Syafii Maarif
Saya setuju dengan pernyataan Madkour, pemikir Mesir, ''Islam sekarang, sebagaimana halnya pada masa silam, adalah landasan dasar kultur Arab.'' Dengan harapan yang sama, kita dapat mengatakan, ''Islam harus pula menjadi landasan bagi kultur Indonesia di masa depan.'' Karena Islam punya kebesaran masa lampau yang faktual, maka tidak ada alasan untuk berkecil hati, agar kelampauan yang gemilang itu tidak dapat diulang. Tentu dengan syarat-syarat yang sesuai dengan tuntutan perubahan zaman yang bergulir demikian kencang.
Posisi kita yang sekarang masih berada di buritan peradaban, apa pun definisi yang kita berikan kepadanya, tidak boleh menyebabkan kita kehilangan perspektif tentang masa depan. Karena itu, energi jangan dihabiskan untuk sesuatu yang sia-sia. Umur mesti digunakan secara efisien. Islam datang ke muka bumi adalah untuk menyelamatkan, memberi kabar gembira, bukan untuk menghancurkan dan menakut-nakutkan. Oleh sebab itu agama ini jangan ditampilkan dengan wajah garang dan sangar.
Islam adalah agama historis, lahir dari rahim ruang dan waktu yang dapat dilacak dan ditelusuri dengan cermat. Nabi Muhammad SAW adalah tokoh riil dalam daging dan darah sejarah. Riwayat dan kariernya tidak henti-hentinya dikaji dan dipelajari orang, Muslim dan non-Muslim, di berbagai pojok dunia. Semakin dikaji, semakin terkuak kearifan manusia besar ini, sekalipun sewaktu wafat tidak punya harta untuk diwariskan. Kritik dan pelecehan terhadap pribadinya tentu masih saja dihembuskan, tetapi fakta keras pasti akan selalu menghalaunya.
''Kehidupan Muhammad'', tulis Karen Amstrong, ''telah menjadi 'sebuah ayat' penaka ayat-ayat lain yang mendorong umat Islam untuk memperhatikannya dalam dunia nyata. Karier kenabiannya adalah sebuah simbol, sebuah theophany, yang tidak saja memperlihatkan kegiatan Tuhan di dunia, tetapi sekaligus menggambarkan penyerahan diri manusia sempurna kepada Tuhan.'' Maka, ungkapan klasik Iqbal perlu lagi kita turunkan di sini tentang pergumulan Muhammad dalam sejarah untuk menciptakan sebuah peradaban yang asri di muka bumi.
Di mata Iqbal, Muhammad tidak bisa disandingkan dengan seorang mistik yang ingin menyatu dengan Tuhan, sebagaimana pengakuan Abdul Quddus dari Gangoh. ''Muhammad telah mikraj ke langit yang tertinggi dan kembali. Saya [Abdul Quddus] bersumpah demi Tuhan bahwa sekiranya saya telah mencapai titik itu, saya tidak akan pernah kembali.''
Agak sedikit sinis, Iqbal memberi komentar: ''Si mistik tidak ingin pulang dari ketenangan 'pengalaman menyatu' itu; dan bahkan jika ia sungguh kembali, sebagaimana mestinya, kepulangannya itu tidak punya makna banyak bagi umat manusia umumnya. Kembalinya nabi bersifat kreatif. Ia kembali untuk memasukkan dirinya ke dalam gerak dan ayunan waktu dengan maksud untuk mengontrol kekuatan-kekuatan sejarah, dan dengan cara itu untuk menciptakan sebuah dunia cita-cita yang segar.''
Muhammad bergerak dan berjuang secara sungguh-sungguh dalam putaran ruang dan waktu. Pernah kalah dalam Perang Uhud, tetapi cita-cita mulianya tetap panas, dan pada akhirnya berjaya dalam membangun peradaban yang adil dan imbang.
No comments:
Post a Comment