Oleh Eddy Prasetyo **
Ideologi transnasional pascareformasi dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan faham Islam Ahlussunah Wal Jama’ah. Ini memerlukan antisipasi, berupa penguatan faham tersebut di seluruh jajaran organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan badan-badan otonom di bawah NU (Banom NU), misalnya Fatayat, GP Ansor, IPNU, IPPNU dan sebagainya.
Pernyataan kekawatiran ini disampaikan langsung oleh Ketua Umum Pengurus Besar NU KH. Hasyim Muzadi, beberapa waktu lalu, ketika menghadiri berlangsungnya Rakernas Fatayat di Kota Bogor (www.nu.or.id).
Pada kesempatan lain, KH Hasyim memaparkan, bahwa ideologi transnasional sebagai ancaman; pertama , ancaman radikalisme dan fundamentalisme yang bisa timbul dari agama apa pun dan dari mana saja. Kedua, ancaman liberalisme yang menghalalkan segala cara untuk meraih prestisius, kemewahan dan kekuasaan yang mesti berhadapan dengan kelompok pertama yang meneguhkan konservatisme agama. (KH Hasyim Muzadi, Bangsa dan Ideologi Transnasional, Harian Sindo, 9/5/2007).
Menurut pengasuh Ponpes Mahasiswa al-Hikam Malang ini, sekarang sudah banyak anak NU yang tidak mengerti lagi NU itu seperti apa sebagaimana yang telah diajarkan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Pergerakan NU struktural dan NU kultural dinilai tidak terpadu lagi, akibat terjadinya kesenjangan antar generasi yang berdampak pada kerawanan sosial, karena kalangan muda NU tidak memahami ajaran tersebut secara utuh, sehingga mudah terpengaruh ajaran-ajaran model baru yang justru tidak sejalan dengan NU.
KH Hasyim memberikan contoh, saat ini banyak warga NU ketika melaksanakan shalat tarawih cenderung memilih dengan diskon sampai 60 persen (11 raka’at), sementara tradisi NU dari waktu ke waktu melaksanakan tarawih 23 raka’at.
Fenomena NU struktural yang kurang selaras lagi dengan NU kultural mungkin mendekati kebenaran, mengingat pola pengembangan organisasi NU pascareformasi seolah terbawa arus euforia kebebasan, pada tataran rekruitment anggotanya tidak diikuti oleh landasan pemahaman idealisme yang mengikat dari personalnya.
NU menjadi sebuah pertaruhan dan kebutuhan bagi sebuah kepentingan, lebih-lebih ketika mantan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden, banyak kalangan berbondong-bondong “mengaku” sebagai warga Nahdliyyin dan mendaftar masuk organisasi NU secara struktural.
Secara kuantitas boleh jadi NU tampak besar, karena pengikutnya bertambah banyak. Tetapi dari sisi kualitas, ketajaman faham Ahlussunah Wal Jama’ah yang menjadi landasan NU mulai tampak samar-samar. Rendahnya tingkat selektifitas tersebut sangat rentan terhadap bahaya asupan ideologi yang tidak sejalan.
Bahwa NU menganut salah satu mazhab tasawwuf al-Ghazali dan Junaid al Baghdadi, tetapi terdapat warga nahdliyyin yang tidak mengakui ajaran tasawwuf dan sufisme, itu bisa dibenarkan. Bahwa NU itu organisasi Islam yang moderat, toleran dan inklusif, tetapi terdapat warga NU yang justru terlibat langsung dengan organisasi Islam eksklusif, itu juga kenyataan.
Faham Islam Ahlussunah Wal Jama’ah
NU berkembang dari lingkungan pesantren ke pesantren yang mengakar dari tradisi Islam tradisional dengan faham Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja). Faham Aswaja menganut pola pikir jalan tengah, antara faham ekstrem ‘aql (rasional) dan ekstrem naql (skripturalis). Diwujudkan dengan pilihan sumber pemikiran bagi warga NU tidak hanya mengacu atas al-Qur’an dan Hadis saja, tapi ditambah kemampuan akal untuk mencerna permasalahan serta realitas yang terjadi secara empirik.
Pandangan tersebut merujuk dari para pemikir terdahulu sebagaimana yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi sebagai landasan teologis. Untuk bidang fikih, NU menganut mazhab empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal. Sementara untuk tasawwuf menganut Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Bahdadi, yang mengintegrasikan antara tasawwuf dengan syari’at.
Menurut NU, Islam agama yang suci dan memiliki sifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah ada tanpa bermaksud mengganti atau menghapusnya, tapi juga mencari nilai-nilai baru yang lebih baik dengan tetap memegang teguh nilai-nilai lama yang masih baik.
Terdapat 4 (empat) asas landasan pergerakan NU, yaitu : (1) asas kepeloporan; (2) asas kesinambungan: (3) asas penyesuaian dengan tuntutan zaman dan (4) asas kemandirian. Pilihan ini menggambarkan bahwa NU dalam setiap pergerakannya lebih mengedepankan kemaslahatan umat disertai keteguhannya dalam memegang prinsip.
NU yang menganut landasan teologis Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah memiliki dan mengembangkan sikap kemasyarakatan yang dirumuskan atas dasar: Pertama, tawassuth, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk sikap tatharruf (ekstrem), baik dalam bidang agama maupun politik, karena sikap tersebut mengarah pada kekerasan dan disintegrasi.
Kedua, i’tidal, yang berarti tegak lurus dalam mengambil suatu keputusan, mengandung arti bahwa NU dalam menyikapi setiap permasalahan selalu bersikap adil dan tidak akan terpengaruh dengan unsur-unsur ketidak-benaran. Ketiga, tasamuh, yaitu sikap toleran yang berintikan penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat. Karena, hanya dengan sikap tasamuh itu rasa saling percaya dan solidaritas bisa ditegakkan. Ini merpakan inti hidup berbangsa.
Keempat. tawazun , selalu berusaha menciptakan keseimbangan hubungan antara sesama umat manusia dengan Allah SWT, antara akal dan wahyu dan antara individu dan kolektivitas. Dengan sikap tawazun ini harmoni dalam kehidupan baik pikiran maupun tindakan dapat terwujud.
Kelima, amar ma’ruf nahy munkar , yaitu sikap selalu mengajak pada kebaikan serta mencegah setiap kemungkaran. NU pada prinsipnya senantiasa mengajarkan untuk saling ingat-mengingatkan pada kebaikan perilaku dalam setiap sendi-sendi kehidupan.
NU yang fleksibel dan akomodatif terbukti dapat diterima masyarakat secara luas hingga ke tingkat lapisan bawah (grass root). Di masa lalu, NU bahkan dapat diterima oleh kalangan Hindu-Buddha, mengingat NU tidak memarjinalkan mereka, tetapi memasuki budaya mereka dengan nilai-nilai Islami.
Ancaman Ideologi Transnasional
Ancaman ideologi transnasional yang disinyalir dapat merusak faham Islam Aswaja, menuntut kerja keras banom-banom NU agar dapat menanamkan kembali nilai-nilai ke-NU-an di kalangan struktural masing-masing banom hingga ke tingkat organisasi yang paling bawah, secara kekinian.
Sebagaimana pesan KH Hasyim bahwa “Banom NU jangan sekedar melakukan diskusi-diskusi saja, tetapi melupakan pengembangan organisasi untuk membentuk kepengurusan ranting dan anak ranting hingga memiliki basis di masjid-masjid dan mushalla”.
Banom NU menjadi ujung tombak dalam mengawal dan menjaga kelestarian faham Islam Aswaja yang telah diperjuangkan oleh ulama terdahulu di tengah kegamangan terhadap serangan faham yang tidak sejalan dengan nilai-nilai ke-Islaman sendiri, sebagaimana sejarah kelahiran NU yang memiliki dimensi teologis menjadikannya sebagai jam’iyah diniyyah, dimensi penentangan terhadap gerakan Islam radikal yang dimotori kelompok Wahabi di Timur Tengah ketika itu.
Dengan faham Islam Aswaja dan ideologi tengah, NU terbukti mampu memberikan warna bagi pergerakan pengembangan Islam yang sangat jauh dari kesan gerakan Islam garis keras, tapi lebih pada wajah gerakan Islam moderat, toleran dan inklusif. Ketika nilai-nilai ke-NU-an telah menjiwai setiap insan NU berserta banom-banomnya, maka ideologi transnasional bukan lagi ancaman yang berarti. Semoga!
* Batampos, 18 Mei 2007
** Penulis Sekretaris PW GP ANSOR Propinsi Kepulauan Riau
No comments:
Post a Comment