Sunday, June 17, 2007

Eggi Sudjana: Komitmen Syariat Islam dengan Rasio yang Tinggi
11-4-2007
Oleh : ROBI SUGARA/SYIRAH

“Jika umat Islam selalu didiskreditkan oleh Barat, salahkan umat Islam yang lemah dalam public relation-nya,” ungkap Eggi Sudjana ketika ditanya soal Islam akhir-akhir ini.

Bang Eggi, begitu lelaki kelahiran Jakarta, 3 Desember 1959 ini kerap disapa, adalah orang yang getol dari dulu menyuarakan Syariat Islam di Indonesia. Suara Eggi soal ini terdengar beberapa tahun silam ketika mempertahankan asas Islam di tubuh HMI (Himpunan Mahasiswa Islam)—di masa orde baru.

Ujungnya, organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia itu terbagi dua: HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) di bawah Eggi dan HMI Dipenogoro—mengistilahkan nama tempat kongres ketika itu. Kedua HMI itu hingga kini masih eksis.

Saat ini, kegiatan Eggi lebih banyak sebagai pengacara. Selama menjadi pengacara, dia banyak membela kelompok teroris dan korban teroris. Sebelumnya, ia pernah menjadi presiden di PPMI (Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia), serta menjadi dewan pakar di DPP PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Lulusan S3 IPB (Institut Pertanian Bogor) ini juga pernah mencalonkan sebagai anggota DPR dan ketua umum DPP PPP. Tapi semuanya tidak lolos.

Berikut ini petikan wawancara Eggi Sudjana dengan kontributor Syirah Robi Sugara di Gedung Kuningan Mension, Jalan Perintis No 16, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, pada Senin, 26 Maret 2007. Gedung itu kantor pengacara Eggi.

Anda termasuk komitmen dengan perjuangan syariat Islam di Indonesia, apa sebabnya?

Syariat Islam biasanya digunakan sepenggal-sepenggal. Kemudian dipelintir dengan sedemikian rupa, jadi kesannya sadis. Sekarang saya akan bahas. Misalkan kasus potong tangan. Dari segi hak asasi manusia, hukum potong tangan ini paling memenuhi syarat-syarat hak asasi manusia, ketimbang konsep penjara saat ini. Coba anda bandingkan.

Menurut saya, hukum modern itu harus berpikir dengan cara modern juga. Ukurannya, pelaksanannya cepat, biaya murah, efektif daya jeranya—baik buat dirinya (si pelaku) atau yang lainnya.

Saya akan coba terangkan soal sistem penjara. Pelaksanaannya lama, orang mau diadili saja prosesnya lama. Belum lagi ada intervensi dan segala macamnya. Kemudian, biayanya mahal. Padahal, ada juga dalam kasus itu, dia enggak bersalah. Sekarang, kalau dia seorang ibu. Dia akan jauh dari anak-anaknya.

Ditambah, maaf nih, seingat saya biaya napi per hari Rp 7.000. Sekarang dikali 200 ribu orang napi, berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh negara per harinya, Rp 1,4 miliar. Uang sebanyak itu hanya untuk orang brengsek. Dari dulu, orang masuk ke penjara bukan malah jera, tapi malah menjadi meningkat kejahatannya. Ini artinya hukum kita tidak menimbulkan daya jera yang cukup efektif.

Sekarang kita bandingkan dengan hukum potong tangan. Pelaksanan hukumnya cepat. Tidak memerlukan penjara, tidak perlu bayar, dan efek jeranya cukup luar biasa. Kalau ditinjau dari efek sosialnya, coba lihat, ada orang tangannya buntung, kenapa? Mungkin mencuri. Orang lain yang melihat, pasti ngeri. Efek jeranya cukup efektif. Allah itu maha tahu.

Anehnya, ini malah dipelintir. Orang-orang kita enggak cerdas. Para penjahat ditampung di LP (Lembaga Permasyarakatan). Soal ini saya kritik. Yusril Ihza Mahendra ketika jadi menteri hukum, tidak melakukan apa-apa. Ini seharusnya sudah selesai. Kemudian Amin Rais ketika jadi ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan sekarang Hidayat Nurwahid. Mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Menurut saya mereka Islamnya disfungsional. Tidak pernah saya dengan dari mulut dia tentang syariat Islam.

Semua pejabat di Indonesia, Islamnya disfungsional. Dari mulai presiden Sooekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Kalau mereka Islamnya fungsional, sudah berlaku hukum Islam di Indonesia.

Anda lihat di pasal 29 ayat 1, jelas dikatakan bahwa "Negara berdasarkan kepada ketuhanan yang Mahesa." Dulu masih ada lanjutannya, dan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Dulu dicoret katanya. Ya sudahlah. Tapi mesti diingat, dasar negara ini adalah Tuhan. Dan Tuhan yang dimaksud adalah Allah SWT.

Coba lihat di mukadimah UUD 45, alinea ketiga, dinyatakan, karena berkat rahmat Allah SWT kemerdekan bangsa Indonesia ini. Menurut ilmu hukum, mukadimah tadi dengan batang tubuh tidak boleh bertentangan, harus sepenafsiran, harus sejiwa, harus sejalan. Dengan begitu dasar Negara kita adalah Tuhan, Tuhan yang dimaksud adalah Allah.

Allah itu punya hukum, namanya hukum Islam. Bagaimana cara menjalankannya? Diselesaikan di pasal 5, ayat 2 dalam UUD 45, dikatakan, presiden memegang kekuasaan tertinggi dalam membuat UU dengan persetujuan DPR. Jadi ini sejalan cara berpikirnya. Kanalisasinya lewat pasal 5. Jika kau kasih hari ini saya presiden, saya berlakukan hukum Islam, tapi bukan hukum Islam yang sempit, yang universal. Kalau universal yang diberlakukan, tidak ada yang akan menolak. Siapa yang tidak mau disejehterakan, siapa yang tidak mau diperlakukan adil?

Jadi komitmen saya terhadap Syariat Islam dengan rasio yang tinggi, dan dengan akal sehat yang bisa diterima. Baik secara nilai-nilai Islam itu sendiri, maupun dibenturkan dengan UUD 45, dimana kita hidup berbangsa dan bernegara. Justru yang tidak berkomitmen dengan syariat Islam, mereka tidak mengerti dengan UUD 45. Karena mereka disfungsional Islamnya.

Bagaimana dengan agama lain?

Oh sangat happy (senang), kalu dia mengerti. Misalkan begini, kalau jadi presiden, you jelaskan di TV, DPR, bahwa syariat Islam itu tentang keadilan, mau Islam boleh, tidak juga itu menjadi hak you. Siapa yang enggak suka? Untuk agama lain dilindungi, you mau ke gereja, ke Kelenteng dan sebagainya, itu dilindungi. Sebaliknya yang orang Islam ya harus begini, harus begitu.

Coba anda perhatikan di Perancis. Orang memakai jilbab saja enggak boleh. Seharusnya di Indonesia dilarang orang yang menggunakan rok mini. Ini enggak benar logikanya dong. Anehnya, ini terjadi saat ini di negara yang maju. Contoh lagi di Italia yang mayoritas agamanya Katolik. Di Indonesia ada kedutaan Vatikan yang khusus mewakili agama Katolik. Kok ini boleh, enggak masalah. Tapi ketika bicara Islam, kok jadi masalah.

Mereka itu, orang-orang musyrik enggak senang, matanya seperti kecolok kalau melihat atau mendengar nama Islam. Padahal kalau mereka tahu, tidak ada sedikitpun hak-haknya diganggu, sedikitpun oleh ajaran Islam. Orang mau kafir boleh. Jadi lakum dinukum walyadin, agamamu ya agamamu. Tapi kalau sudah Islam, ya harus komitmen dong. Kalau enggak mau komitmen cari Tuhan yang lain saja.

Apakah mungkin syariat Islam diterapkan di Indonesia?

Sangat mungkin. Orang harus mengakui, jika bicara sejarah, Islam-lah yang menyatukan Indonesia. Dulu Indonesia terpecah-pecah, tidak ada Indonesia. Kemudian kita juga pernah menyakiskan ada Kabinet Natsir, RIS (Republik Indonesia Serikat). Coba siapa yang gagas, Islam. Ini artinya, bahwa sejarah pernah membuktikan bahwa ini bisa dilakukan. Sangat mungkin, sangat rasional, dan sangat kapabel. Sekarang saya tanya, mana hukum yang terbaik selain hukum Islam? Saya ini sarjana hukum. Anda tahu, hukum waris. Enggak ada yang punya konsep waris kecuali Islam.

Lalu bagaimana dengan kasus pemboman di Bali yang melakukan Imam Samudra, Amrozi dan kawan-kawan, mereka adalah orang Islam?

Saya katakan tidak. Bom di Bali, katakan Amrozi cs. Saya ini juga pengacara dari Imam Samudra waktu ketika pertama kali ditahan. Saya diskusi dengan dia. Kemudian saya berkesimpulan, dia orang enggak benar. Dia mengklaim berjuang atas Islam tapi pandangannya keliru menurut saya. Karena itu, saya tarik diri, tidak mau menjadi pengacara dia waktu itu.

Sebagai contoh dari perbuatan dia yang keliru misalkan, dimungkinkan merampok untuk mendapatkan uang gerakan. Dari situ saja saya sudah enggak setuju. Kemudian juga dimungkinkan membunuh siapa saja. Islam itu mengatur bahwa wanita dan anak-anak tidak boleh dibunuh. Meledakan bom seperti itu, anak-anak dan wanita, semuanya akan terkena efeknya. Prinsip-prinsip dasar seperti itu, saya tidak setuju. Saya ini pendiri TPM (Tim Pengacara Muslim).

Ada tantangannya berjuang di wilayah ini?

Rumah tangga saya diteror, istri diteror. Misalkan anak saya suka diledek-ledekin, bapaknya ekstrimis, teroris. Ketika diadili dalam kasus isu Jaguar—ketika koruptor banyak yang diadili, eh saya diadili, padahal saya benar. Tapi anak-anak tidak paham. Itu stigma yang tidak begitu enak. Kemudian di kantor, istri saya mengalaminya. Tapi alhamdulillah, kalau ke saya, orang tidak berani neror. Kalau saya diteror, kita akan bilang sini loh. Jangan jauh-jauh. He-he, orang malah jadi takut.

Tapi ada teror yang paling berat, ketika stigma dari Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid). Dia bilang kerusuhan-kerusuhan di Tasikmalaya, Jawa Barat dan Mataram, itu ada ES di baliknya. Semua orang langsung tertuju ke Eggi Sudjana. Kemudian saya datangi Gus Dur.

Saya bilang, “Gus, sampean jangan begitu. Saya enggak takut, tapi anak istri saya takut.” Kata Gus Dur, “ES kan enggak mesti Eggi Sudjana, bisa Eyang Soeharto.” Saat itu, saya merasa Gus Dur baik dengan saya. Dia bilang, “Eggi kenapa saya munculin you, karena you sasaran tembak. Kalau you disikat, susah nantinya.” Nah di situ saya hormat sama Gus Dur.

Makanya kalau ada gerakan, saya dukung dia. Dia itu luar biasa. Tapi Gus Dur sendiri enggak suka dengan pemikiran saya. Dia enggak suka syariat Islam. []


No comments: