Awal pekan ini (Senin 24/6/2006), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang Pemikiran Islam kepada Perdana Menteri Malaysia, YAB Dato' Seri Abdullah bin Ahmad Badawi. Kenapa bidang Pemikiran Islam? Tidak lain, terutama karena pemikiran Abdullah Badawi tentang 'Islam Hadhari' yang telah digagasnya bahkan sebelum menjadi PM Malaysia kelima pada 31 Oktober, 2003.
Lebih daripada soal pemikiran Islam Hadari, PM Dr Abdullah bin Ahmad Badawi, hemat saya, juga merepresentasikan transisi kepemimpinan Malaysia. Tiga PM sebelumnya, Tunku Abdul Rahman, Husein Onn, dan Tun Abdul Razak boleh disebut mewakili elite tradisional Melayu yang berpendidikan Inggris. Selanjutnya adalah Mahathir Mohamad yang dapat dikatakan berasal dari kalangan rakyat biasa dan memperoleh pendidikan terutama di kawasan Melayu.
Berbeda dengan para pendahulunya, Abdullah Badawi (lahir pada 26 November 1937 di Kampung Perlis, Bayan Lepas, Pulau Pinang, Semenanjung Malaysia) berasal dari keluarga ulama dan pendidik. Inilah yang saya sebut tadi; transisi kepemimpinan Malaysia, ke tangan tokoh, yang dalam istilah populer di Indonesia, berasal dari kalangan santri.
Kakeknya Syekh Abdullah bin Ibrahim --lebih dikenal sebagai Abdullah Fahim (lahir 1869 di Makkah)-- adalah seorang 'ulama Jawi', yang lahir dan menuntut ilmu-ilmu Islam di Makkah. Ayah dari Abdullah Fahim sendiri, Syeikh Ibrahim adalah ulama Jawi yang mukim di Makkah. Abdullah Fahim dilaporkan belajar dengan sekitar 42-50 `ulama Jawi dan non-Jawi yang mengajar di Haramayn, seperti dikemukakan Zulkiple Abd. Ghani dkk dalam buku, Syeikh Abdullah Fahim: Ulama Melayu Progresif (Pulau Pinang: UKM Bangi, 2006).
Pada 1916, Abdullah Fahim bertolak ke bumi Melayu; aktif mengajar di berbagai tempat di Semenanjung, sampai akhirnya menetap di kampung halamannya di Kepala Batas, dan mendirikan madrasah 'Da'irat al-Ma`arif al-Wathaniyyah' (1935). Madrasah yang berada di samping masjid Jami` al-Badawi sampai sekarang ini dikenal sebagai salah satu madrasah terbaik di kawasan Penang.
Abdullah Ahmad Badawi mewarisi minat dan kecenderungan keulamaan kakeknya. Karena itulah ia menuntut ilmu keislaman dalam bidang Pengkajian Islam pada University Malaya sampai mendapatkan gelar BA (S1) pada 1964. Sebab itu, Abdullah Badawi memiliki credentials dan otoritas berbicara tentang Islam. Dalam konteks wacananya tentang Islam, tidaklah berlebihan jika Syed Tawfik Al-Attas dan Ng Tieh Chuan memberi judul buku biografi sosial-politik dan intelektual PM Malaysia ini sebagai Abdullah Ahmad Badawi: Revivalist of An Intellectual Tradition (Subang Jaya: Pelanduk Publication, 2006).
Pembangkit kembali tradisi intelektual Islam. Ini bisa terlihat dari wacana utama Abdullah Badawi tentang Islam Hadhari. Secara sederhana, 'Islam Hadhari' adalah 'Islam Peradaban'; ia merupakan suatu pendekatan ke arah peradaban Islam progresif. Ia merupakan sebuah pendekatan yang menghargai substansi, bukan hanya formalisme. Islam Hadhari adalah pendekatan yang membuat kaum Muslimin mengerti bahwa kemajuan sangat dianjurkan Islam. Ia merupakan pendekatan yang kompatibel dengan modernisasi, tetapi berakar kuat pada nilai-nilai mulia dan ajaran Islam (cf. Abdullah Badawi, Islam Hadhari: A Model Approach for Development and Progress, 2006).
Menurut Abdullah Badawi, Islam Hadhari bertitik tolak dari warisan masa lampau peradaban Islam yang penuh kejayaan, dan pemikiran Islam yang sangat kaya; dan warisan ini harus menjadi referensi sehingga dapat terus menjadi sumber inspirasi bagi kaum Muslimin untuk mencapai kejayaan.
Agar umat mampu merespons berbagai tantangan dewasa ini tanpa menyimpang dari jalan yang benar, maka pintu ijtihad harus tetap terbuka. Karena melalui ijtihad, kaum Muslim dapat mengembangkan penafsiran dan konsep Islam yang paling cocok bagi kebutuhan peningkatan peradaban umat sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlaku.
Ada sepuluh prinsip pokok Islam Hadhari: 1. Keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT; 2. Pemerintahan yang adil dan amanah; 3. Rakyat yang bebas dan berjiwa merdeka; 4. Pencarian dan penguasaan yang sungguh-sungguh terhadap ilmu pengetahuan; 5. Pembangunan ekonomi yang seimbang dan komprehensif; 6. Kehidupan rakyat yang berkualitas baik; 7. Perlindungan hak-hak kelompok minoritas dan perempuan; 8. Integritas kultural dan moral; 9. Pemeliharaan sumberdaya alam dan lingkungan; 10. Kemampuan pertahanan yang kuat.
Aspek-aspek tertentu Islam Hadhari jelas tumpang tindih dengan pemikiran kontemporer Islam Indonesia. Islam Hadhari dan berbagai aliran pemikiran kontemporer tersebut perlu sinergi, sehingga pencapaian kejayaan peradaban umat dan Islam dapat betul-betul terwujud.
No comments:
Post a Comment