Syafii Maarif
Demikianlah sekitar 100 tahun sepeninggal Nabi, peradaban Islam sudah mendunia, unsur-unsur positif dari peradaban lain diambil dan ditapis, sekalipun bukan tanpa gesekan internal.
Gesekan ini tampaknya sulit dihindari karena kerja kreatif untuk membawa sesuatu yang mutlak turun ke bumi yang serba relatif, pasti tidak akan sepi dari ketegangan demi ketegangan. Peradaban justru lahir dari gesekan-gesekan itu, sekalipun pada beberapa kasus sudah melampaui batas. Perbenturan pendapat yang keras antara para filosof dan sufi/teolog Muslim dalam sejarah masa lampau adalah contoh dari gesekan yang sebenarnya tidak perlu terjadi, sekiranya Alquran dijadikan hakim tertinggi bila muncul masalah besar yang sulit didamaikan.
Ibn Rusyd (1126-1198) dalam karya klasiknya Fashlu al-Maqal telah mencoba mendamaikan itu, tetapi terasa doktrin Aristotelian cukup dominan. Filosof Katolik Etienne Gilson, pengagum Ibn Rusyd, menulis: ''Bagi Ibn Rusyd, kebenaran mutlak tidak harus ditemukan dalam wahyu manapun, tetapi dalam tulisan-tulisan Aristoteles, yang tak henti-hentinya diberinya catatan dan komentar: Bilamana Aristoteles mengatakan sesuatu, berarti nalar itu sendiri yang telah berkata, dan tidak ada lagi yang dapat dikatakan tentang hal itu.''
Dalam membela filsafat yang sebelumnya telah dibantai habis oleh Al-Ghazali (1058-1111), Ibn Rusyd mengutip banyak sekali ayat Alquran yang menyuruh manusia berpikir dan alam semesta, lalu disimpulkan bahwa Kitab Suci ini menyuruh orang berfilsafat. Dengan mengutip ayat Fa'tabiru ya uli al-abshar, Ibn Rusyd menulis: ''Dan ini sebuah nash tentang wajibnya menggunakan qiyas a'qli, atau a'qli dan syar'i bersama-sama.'' Ibn Rusyd bukan saja sebagai filosof, ia juga seorang dokter dan faqih sekaligus, seperti halnya Ibn Sina.
Sayangnya perbenturan itu berlarut-larut sampai sekarang, karena umat Islam belum juga mau berunding dengan Alquran untuk mencari jalan keluar yang benar dan tepat. Sudah terlalu banyak energi yang terkuras bagi pihak-pihak yang bersengketa dalam teologi, filsafat, dan politik, sehingga kita terlupa mengurus tugas keduniaan kita dalam merebut dan mengembangkan ilmu pengetahuan, yang dulu umat Islam menjadi pelopornya.
Masa penjajahan yang panjang atas hampir seluruh dunia Islam telah semakin memperparah kondisi kita yang memang sudah parah akibat percekcokan internal yang tak habis-habisnya. Sekalipun di akhir abad ke-19 sudah tampak tanda-tanda kebangkitan, dan sekarang hampir seluruh dunia Islam telah merdeka, isolasi kultural kita yang sudah berlangsung sejak abad ke-14 (untuk meminjam Madkour lagi) belum sepenuhnya berhasil kita tembus. Perguruan tinggi Muslim yang bertebaran di muka bumi juga belum memunculkan karya besar yang dapat menjadi penawar bagi semua golongan umat yang setiap detik jumlahnya terus bertambah. Dinding-dinding sinisme, syi'isme, dan lain-lain sebagai produk sejarah masih kita ''berhalakan'', sehingga pandangan dunia Alquran yang terang dan jelas menjadi terhambat oleh dinding-dinding itu.
Untuk pertanyaan: Apakah peradaban Islam punya masa depan? Sebagai seorang yang berpikir positif, saya tidak meragukan bahwa masa depan itu cukup cerah dengan catatan: Kita bersedia mengubah paradigma berpikir kita dari egosentrisme dan subjektivisme sejarah menjadi Quran-oriented. Untuk bergerak ke tujuan ini, kerja dekonstruksi dan sekaligus rekonstruksi terhadap seluruh khazanah keislaman kita menjadi sesuatu yang mutlak. Tidak ada salahnya kita menggunakan ilmu modern sebagai pembantu untuk tugas besar ini.
Di medan inilah sebenarnya terbentang tugas yang menantang di depan para pemikir Muslim berbakat untuk mencarikan metodologi yang terbaik. Tugas ini tidak mungkin dilakukan oleh mereka yang berjiwa kerdil. Pergi ke timur takut, berbelok ke barat cemas. Bukankah barat dan timur milik Allah? Peradaban yang hendak kita ciptakan adalah untuk memayungi semua, termasuk mereka yang mengaku sebagai ateis. Apa yang harus dirobohkan dan apa pula yang harus dibangun kembali dengan fondasi yang kuat dan mantap adalah pekerjaan yang sangat serius. Sebuah kerja intelektual yang berat, tetapi sangat mulia. Jelas semuanya ini memerlukan waktu dan kesiapan intelektual untuk berubah secara radikal, berani, tulus, dan santun.
No comments:
Post a Comment