Membaca Itu Nikmat
Oleh Prof Dr Komaruddin Hidayat
Iqra', bacalah....! Itulah wahyu pertama yang disampaikan Allah pada nabi Muhammad. Sungguh amat tinggi penghargaan Islam terhadap intelektualitas, penalaran kritis dan ilmu pengetahuan. Ketika membaca, sesungguhnya otak kita juga diperintah merenung, berpikir, membandingkan, menganalisa dan membuat kesimpulan. Setiap hari kita diperhadapkan dengan kitab agung bernama alam semesta dan kehidupan. Otak kita dibantu oleh mata, telinga, hidung, kaki, tangan dan indera lain yang semuanya turut memberi masukan dan bahan analisa serta pertimbangan pada otak dan hati sebelum membuat kesimpulan akhir.
Buku yang ditulis Saudara Ryan ini mengajak anda membaca, merenung dan bercanda dengan kehidupan. Bahwa hidup itu akan dipandang indah ataupun kelabu, lebih banyak ditentukan oleh seni mengolah pikir dan emosi kita sendiri. Dari dulu langit dan matahari seakan tidak berubah. Yang banyak berubah adalah cara pandang manusia bagaimana memandang dan membaca dunia sekelilingnya. Secara fisik organ tubuh dan otak manusia adalah sama. Yang berbeda adalah kemampuan mengelola dan memberdayakan potensinya. Hidup ini indah kalau kita memang mau menikmati keindahan hidup. Sebaliknya, hidup ini rangkaian derita jika kita fokus dan lebih memilih sisi gelap dari kehidupan. Saudara Ryan mengajak kita untuk menggali kejeniusan yang tersimpan dalam diri setiap manusia karena pada dasarnya semua orang memiliki bakat jenius.
Alam semesta dan kehidupan adalah buku raksasa yang terbuka dan menunggu untuk dibaca oleh kita semua. Bahkan andaikan kepintaran dan hasil riset manusia dari generasi ke generasi dikumpulkan, masih teramat sangat sedikit prestasi keilmuan yang dicapai katimbang rahasia yang masih terkandung dalam kitab agung kehidupan. Yang namanya sekolah hanyalah sebagian kecil saja dari ruang kelas dan proses pembelajaran hidup. Muhammad adalah sosok sarjana agung dari universitas kehidupan, yang tidak tumbuh dalam tradisi baca-tulis buku-buku karya manusia, sehingga disebut ummy.
Semua isi semesta ini bergerak. Tak ada yang diam. Gunung-gunung itu pun bergerak bagaikan geraknya awan (QS: 27-28). Pohon-pohon, burung, dan seluruh benda di sekitar kita semuanya bertasbih mensucikan Sang Pencipta dengan bahasanya masing-masing (QS: 24-41/ 17-44). Bahkan bintang-gemintang yang bertaburan di angkasa semua bergerak bagaikan ikan berenang di lautan (QS 21-33/36-40). Belum lagi organ dan sel-sel yang ada dalam tubuh kita, semuanya bekerja menjalankan tugasnya masing-masing. Susunan dan kinerjanya sangat rumit dan kompleks bagaikan kompleksitas alam semesta.
Sekedar contoh, mari kita baca fenomena air. Bayangkan andaikan air laut tidak asin. Apa yang akan terjadi? Pertama, pasti baunya sangat menyengat karena manusia paling suka membuang kotoran ke sungai dan diteruskan ke laut. Masyarakat pun enggan rekreasi ke pantai karena terganggu oleh baunya. Syukurlah, karena mengandung garam, berbagai kotoran, kuman dan penyakit akan dinetralisir oleh air laut. Jika ada bangkai atau kotoran maka laut akan menolak lalu mengirim kembali ke daratan, minimal ke pantai, karena laut senang pada kebersihan dan kejernihan.
Tetapi sungguh menarik direnungkan, bagaimana jadinya andaikan air hujan yang berasal dari laut juga asin? Pasti sayur-sayuran tak akan tumbuh. Mobil dan pakaian yang dicuci dengan air laut juga akan cepat rusak. Atas kasih sayang Allah pada manusia, matahari diperintahkan untuk membantu penguapan air laut agar unsur garamnya tertinggal. Dan ketika penguapan berlangsung, datanglah angin membantu mambawanya ke wilayah daratan sehingga terkumpul menjadi mendung. Namun sampai di sini kepedulian dan kasih sayang alam pada manusia belum berakhir. Andaikan gumpalan mendung yang beratnya berton-ton jatuh seketika, pasti berbagai bangunan rusak dan penduduk bumi akan sengsara dibuatnya. Maka jatuhnya pun diangsur menjadi hujan.
Kini giliran bumi yang berbaik hati pada manusia. Air itu ditampung dalam perutnya terutama di daerah pegunungan di bawah lindungan hutan agar tidak mudah menguap atau banjir. Lewat jalur sungai air itu dikirim ke desa dan kota agar manusia bisa bercocok tanam dan mengambil manfaat untuk kepentingan lain. Sayang sekali, kebaikan lautan yang dibantu oleh matahari, angin, bumi dan hutan tidak difahami dan diapresiasi oleh manusia sehingga kiriman air yang pada dasarnya manifestasi kasih sayang Allah melalui semesta untuk kebaikan hidup manusia, yang terjadi adalah malapetaka berupa banjir. Sungguh kita semua buta mata hati, buta pikiran serta tidak tahu balas budi.
Sulit membayangkan, bagaimana orang semacam itu akan jadi pemimpin bangsa kalau mata hati dan pikirannya tidak mampu membaca jejak-jejak Allah yang maha kasih? Pembacaan pada alam ini bisa diperpanjang lagi dan sampai umur kita habis pun kitab semesta yang sangat menarik dibaca ini tidak akan habis lembarannya. Coba bayangkan, andaikan pola pertumbuhan binatang buas semacam harimau itu bagaikan bakteri yang sekali bertelur jumlahnya jutaan, lalu umurnya panjang seperti manusia, pasti populasi dan keberadaan manusia akan terancam oleh harimau. Bersyukurlah, bakteri itu meskipun sekali bertelur jumlahnya jutaan, yang bisa bertahan hidup hanya sedikit dan usianya pun hanya dalam hitungan menit. Begitupun binatang buas, kalau beranak cukup satu atau dua dan tidak betah tinggal di kota.
Demikianlah, membaca dan berpikir itu sungguh nikmat, semakin merasa dekat dengan Sang Penciptanya yang Maha Pintar dan Bijak. Bahkan tubuh kita ini sangat unik, tak habis-habis mengungkapkan keajaiban kinerjanya. Itulah sebabnya berulang Al-Qur'an menyuruh agar kita senantiasa berpikir dan berefleksi merenungkan dan mengagumi kebesaran Allah dan ciptaanNya. Agar pikiran tidak sombong dan tidak lelah, sehari semalam disujudkan minimal sebanyak 34 kali. Menurut dokter ahli, dengan bersujud itu peredaran darah juga akan merata ke wilayah kepala, sampai pada sel-selnya yang sempit agar terhindar dari bahaya stroke.
Artikel ini dimuat pada Buku Psikologi Beragama Terbitan Hikmah Tahun 2006
No comments:
Post a Comment