Sunday, June 24, 2007

'Tak Ada Islam Radikal'

Negara harus melindungi pencemaran citra Islam dalam perang antiterorisme.

JAKARTA /republika -- Imam Besar Masjid Nabawi Madinah (Arab Saudi), Sheikh Dr Ali bin Abdurrahman Al Hudzaifi, dalam khotbah Jumat di Masjid Baiturrahim, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kemarin, mengemukakan bahwa Islam merupakan agama yang moderat serta tidak mengenal radikal dan liberal.

Dihubungi terpisah, Ketua Pelaksana Harian Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), H Ahmad Sumargono, mengingatkan agar negara dan media melindungi simbol-simbol agama dari pencemaran skenario perang melawan terorisme yang hendak merusak citra Islam. ''Kelompok radikal dan liberal adalah kelompok yang akan binasa dan merupakan penyakit yang berlebihan,'' kata Sheikh Ali, yang isi khotbahnya dalam bahasa Arab itu diterjemahkan oleh staf Departemen Agama, Dr Muchlis Hanafi, usai Shalat Jumat.

Ia lalu menjelaskan mengenai sejumlah keistimewaan ajaran Islam. Salah satunya adalah Alquran yang tidak pernah mengalami distorsi atau penambahan dan pengurangan. ''Karena Allah SWT telah menjamin dan menjaganya,'' tegas Sheikh Ali. Islam juga mengajarkan untuk menghargai manusia tanpa pandang bulu, agama, ras, golongan, dan sebagainya. ''Keistimewaan inilah yang membuat raja-raja pada masa lalu banyak yang kemudian memeluk Islam,'' ungkap Sheikh Ali.

Banyak keanehan
Ahmad Sumargono menyayangkan pada era reformasi ini berbagai pemberitaan mengenai aksi terorisme cenderung menjelek-jelekkan agama, terutama Islam. Di era Orde Baru, Panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), Soedomo, pun pernah membuat stigma bahwa teroris itu terkait dengan Islam. Misalnya, dengan penggunaan nama Komando Jihad pada kelompok teroris.

''Tapi setelah banyak diprotes ulama, diganti sebutannya menjadi Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Selama zaman Orde Baru tak pernah lagi keluar (stigma itu) tapi sekarang di era reformasi kok muncul lagi,'' kata Gogon, panggilan akrab Sumargono.

Karena itu dia menyarankan agar pemerintah tak lagi memakai nama atau simbol agama dalam pemberantasan terorisme, tapi justru negara harus melindunginya. Sebutan nama Jamaah Islamiyah pun menurutnya masih perlu diluruskan, karena dulu intelijen di bawah Ali Murtopo pun pernah memakai sebutan kelompok Islam untuk teroris. ''Kalau (memakai) sebutan teroris saja silakan,'' kata dia.

Apalagi Gogon melihat banyak keanehan yang terjadi pada tersangka terorisme karena di lingkungan tempat tinggalnya tersangka dikenal baik. Namun tiba-tiba setelah ditangkap polisi menjadi tersangka tindak terorisme. Para tersangka terorisme juga mudah sekali membuat pengakuan di televisi dengan menggunakan atribut yang menonjolkan kemuslimannya.

''PKI saja sampai akhir kebangkrutannya tak mau mengaku karena mereka punya keyakinan kuat. Ini kok pelaku terorisme mengaku penganut Islam taat yang punya akidah, ada skenario apa sesungguhnya?'' kata Gogon. Namun saat ini dia melihat kalangan Muslim sudah apatis dengan berbagai penggunaan simbol-simbol Islam dalam aksi terorisme. sebab, sebagian besar juga tidak setuju dengan aksi-aksi atas nama agama itu. ''Tapi kalau terjadi pelanggaran HAM seperti kasus Abu Dujana, ya tetap harus kita protes,'' kata Gogon. zam/ant/rto

( )

No comments: