Penafsiran Baru Atas Al-Qur’an
Oleh: Abdurrahman Wahid
Banyak cara dapat digunakan untuk menafsirkan kitab suci al-Qur’an al-Karim. Seorang mubaligh yang sudah meninggal dunia di Jawa Timur mengatakan dalam ‘kenakalan’ yang dibuatnya, di samping ‘Tafsir al-Jalalain’, sebuah kitab tafsir yang sangat populer dan digunakan hampir semua pondok pesantren, ada ‘Tafsir Jalan Lain’ yang dikembangkan olehnya. Dengan cara bergurau seperti ini, ia melakukan sesuatu hal yang memang diperlukan dalam “memahami” kandungan kitab suci tersebut. Dalam arti memahami kebutuhan akan perubahan-perubahan makna yang “ditentukan” oleh keadaan. Ini sesuai dengan firman Allah sendiri, yang menyatakan: “Hari ini Ku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Ku sempurnakan atas kalian nikmat Ku dan telah Ku ridloi bagi kalian Islam sebagai agama” (Al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’mati wa radhitu lakum al-islama dinan).
Dalam hal ini, ada dua buah prinsip yang selalu digunakan oleh para penulis muslim ‘modern’, yaitu yang berbunyi: “Ajaran Islam sesuai dengan tiap tempat dan waktu” (Al-islam yashluhu li kulli zamanin wa makanin) dan dalam teori hukum Islam (ushul fiqh) juga menyebutkan adanya “adat istiadat yang dihukumkan“(Al-adatu muhakkamah). Dengan menggunakan dua hal ini, di samping ayat yang disebutkan di atas, banyak penulis muslim dan penceramah agama membuat uraian tentang ‘pemahaman baru’ mengenai isi dan kandungan kitab suci tersebut. Tentu saja ‘penafsiran ulang’ seperti itu tidak boleh melawan pandangan yang sudah ada, atau dengan ‘maksud aneh’ yang telah berkembang selama berabad-abad lamanya. Ini tidak boleh kita lupakan sama-sekali, kalau diinginkan “penerimaan” cukup luas.
Salah satu upaya memahami kandungan kitab suci itu, adalah upaya penulis untuk ‘memulai’ pemahamannya melalui apa yang penulis sebut sebagai ‘tafsir baru’. Umpamanya saja, penulis memahami firman Allah: “Telah membuat kalian lupa kebiasaan berbanyak. Hingga kalian memasuki liang kubur” (Al-hakumu al-takatsur. Hatta zurtumu al-maqobir). Pada umumnya, kebiasaan berbanyak-banyak (al-takatsur) dalam ayat tersebut diartikan berbanyak-banyak anak atau harta. Namun dalam pandangan penulis, istilah tersebut dapat juga berlaku bagi upaya memperbanyak perolehan suara dalam pemilu, tanpa menggunakan etika yang benar alias manipulasi perolehan suara. Ini berarti, adanya ‘perintah agama’ untuk melakukan koreksi dengan tidak mendiamkan manipulasi suara itu, seperti yang terjadi di negeri kita dewasa ini.
Sebuah perintah Allah lainnya, berbunyi: “Dan jangan kalian taati perintah mereka yang bersikap keterlaluan“(Wa la tuthi’uu al amr al-musrifin), yang harus dikaitkan dengan firman Tuhan: “Tiap orang pekerja mengerjakan sesuai dengan kecakapan/profesinya” (Kullun ya’malu ’ala syakilatih). Karena itulah, tindakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengeluarkan keputusan melalui surat-surat keputusan (SK) dalam pemilu kita tahun ini, harus mendapatkan “koreksi”. Karena SK itu bertentangan dengan UUD kita yang ada, maka tentu saja itu tidak boleh oleh Undang-Undang. Tentu saja akan ada ‘tuduhan’ bahwa penulis melakukan politisasi kedua ayat tersebut. Namun, jelas upaya penulis itu sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada dalam sekian banyak ajaran agama Islam. Namun, justru penulis menganggap ‘kritikan’ seperti itu, oleh ajaran Agama Terakhir tersebut, sebagai penolakan atas ketimpangan-ketimpangan.
*****
Suatu hal yang harus diingat dalam hal ini, adalah kenyataan bahwa Islam selalu ‘berbicara’ dalam bahasa yang beragam. Adakalanya secara mikro, dan ada kalanya secara makro dan kadang pula pula ia berbcara secara mikro dan makro. Secara mikro dapat dilihat pada firman Allah di atas, yaitu “Tiap orang pekerja mengerjakan sesuai dengan kecakapan/profesinya”. Namun, ada kalanya ia berbicara secara makro, seperti firman Allah: “Dan barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, maka amal sholehnya tidak diterima dan ia diakhirat kelak menjadi orang yang merugi “(Wa man yabtaghi ghaira al-Islami diinan falan yuqbala minhu wa huwa fi al-akhirati mina al-khasirin). Ini adalah sikap makro tiap orang muslim terhadap para pengikut agama lain, karenanya menjadi sikap semua orang muslim terhadap semua orang yang beragama lain.
Apakah ini berarti Islam tidak menghargai agama lain? Tidak demikian. Penghargaan itu harus ‘ditunjukkan’ dalam bentuk lain, yaitu penghargaan kepada tiap perbuatan baik (a’mal al khair). Seperti Allah swt berfirman: “Hendaknya ada sebuah kelompok diantara kalian, yang mengajak kepada perbuatan baik” (Waltakun minkum ummatun yad’uuna ila al-khairi). Firman Allah ini jelas berarti penghormatan terhadap tiap perbuatan baik umat manusia, walaupun berbeda keyakinan.
Adapun perintah Allah yang harus berlaku secara mikro maupun makro dapat dilihat antara lain pada ayat berikut: “Bagi kalian agama kalian, dan bagiku agamaku” (Lakum diinukum wa liyadiin). Dalam hal ini, perintah Allah berlaku baik bagi setiap orang muslim maupun bagi semua orang yang memeluk agama tersebut. Jadi, antara semua agama yang ada di dunia secara makro harus ada sikap saling menghormati, tanpa “kehilangan” keyakinan akan “kebenaran” masing-masing. Inilah prinsip hubungan antar agama secara makro bagi setiap orang.
Nah, kita sendiri sekarang dapat mengaca perbuatan yang kita lakukan, dalam sikap terhadap agama lain. Sudahkah kita memiliki “obyektifitas” (tidak memihak) kepada emosi sendiri? Jika belum, terus terang saja kita belum menjadi muslim yang dikehendaki oleh kitab suci tersebut. Namun, upaya perbaikan itu sendiri dapat dilakukan tiap waktu. Bukankah sebuah pepatah menyatakan, bahwa lebih baik terlambat dari pada tidak pernah sama sekali (better late than never).
Pemahaman kitab suci secara ‘baru’ tersebut, akan membuka bagi kita sebuah cakrawala/pandang yang akan ‘mendewasakan’ diri kita sendiri, baik dalam sikap secara mikro maupun makro. Secara mikro, ini berarti “perubahan besar” dalam kehidupan sendiri sehari-hari. Dan ini akan mempunyai pengaruhnya atas sikap-sikap kita. Secara makro, artinya sikap pribadi itu membawa perubahan lebih besar lagi yang mempengaruhi hubungan antar agama yang kita kembangkan bersama-sama para pemeluk agama/agama lain. Khususnya dengan mereka yang memiliki/mengembangkan kesadaran yang sama. Nah, jika cukup banyak jumlah para pengikut agama-agama yang ada berpendapat atau bersikap seperti ini, maka akan menjadi lebih sehatlah kehidupan kita bersama sebagai masyarakat, bangsa. Proses pendewasaan tersebut sangat kita perlukan dewasa ini sebagai bangsa, mengingat tingginya kadar keberagaman (heterogenitas) yang kita miliki. Di sini terasa berguna adagium NU yang mengharuskan “menjaga yang baik dari cara hidup lama, dan hanya mengambil yang lebih baik dari yang baru (Al-muhafadzah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al jadid al-ashlah). Ini adalah bagian dari proses pendewasaan diri yang mudah dalam bentuk ucapan, melainkan sulit dilaksanakan, bukan?
Oleh: Abdurrahman Wahid
Banyak cara dapat digunakan untuk menafsirkan kitab suci al-Qur’an al-Karim. Seorang mubaligh yang sudah meninggal dunia di Jawa Timur mengatakan dalam ‘kenakalan’ yang dibuatnya, di samping ‘Tafsir al-Jalalain’, sebuah kitab tafsir yang sangat populer dan digunakan hampir semua pondok pesantren, ada ‘Tafsir Jalan Lain’ yang dikembangkan olehnya. Dengan cara bergurau seperti ini, ia melakukan sesuatu hal yang memang diperlukan dalam “memahami” kandungan kitab suci tersebut. Dalam arti memahami kebutuhan akan perubahan-perubahan makna yang “ditentukan” oleh keadaan. Ini sesuai dengan firman Allah sendiri, yang menyatakan: “Hari ini Ku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Ku sempurnakan atas kalian nikmat Ku dan telah Ku ridloi bagi kalian Islam sebagai agama” (Al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’mati wa radhitu lakum al-islama dinan).
Dalam hal ini, ada dua buah prinsip yang selalu digunakan oleh para penulis muslim ‘modern’, yaitu yang berbunyi: “Ajaran Islam sesuai dengan tiap tempat dan waktu” (Al-islam yashluhu li kulli zamanin wa makanin) dan dalam teori hukum Islam (ushul fiqh) juga menyebutkan adanya “adat istiadat yang dihukumkan“(Al-adatu muhakkamah). Dengan menggunakan dua hal ini, di samping ayat yang disebutkan di atas, banyak penulis muslim dan penceramah agama membuat uraian tentang ‘pemahaman baru’ mengenai isi dan kandungan kitab suci tersebut. Tentu saja ‘penafsiran ulang’ seperti itu tidak boleh melawan pandangan yang sudah ada, atau dengan ‘maksud aneh’ yang telah berkembang selama berabad-abad lamanya. Ini tidak boleh kita lupakan sama-sekali, kalau diinginkan “penerimaan” cukup luas.
Salah satu upaya memahami kandungan kitab suci itu, adalah upaya penulis untuk ‘memulai’ pemahamannya melalui apa yang penulis sebut sebagai ‘tafsir baru’. Umpamanya saja, penulis memahami firman Allah: “Telah membuat kalian lupa kebiasaan berbanyak. Hingga kalian memasuki liang kubur” (Al-hakumu al-takatsur. Hatta zurtumu al-maqobir). Pada umumnya, kebiasaan berbanyak-banyak (al-takatsur) dalam ayat tersebut diartikan berbanyak-banyak anak atau harta. Namun dalam pandangan penulis, istilah tersebut dapat juga berlaku bagi upaya memperbanyak perolehan suara dalam pemilu, tanpa menggunakan etika yang benar alias manipulasi perolehan suara. Ini berarti, adanya ‘perintah agama’ untuk melakukan koreksi dengan tidak mendiamkan manipulasi suara itu, seperti yang terjadi di negeri kita dewasa ini.
Sebuah perintah Allah lainnya, berbunyi: “Dan jangan kalian taati perintah mereka yang bersikap keterlaluan“(Wa la tuthi’uu al amr al-musrifin), yang harus dikaitkan dengan firman Tuhan: “Tiap orang pekerja mengerjakan sesuai dengan kecakapan/profesinya” (Kullun ya’malu ’ala syakilatih). Karena itulah, tindakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengeluarkan keputusan melalui surat-surat keputusan (SK) dalam pemilu kita tahun ini, harus mendapatkan “koreksi”. Karena SK itu bertentangan dengan UUD kita yang ada, maka tentu saja itu tidak boleh oleh Undang-Undang. Tentu saja akan ada ‘tuduhan’ bahwa penulis melakukan politisasi kedua ayat tersebut. Namun, jelas upaya penulis itu sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada dalam sekian banyak ajaran agama Islam. Namun, justru penulis menganggap ‘kritikan’ seperti itu, oleh ajaran Agama Terakhir tersebut, sebagai penolakan atas ketimpangan-ketimpangan.
*****
Suatu hal yang harus diingat dalam hal ini, adalah kenyataan bahwa Islam selalu ‘berbicara’ dalam bahasa yang beragam. Adakalanya secara mikro, dan ada kalanya secara makro dan kadang pula pula ia berbcara secara mikro dan makro. Secara mikro dapat dilihat pada firman Allah di atas, yaitu “Tiap orang pekerja mengerjakan sesuai dengan kecakapan/profesinya”. Namun, ada kalanya ia berbicara secara makro, seperti firman Allah: “Dan barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, maka amal sholehnya tidak diterima dan ia diakhirat kelak menjadi orang yang merugi “(Wa man yabtaghi ghaira al-Islami diinan falan yuqbala minhu wa huwa fi al-akhirati mina al-khasirin). Ini adalah sikap makro tiap orang muslim terhadap para pengikut agama lain, karenanya menjadi sikap semua orang muslim terhadap semua orang yang beragama lain.
Apakah ini berarti Islam tidak menghargai agama lain? Tidak demikian. Penghargaan itu harus ‘ditunjukkan’ dalam bentuk lain, yaitu penghargaan kepada tiap perbuatan baik (a’mal al khair). Seperti Allah swt berfirman: “Hendaknya ada sebuah kelompok diantara kalian, yang mengajak kepada perbuatan baik” (Waltakun minkum ummatun yad’uuna ila al-khairi). Firman Allah ini jelas berarti penghormatan terhadap tiap perbuatan baik umat manusia, walaupun berbeda keyakinan.
Adapun perintah Allah yang harus berlaku secara mikro maupun makro dapat dilihat antara lain pada ayat berikut: “Bagi kalian agama kalian, dan bagiku agamaku” (Lakum diinukum wa liyadiin). Dalam hal ini, perintah Allah berlaku baik bagi setiap orang muslim maupun bagi semua orang yang memeluk agama tersebut. Jadi, antara semua agama yang ada di dunia secara makro harus ada sikap saling menghormati, tanpa “kehilangan” keyakinan akan “kebenaran” masing-masing. Inilah prinsip hubungan antar agama secara makro bagi setiap orang.
Nah, kita sendiri sekarang dapat mengaca perbuatan yang kita lakukan, dalam sikap terhadap agama lain. Sudahkah kita memiliki “obyektifitas” (tidak memihak) kepada emosi sendiri? Jika belum, terus terang saja kita belum menjadi muslim yang dikehendaki oleh kitab suci tersebut. Namun, upaya perbaikan itu sendiri dapat dilakukan tiap waktu. Bukankah sebuah pepatah menyatakan, bahwa lebih baik terlambat dari pada tidak pernah sama sekali (better late than never).
Pemahaman kitab suci secara ‘baru’ tersebut, akan membuka bagi kita sebuah cakrawala/pandang yang akan ‘mendewasakan’ diri kita sendiri, baik dalam sikap secara mikro maupun makro. Secara mikro, ini berarti “perubahan besar” dalam kehidupan sendiri sehari-hari. Dan ini akan mempunyai pengaruhnya atas sikap-sikap kita. Secara makro, artinya sikap pribadi itu membawa perubahan lebih besar lagi yang mempengaruhi hubungan antar agama yang kita kembangkan bersama-sama para pemeluk agama/agama lain. Khususnya dengan mereka yang memiliki/mengembangkan kesadaran yang sama. Nah, jika cukup banyak jumlah para pengikut agama-agama yang ada berpendapat atau bersikap seperti ini, maka akan menjadi lebih sehatlah kehidupan kita bersama sebagai masyarakat, bangsa. Proses pendewasaan tersebut sangat kita perlukan dewasa ini sebagai bangsa, mengingat tingginya kadar keberagaman (heterogenitas) yang kita miliki. Di sini terasa berguna adagium NU yang mengharuskan “menjaga yang baik dari cara hidup lama, dan hanya mengambil yang lebih baik dari yang baru (Al-muhafadzah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al jadid al-ashlah). Ini adalah bagian dari proses pendewasaan diri yang mudah dalam bentuk ucapan, melainkan sulit dilaksanakan, bukan?
No comments:
Post a Comment