Saya sempat mengkhawatirkan nasib Muhajir, seorang teman di Jakarta yang lama tidak ada kontak. Jangan-jangan dia jadi korban banjir yang membenamkan Jakarti akhir-akhir ini. Alhamdulillah, ternyata dia baik-baik saja. Bahkan kemarin dia kirim SMS dan sama sekali tidak cerita soal banjir. Dalam SMS-nya Muhajir cerita: "Ada seorang pendeta kencing di dekat patung Budha. Ketika murid-murid mempermasalahkannya, si pendeta menjawab, 'memang saya harus kencing di mana?' Di musim dingin, pendeta kehabisan kayu api. Maka dia jadikan patung kayu itu sebagai bahan bakar. Ketika para murid mempermasalahkannya, si pendeta bilang, 'patung yang bisa terbakar bukan Budha."
"Apa tanggapan kamu?" tanya Muhajir.
"Saya suka cerita ini. Menurut saya, si pendeta sedang melakukan semacam dekonstruksi terhadap simbolisme agama."
"Bagus, jadi kamu suka cerita saya?" Sambung Muhajir. "Saya juga suka, maka cerita itu saya sampaikan ke kamu."
"Ya, terima kasih."
"Jangan cuma terima kasih. Cerita itu saya sampaikan dengan maksud agar kamu mau mengulasnya. Sebab di tengah kaum muslim pun yang namanya simbolisme hampir-hampir menghijabi makna agama. Karena terjebak dalam simbolisme maka banyak di antara kita telah menjadikan agama sebagai berhala. Akhirnya, kita tidak mampu menghayati ruh agama yang berada di balik simbol-simbolnya."
Saya tersenyum dan harus berfikir dulu sebelum membalas SMS Muhajir. Ah, pikiran ikhwan ini harus dikritisi dulu. Kalau tidak, dia bisa kebablasan. "Kamu jangan terlalu galak terhadap simbolisme. Karena, bagaimana juga simbol dalam kehidupan beragama itu penting. Simbol berupa bangunan masjid, ritus-ritus, lembaga, penampilan, bahkan nama tetap diperlukan, antara lain untuk membangun identitas. Soal nama saja misalnya; kamu mau bila cucu kamu diberi nama George Walter Bush?"
Karena hanya lewat SMS saya tidak tahu begaimana reaksi pada wajah Muhajir. Tapi saya bisa bayangkan dia tersenyum.
"Iya sih, dan saya bukan sedang mengatakan simbolisme sama sekali tidak penting. Cuma, kita melihat saudara-saudara kita kaum muslim sering berperilaku berlebihan dalam membela simbol-simbol keagamaan. Karena simbolisme, kita juga sering tersesat dalam perasaan yang salah. Misalnya, karena telah menjalankan rukun Islam secara lahir, dan telah menjunjung simbol-simbol agama, maka kita merasa telah sampai kepada tujuan akhir." "Memang tujjuan akhir keberagamaan kita apa?" tanya saya.
"Kamu jangan meledek! Bukankah kamu yang dulu bilang tujuan akhir keberagamaan kita adalah budi luhur alias akhlak karimah? Dan katamu dulu, ridha ilahi - itulah tujuan terakhir keberagamaan kita - mustahil tercapai di luar akhlak karimah."
"Ya, lalu?"
"Begini. Sekarang ini kita rasakan, dan kita lihat gejalanya, simbolisme dalam keberagamaan kita sudah terlalu kental. Kita giat membangun dan menyuburkan simbol-simbol tetapi kurang perhatian terhadap penghayatan makna. Maka gejala yang muncul adalah pembangunan fisik keagamaan yang menjamur, pelaksanaan ritual yang kian subur, bahkan politik berbasis agaama yang kian heboh, namun..."
SMS Muhajir putus. Wah, mungkin karena kalimatnya sudah terlalu panjang. Atau pulsanya habis? Karena tak sabar menunggu maka saya kejar dia. Kebetulan pulsa saya masih penuh.
"Namun, apa? Kamu jangan bikin orang penasaran."
"He-he, kamu terpancing," jawab Muhajir setelah saya tiga "menit menunggu. "Begini. Pembangunan dan penyuburan simbol kurang diimbangi dengan kesadaran pengamalan makna keberagamaan. Apa itu? Ya budi luhur atau ahlak mulia itu. Padahal tanpa akhlak mulia kita tidak mungkin bisa memenuhi amanat besar yang sedang kita emban."
"Yakni amanat untuk membuktikan di dunia bahwa Islam benar-benar merupakan rahmat atau cinta yang dilimpahkan Allah kepada seluruh alam. Dan bila kita tidak berhasil membuktikan hal itu, artinya, dalam beragama kita hanya terjebak dalam simbol dan melupakan makna. Atau kita hanya sibuk mengurus jalan tapi mengabaikan tujuan. Dan konsekuensi atas kegagalan ini akan mendatangkan kesulitan bagi kita di dunia maupun akhirat. "
Wah, boleh juga pikiran ikhwan Muhajir ini. Saya jadi bingung bagaimana menanggapinya dengan SMS. Namun sesungguhnya pikiran Muhajir ini bukan barang baru. Sejak lama para cendekia muslim sudah sering mengingatkan hal yang sama, bahwa simbolisme dan simbolisasi yang berlebihan justru bisa mendangkalkan makna agama. Namun peringatan itu seakan tidak mempan. Pemberhalaan terhadap agama seperti yang dikatakan Muhajir masih tetap subur. Maka muncullah gejala di mana-mana; salam (perdamaian), rahmat (kasih sayang), kejujuran, kedermawanan, dan nilai-nilai akhlak karimah lain justru masih gersang di tengah masyarakat yang mayoritas muslim ini.
Banyaknya orang yang melakukan kewajiban shalat belum mengurangi tindak keji dan mungkar. Setiap tahun ratusan ribu orang pergi haji, namun nilai-nilai kedermawanan tetap tidak berkembang. Sebaliknya, nilai-nilai keakuan malah kian menguat.
"He, kok kamu tidak membalas SMS saya? Kamu kan belum mengulas cerita tentang pendeta itu?"
"Saya tak akan mengulas cerita itu karena kamu telah melakukannya sendiri dengan lebih baik. Ya, simbolisme dalam kehidupan agama memang tak bisa dihindarkan. Namun saya setuju, simbolisme itu jangan sampai terlalu jauh menjadi pemberhalaan terhadap agama. Karena kita hanya beribadah kepada Allah, bukan apa pun selain-Nya."
No comments:
Post a Comment