Robohnya Kesalehan Sosial
Yonky Karman
Dalam cerita pendek AA Navis Robohnya Surau Kami (1955), surau metafora kesalehan. Yang diratapi bukan bangunan fisik tetapi "suatu kesucian yang bakal roboh". Kesucian yang dimaksudnya bukan kesalehan individual yang ditandai dengan kesalehan ritual agama melainkan kesalehan sosial.
Alkisah, Tuhan di akhirat sedang memeriksa antrean panjang orang-orang yang sudah meninggal. Giliran Saleh diperiksa. Ia tersenyum merasa yakin masuk surga. Ketika ditanya apa saja yang dilakukannya selama hidup, ia menjawab dengan lancar. Menyembah Tuhan dan menyebut nama-Nya, membaca kitab suci, memiliki pengetahuan iman, menjalankan rukun agama, tidak berbuat dosa.
Ketika ditanya lagi apa saja yang dilakukannya selain itu, Saleh merasa ada sesuatu yang tidak beres, namun tak ada lagi yang bisa dikatakannya. Jatuhlah vonis untuk dirinya. Dinerakakan. Dan, ia terheran-heran. Lebih mengherankan lagi, ketika orang lain yang lebih saleh dari dirinya ternyata bernasib sama.
Tak pelak terjadi kasak-kusuk di antara orang-orang yang dinerakakan itu. Mereka tidak puas dengan vonis itu. Standar penghakiman Tuhan dianggap tidak jelas. Lalu, mereka memberanikan diri menghadap Tuhan untuk minta penjelasan.
"Di mana kalian tinggal?"
"Indonesia."
"Negeri yang tanahnya subur, sampai tanaman tumbuh tanpa ditanam? Negeri yang tambangnya kaya raya itu?"
"Benar, Tuhan."
"Tetapi, penduduknya banyak melarat? Negeri yang selalu kacau karena kalian suka berkelahi, sementara kekayaan alam kalian dikeruk orang lain?"
"Benar, Tuhan. Kami tidak peduli dengan kekayaan alam kami. Yang penting, kami menyembah dan memuji-Mu."
"Engkau rela tetap melarat? Juga anak cucumu ikut melarat?"
"Tidak apa-apa, Tuhan, asal mereka taat beragama."
"Meski ajaran agama itu tidak masuk di hati?"
"Masuk di hati, Tuhan."
"Kalau masuk di hati, mengapa kalian membiarkan diri tetap melarat sehingga anak cucu kalian teraniaya, kekayaan alam diambil orang lain untuk anak cucu mereka? Mengapa kalian lebih suka saling menipu dan memeras? Aku beri kalian negeri yang kaya, namun kalian malas dan tidak suka bekerja keras. Kalian lebih suka beribadat. Kalian kira Aku mabuk pujian atau suka disembah?
Semua terdiam dan tahulah mereka kini apa yang diridai Allah. Masih penasaran, Saleh bertanya, "Apakah salah menyembah-Mu, Tuhan?"
"Tidak salah. Tetapi, kesalahan terbesar adalah terlalu mementingkan diri. Kau taat sembahyang karena takut masuk neraka. Kau melupakan kehidupan anak-istrimu dan kaummu sehingga mereka tetap melarat."
Reifikasi kesalehan
Manifestasi keimanan sering terkungkung visi tempat ibadat. Potensi ekonomi umat diinvestasikan untuk bangunan yang tersusun dari batu-batu mati, bukan batu-batu hidup, yakni umat yang saleh. Maka, salah satu obsesi kesalehan umat di negeri yang bersila ketuhanan ini adalah membangun tempat ibadat, kalau perlu, megah. Demi kemuliaan Tuhan, katanya. Hidup saleh seolah-olah harus berbiaya tinggi.
Bulan Februari lalu, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla meresmikan enam proyek milik Pemerintah Kalimantan Timur. Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2007 yang berjumlah Rp 4,258 triliun, tiga proyek bendungan pengendali banjir bernilai Rp 86,916 miliar. Namun, sebuah pusat kegiatan keagamaan dibangun dengan biaya Rp 550 miliar, hampir 13 persen dari APBD.
Komentar serius Wapres saat itu, "Paling yang hadir sembahyang pagi 30 orang, tetapi bangunannya setengah triliun." Dana sebesar itu seyogianya bisa dimanfaatkan langsung untuk kesejahteraan rakyat. Untuk memperbaiki gedung sekolah yang roboh. Untuk membangun sekolah kejuruan. Untuk memberikan pembekalan kepada para santri dengan keterampilan hidup mandiri atau memulai usaha kecil.
Indonesia tergolong peringkat atas sebagai negara terkorup di Asia, namun tak tampak korelasi antara peningkatan kesalehan dan berkurangnya korupsi. Energi umat sering dihamburkan untuk membela agama dan reifikasi kesalehan. Jika energi itu disalurkan untuk memerangi korupsi, kemiskinan, dan kebodohan, niscaya peringkat Indonesia di mata dunia akan jauh lebih baik.
Reorientasi kesalehan
Mengapa modal sosial yang begitu besar tidak mendorong kemajuan dan peradaban bangsa? Ketiadaan visi kesalehan sosial. Kesalehan berhenti pada tataran individual dan berfungsi sebatas penentu identitas kelompok. Kesalehan hanya berorientasi dunia akhirat dan ketenangan batin. Kesalehan seperti itu sudah dijinakkan dan tidak berbahaya bagi status quo.
Perlu transformasi sebagian energi kesalehan menjadi amunisi kritik sosial. Itulah agama profetis. Agama yang berpihak pada yang lemah dan tertindas. Agama yang membuat pejabat korup merasa tidak nyaman. Kesalehan sosial memupuk daya kritis dan daya juang umat. Rakyat akan geram melihat korupsi. Daripada berkolaborasi dengan penguasa, pemuka agama menjaga jarak agar masih bisa menegur penguasa ketika salah.
Mestinya kebangkitan agama-agama di Tanah Air diikuti orientasi kesalehan yang baru. Agama transformatif dan yang membebaskan. Itu sebuah modal sosial yang besar untuk bangkit dari keterpurukan. Jangan sampai kesalehan yang berkembang malah melemahkan motivasi umat untuk mengupayakan kesejahteraan di dunia. Lari dari dunia nyata membuat agama bagai candu masyarakat.
Orientasi baru kesalehan akan ikut memberi solusi bagi problem sosial sebab kesalehan itu membangun etos kerja. Kita akan menjadi bangsa yang dihormati dan didengar suaranya, jika produktivitas bangsa meningkat dan perekonomian kuat. Kehormatan bangsa dibangun di atas dasar kesalehan sosial.
Yonky Karman Rohaniwan
No comments:
Post a Comment