Julius Pour
"Saya merasa sedih, hari ini tidak bisa datang sendiri. Tetapi, saya sangat menghargai prakarsa Perdana Menteri Tony Blair, yang pada hari-hari terakhir tugasnya berhasil mengundang sejumlah pembicara berbobot dari seluruh penjuru dunia untuk memperbincangkan topik Islam and Muslims in the World Today."
Pangeran dari Wales, Putra Mahkota Kerajaan Inggris yang nama aslinya Charles, secara terbuka mengungkap perasaannya tersebut ketika Senin (4/6) pagi membuka diskusi antarbangsa di Universitas Cambridge, London, Inggris, melalui tayangan video yang dipancarkan ke Lancaster House, bekas rumah kediaman Raja George IV.
Pertemuan ilmiah kali ini menampilkan tiga kali diskusi panel. Babak pertama diisi oleh Mufti Besar Mesir Shaykh Ali Gomaa, Direktur Pusat Studi Islam Universitas Glasgow Prof Mona Siddiqui, dan Direktur Wahid Institute Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid.
Babak kedua membahas kertas kerja "Citizenship & Identity" yang disiapkan Dr Ingrid Mattson, Presiden Masyarakat Islam Amerika Utara, AS, dengan lima panelis.
Panelis tersebut adalah Prof Jocelyne Cesari, Direktur Pusat Studi Timur Tengah Universitas Harvard; Emine Bozkurt, pimpinan Partai Sosialis Eropal; Asim Siddiqui, Ketua Jaringan Muslim Muda London; Yahya Pallavicini, Wakil Presiden Cummunita Religiosa Islamica dari Italia, dan Mustafa Ceric, Mufti Besar Bosnia Herzegovina.
Diskusi terakhir menampilkan Uskup Agung London Richard John Chartres, Dekan Fakultas Teologi Universitas Cambridge Shaykh Abdal-Hakim Murad, Kepala Institut Zaytuna di AS Shaykh Hamza Yusuf Hanson, Mahaguru Universitas Georgetown Prof John Esposito, dan Perdana Menteri Provinsi Cape Bagian Barat, Afrika Selatan, Ebrahim Rasool.
Di antara waktu diskusi, sumbangan pemikiran disampaikan PM Inggris Tony Blair dan PM Pakistan Shaukat Azis lewat konferensi jarak jauh. Juga ada pemaparan dari Dahlia Mogahed, Direktur Eksekutif Studi Muslim; Prof Philip Jenkins dari Universitas Pennsylvania, AS; Dr Aref Ali Nayed, penasihat ahli Program Antaragama di Cambridge, dan juga dari David Cameron, Ketua Partai Tory sekaligus pimpinan oposisi dalam parlemen Inggris.
Dari hati ke hati
Selama ini isu yang selalu menjadi topik perdebatan di Inggris adalah bagaimana menangani warga Muslim, khususnya setelah aksi teror bom bunuh diri yang menewaskan pelakunya di London pada 7 Juli 2005.
Menurut Pangeran Charles, "Selama 20 tahun terakhir, sebenarnya saya pribadi sangat terkesan dengan keakraban hubungan antaragama. Ini mengingat kemajemukan etnis, agama, dan budaya justru bisa melahirkan tumbuhnya sebuah masyarakat Inggris modern."
Menyadari kenyataan tersebut, toleransi dan sikap saling memahami antarwarga memang perlu terus digalakkan. "Sebuah kata bersayap Arab telah mengajarkan, apa yang keluar dari bibir hanya akan bisa sampai telinga. Tetapi, apa yang muncul tulus dari dalam hati pasti akan sanggup mencapai hati orang lain," kata Pangeran Charles.
Menurut catatan, masyarakat Muslim sampai di Inggris sejak awal abad XVIII. Selama 200 tahun, kontak antara Inggris dan negara-negara Islam berjalan mulus, terutama setelah 1842 Inggris mulai merekrut para pelaut asing untuk mencukupi kekurangan anak buah kapal.
Mulai saat itu, setiap tahun tidak kurang 3.000 pelaut Muslim yang populer dengan sebutan lascars ikut bertugas di kapal-kapal Inggris. Sebagian dari mereka akhirnya malah menikah dengan warga setempat dan menetap di berbagai kota pelabuhan; Cardiff, Liverpool, dan Glasgow.
Bersamaan dengan itu, ajaran Islam mulai merebut hati sejumlah tokoh masyarakat, mengubah mereka menjadi mualaf; antara lain Lord Headley, penyair William Quiliam, dan novelis Muhammad Marmaduke Pickthail.
Arus migrasi warga Muslim semakin bertambah banyak sejak tahun 50-an akibat kelangkaan tenaga kerja kasar seusai Perang Dunia II. Para imigran Muslim baru tersebut umumnya datang dari Asia Selatan yang kemudian tinggal di berbagai pusat industri tekstil; di Lancashire, Yorkshire, dan Strathclyde.
Sensus tahun 2001 menunjukkan, jumlah warga Muslim tercatat 1,6 juta orang dan separuh di antaranya dilahirkan di Inggris. Jumlah mereka pada tahun 2007 sudah lebih dari dua juta orang dan pada umumnya menetap di London, Manchester, Birmingham, dan Bradford.
Tony Blair menegaskan, "Warga Muslim kini telah hadir di semua lapisan. Mereka ada di sektor bisnis, olahraga, media, seni, dan profesional. Sekarang sudah ada warga Muslim jadi anggota parlemen, dan pada pemilu mendatang nanti saya harapkan semakin banyak warga Muslim dan juga perempuan Muslim bisa ikut terpilih…."
Mengambil contoh Indonesia
Memang, dewasa ini sedang berkembang minat untuk bisa memahami Islam dengan segala keragamannya. Oleh karena itu, setelah menegaskan tentang pentingnya pertemuan yang bisa membuka peluang kepada para pakar Islam dari beragam unsur tampil, Blair melukiskan, "Saya bisa memahami, warga Muslim Inggris pasti ingin melibatkan diri dalam semua kegiatan kemasyarakatan sehingga mereka benar-benar bisa menjadi warga negara yang setia sekaligus seorang Muslim yang baik."
Blair menyebutkan, dalam pertemuannya dengan para pemimpin muda Muslim, mereka selalu mengeluh bahwa ajaran Islam sering diberi tafsir keliru oleh kelompok kecil yang sama sekali tidak representatif, tetapi justru sering mendapat publikasi luas dalam media.
"Tahun lalu, ketika berkunjung ke Indonesia, sebuah negara mayoritas Muslim terbesar di dunia dengan 200 juta penduduk, saya telah menyaksikan sendiri bagaimana pesantren, sekolah-sekolah agama di sana, melengkapi diri dengan beragam pelatihan, untuk bisa ikut mengatasi pengangguran."
Menurut Blair, kebijakan termaksud bisa membantu menjelaskan tentang mulai rontoknya mitos bahwa sekolah agama selalu memberikan pendidikan model kuno dan semata-mata hanya mengajarkan persoalan agama.
Blair mengakui apa yang telah dia saksikan di Indonesia ternyata juga sedang menjadi kebijakan yang sudah dimulai Pakistan berbentuk reformasi pendidikan madrasah, diikuti keseragaman sylabus dalam program pendidikan dasar. Dilakukan juga di Singapura oleh Dewan Agama Islam setempat.
Dijelaskan bahwa Dewan Masjid di Bradford baru saja memulai proyek uji coba memasukkan pendidikan civics dalam kurikulum madrasah. Kebijakan yang akan diterapkan di seluruh Inggris ini sejalan dengan pendapat, program pendidikan harus sanggup menjaring seluruh aspek kemasyarakatan secara tuntas.
Forum Ekonomi Timur Tengah belum lama ini juga mengumumkan bahwa Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, Wakil Presiden yang juga Perdana Menteri Uni Emirat Arab, telah menyediakan dana 10 miliar dollar AS khusus untuk memajukan program pendidikan bersasaran pembangunan manusia, pemberdayaan generasi muda berikut investasi pola pikir.
Langkah semacam ini senada dengan yang dilakukan Qatar, yakni membangun kota universitas sebagai center of excellence pendidikan untuk semua ilmu.
Kelompok moderat
Secara terbuka Tony Blair menegaskan tekadnya untuk mendukung pemikiran warga Muslim moderat. Anggaran sebesar satu miliar pound atau sekitar Rp 1,7 triliun telah disediakan untuk memperbaiki studi Islam di sejumlah perguruan tinggi.
Langkah tersebut merupakan jawaban terhadap kajian Ataullah Siddiqui, Direktur Institut Pendidikan Tinggi Markfield, yang menyebutkan bahwa studi Islam di Inggris tidak memikat masyarakat minoritas Muslim karena kurang menyentuh kebutuhan dasar mereka. Ini membawa akibat, mereka akhirnya terpaksa belajar dari guru-guru agama asing yang kualitasnya sering tidak bisa dipertanggungjawabkan.
"Di masa lalu, kebijakan Pemerintah Inggris hanya berfokus kepada bagaimana mengintegrasikan warga Muslim ke dalam masyarakat sekuler. Sementara kenyataan menunjukkan, persoalannya jauh lebih kompleks karena ekspresi keagamaan tetap penting untuk sebagian orang. Maka kami ingin secara terbuka mendiskusikan persoalan kewarganegaraan, posisi hukum Islam, kedudukan perempuan, dan hak asasi manusia dari sudut pandang Muslim," kata Prof David Ford, Direktur Program Antaragama Cambridge.
Pada sisi lain, David Cameron, pimpinan Partai Tory sekaligus pemimpin oposisi, mengemukakan, "Dalam setiap masyarakat majemuk, pertanyaan dasarnya tidak pernah berubah, bagaimana kita bisa menjalani hidup secara damai bersama-sama?"
"Kami pernah mengalami konflik berdarah antara warga Katolik dan Protestan, revolusi dan juga pemberontakan. Proses emansipasi masyarakat Katolik berlangsung sangat lambat, begitu juga meleburnya imigran Yahudi dari Eropa Timur seratus tahun lalu dan kedatangan warga keturunan Asia yang terusir dari Uganda 30 tahun lalu."
Meski demikian, Cameron berpendapat, "Tahap-tahap tersebut kini sudah selesai. Kami telah melewati itu semua karena yakin bahwa sistem nilai British selalu menghargai persamaan hukum, kemajemukan dan juga toleransi. Lebih khusus lagi, karena seluruh masyarakat Inggris, baik warga mayoritas atau minoritas, tetap ingin berdiri tegak bersama dan secara bahu-membahu berusaha untuk selalu menjadi satu."
Julius Pour Wartawan, Peserta Konferensi Islam and Muslims in the World Tod
No comments:
Post a Comment