama. Terdapat 35 ruang kelas (sebagian kelas merupakan bangunan permanen, baik dilantai satu maupun tiga, namun ada juga kelas semi permanen terbuat dari papan) dan 6 buah unit asrama. (dinamakan Darul Hijrah I-VI)

Setiap unit asrama rata-rata terdiri dari 4 kamar dengan jumlah santri rata-rata sebanyak 20 orang per kamar. Setiap kamar terdiri atas ranjang bertingkat yang tidak semuanya berkasur, lemari kecil yang tak ditata rapi, buku, pakaian dan jilbab bergeletakan dimana-mana, ada juga kompor di beberapa kamar yang sengaja diselundupkan untuk memasak “gizi tambahan” (mi instan).

Selain fasilitas asrama dan sekolah tersebut Pondok Pesantren ini juga dilengkapi sebuah masjid, dinamakan Darul Hijrah. Bangunan mesjid ini berlantai dua, sebahagian lantai atas digunakan untuk perpustakaan dinamakan perpustakaan Darul Hijrah. Fasilitas lainnya adalah dapur, ruang makan, kantin, koperasi, ruangan kesantrian (tempat tinggal para ustadhah yang belum menikah sekaligus sekretariat kesantrian putri), ruang tamu dan Unit Kesehatan Santri (UKS) yang digunakan untuk menampung santri yang memerlukan perawatan karena sakit.

Salah satu pemandangan yang dominan, jika kita mengelilingi kompleks kepesantrenan ini adalah banyaknya assesori lingkungan, baik berupa peraturan (mulai dari aturan bertamu sampai tata tertib makan), himbauan (misalnya menjaga kebersihan lingkungan, tata tertib ataupun kesopanan), MADING (majalah dinding), slogan-slogan (di sekeliling kompleks)dan berbagai jenis sticker yang bertebaran di kamar para santri. Slogan dan sebagian besar sticker umumnya berbahasa Inggris, dan berisi pesan yang mengobarkan semangat keislaman misalnya: Islam is our way of life, die as Syuhada, Be a good moslem, Islam is the best….



[1] Tulisan ini merupakan “oleh-oleh” dari beberapa kali kunjungan silaturahmi saya ke Pondok Pesantren al Mukmin Ngruki. Pertama kali saya berkenalan dengan komunitas ini ketika saya melakukan penelitian untuk menulis Tesis pada tahun 1994. Kunjungan terakhir pada akhir bulan Desember 2004.

[2] Kegiatan pengajian Duhur di Masjid Agung Surakarta merupakan embrio Pondok Pesantren al Mukmin. Pengajian yang dikelola oleh para Muballigh dan Ustadh ini, selanjutnya dikembangkan menjadi Madrasah Diniyah yang diresmikan pada 17 Oktober 1969. Pada awal berdirinya Madrasah yang berlokasi di daerah Gading Kidul, Solo, ini hanya memiliki siswa sebanyak 40 orang (15 diantaranya anak yatim asuhan yayasan), sarana fisik (bangunan), tata administrasi serta tenaga pengajar yang serba terbatas. Namun perkembangan selanjutnya relatif pesat, terutama dalam jumlah siswa. Hal ini terutama didukung oleh publikasi yang gencar dari Radio Dakwah Islamiyyah Surakarta (Radis) sebagai sarana dakwah yang dimiliki Madrasah tersebut. Perkembangan jumlah siswa-siswi kemudian memunculkan gagasan untuk mengasramakan mereka dalam bentuk pondok pesantren. Gagasan ini semakin kuat karena mendapat dukungan beberapa muballigh di kota Solo dan sekitarnya yang sadar akan “keawaman masyarakat terhadap Islam, sementara kekuatan musuh Islam semakin membahayakan” . Gagasan pendirian pondok ini semakin mantap setelah Madrasah Diniyah al Mukmin bergabung dengan Yayasan Pendidikan Islam Al Mukmin (YPIA). “Perkawinan” inilah yang mendorong percepatan kelahiran Pesantren yang ada sekarang ini. Pondok Pesantren sendiri berhasil direalisasikan pada tanggal 10 Maret 1972 dengan nama “al-Mukmin”. Karena pertambahan jumlah santri yang cukup besar pada akhirnya lokasi pesantren di Gading Kidul ini tidak dapat diperluas lagi. Keterbatasan geografis ini menggerakkan para pengurus yayasan mencari areal baru yang lebih memungkinkan proses pengembangan lokasi pesantren. Pihak yayasan pada akhirnya mendapatkan sebidang tanah di kampung Ngruki. Tanah ini merupakan wakaf (hibah) dari pimpinan pesantren Jamsaren, Solo. Sejak 1 Januari 1974 secara resmi Pondok Pesantren al Mukmin dipindahkan ke kampung Ngruki, Grogol, Sukoharjo. Setelah kepindahan ke Ngruki tempat lama digunakan untuk Madrasah Diniyah di sore hari.

[3] Wawancara dengan ust HS

[4] Pemisahan santri putra dan putri merupakan satu dari tiga keputusan pondok dalam upaya membumikan Islam ideal secara umum dan pembenahan pondok secara khusus agar lebih berkualitas. Tugas operasional pengadaan sarana fisik dan tata aturan kepesantrenan putri, sepenuhnya dilimpahkan pihak pesantren kepada ustadh Hs.

[5] Wawancara dengan santri VT

No comments: