29-4-2007
Oleh : ALAMSYAH M DJAFAR
Dalam al-Islam fi ashr al-Aulamah (Islam di Era Globalisasi) Mahmud Hamdi Zaqzuq pernah meramalkan, salah satu penentu masa depan Islam di Barat adalah keterbukaan sikap kaum muslim di sana terhadap Barat. Terhadap konteks sosial, pola pikir masyarakatnya, juga sistem negara yang mereka anut. Buku ini terbit tahun 2001 di Mesir, diterbitkan kembali oleh penerbit LKiS Yogaakarta tahun 2004.
Hamdi Zaqzuq, mantan Dekan Fakultas Ushuludin (teologi) Al-Azhar Mesir dan kini menjabat Menteri Wakaf di negeri Piramid. Bagi sebagian masyarakat, lelaki ini, dicap sebagai agen sekuler lantaran buah pikirannya yang mendukung Barat.
Di bukunya jelas ia mengkritik sikap tertutup sebagian muslim terhadap kenyataan sosial dunia Barat. Suatu ketika pernah ia merasa prihatin terhadap keinginan sebagian muslim di Barat yang hendak menerapkan Syariat Islam di negera itu. “Apa itu masuk akal?” tanyanya. “Ini cermin umat Islam yang tak memahami realitas dunia Barat,” lanjutnya.
Seperti dicontohkan Hamdi Zaqzuq, dalam banyak kasus dewasa ini agaknya memang selalu ada jarak, atau mungkin “masalah besar”, antara menjadi muslim dan menjadi warga negara yang baik.
Menjadi warga negara yang baik seakan tak selalu berarti menjadi muslim taat, atau sebaliknya; menjadi warga negara Amerika, Belanda, atau Kanada, seakan bermasalah dengan identitas sebagai muslim.
Situasi semacam ini sudah bisa dipastikan selalu terjadi saat dua budaya, dua latar belakang sosial yang berbeda, dan dua pengalaman, hendak dipadukan dan disandingkan; ada benturan, tarik menarik, dan ada yang mesti mengalah untuk sebuah kesepakatan: hidup dalam sebuah negara dengan sistem yang telah dipilih. Bukankah kesepakatan ini yang dipilih nenek moyang mereka menjadi saat pertama kali menjadi warga negara di negeri-negeri Barat?
Lantas, jika terjadi benturan, mana yang mesti didahulukan: identitas kemusliman atau hukum publik yang berlaku? Pertanyaan ini tak mudah dijawab. “Menomorduakan” identitas kemusliman, bagi sebagian besar muslim seringkali dianggap sebagai kemangkiran terhadap ajaran keislaman. Mungkin ini yang dirasakan Asmahan Mansour (11 tahun), muslimah berkewarganegaraan Kanada, saat diminta wasit melepas jilbab pada sebuah turnamen sepak bola, Minggu lalu. Dalam peraturannya, FIFA memang melarang menggunakan perlengkapan yang bisa membayakan pemain, termasuk jilbab.
Saya kira, perasaan yang sama: berdosa, bukan muslim kaffah (sempurna), juga dialami oleh sebagian muslim di negara-negara Barat yang memang melarang penggunaan simbol-simbol keagamaan di ruang publik. Dan, karenanya saya bisa memahami, mengapa mereka bereaksi keras atas situasi ini.
Hanya masalahnya, identitas kemusliman tidak hadir di ruang kosong. Ia hadir dalam ruang dan waktu; hadir dalam sebuah sistem negara; hadir dalam kesepakatan publik, hadir bersama masyarakat lain sebagai warga negara. Itu artinya jika seseorang bersedia menjadi warga negara tertentu, ia terikat pada aturan yang disepakati. Mereka hadir bukan hanya sebagai muslim, tapi juga sebagai seorang warga negara.
Identitas kemusliman tidak pula berdimensi tunggal. Bukan muslimah taat kalau tak berjilbab atau menegakan syariat Islam di level negara. Menjadi warga negara yang baik, berinteraksi dengan masyarakat Barat secara baik, dan punya etika hidup yang baik, juga bagian dari identitas kemusliman.
Itu tak berarti saya mengatakan simbol-simbol keagamaan tak penting. Penting! tapi ketika ia berbenturan dengan hukum publik, maka simbol sudah selayaknya “ditunda”, selanjutnya bisa dinegosiasikan dengan cara-cara yang disepakati.
Kembali ke soal masa depan Islam, di luar simbol ini justru ada hal yang jauh lebih prioritas untuk dikembangkan kaum muslim di neger-negeri Barat: peningkatan kualitas pendidikan, wawasan, ilmu pengetahuan, sikap keterbukaan, dan peningkatan stasus ekonomi mereka [ ]
No comments:
Post a Comment