Friday, June 15, 2007

Sekularisme di Turki dan di Indonesia

Salahuddin Wahid

Keputusan menjadi negara sekuler diambil bangsa Turki setelah kerajaan Ottoman mengalami kemunduran dan kekalahan di berbagai belahan bumi. Kekalahan itu dialamatkan kesalahannya pada keberadaan Turki sebagai kerajaan Islam.

Dan, antitesisnya ialah perubahan mendasar yang harus dilakukan dari kerajaan menjadi negara bangsa berbentuk republik, dari negara Islam menjadi negara sekuler.

Pada saat itu tentu tidak semua orang atau tokoh Turki setuju dengan gagasan seperti itu. Sejumlah ulama di bawah pimpinan Bediuzzaman Said Nursi amat menentang, tetapi kekuatannya tidak besar.

Maka, secara resmi sekulerisme menjadi ideologi negara. Semua simbol Islam dilarang, penggunaan bahasa dan aksara Arab diganti huruf Latin. Dakwah diawasi, tahun 1925 Attaturk melarang tarekat dan pergi haji. Pendidikan agama amat dibatasi. Pengadilan agama ditutup, hukum pernikahan Islam diganti dengan hukum positif Swedia.

Said Nursi dengan susah payah berjuang untuk mempertahankan kegiatan dakwah walaupun amat sulit. Salah seorang muridnya, Fethullah Gulen, pada tahun 1971 mendirikan lembaga pendidikan an Nur yang terus berkembang dengan pesat dan merambah ke luar negeri.

Secara perlahan kalangan Islam yang antisekularisme mengalami peningkatan dalam jumlah dan mutu. Gulen tidak hanya seorang ulama, tetapi juga pemikir dan tokoh pergerakan. Lembaganya mempunyai ratusan sekolah dan sejumlah universitas, rumah sakit, radio, stasiun TV, bank, surat kabar. Aset lembaga Gulen (1999) diperkirakan sekitar 25 miliar dollar AS. Partai yang menentang sekularisme makin besar jumlah pendukungnya. Tahun 1995 Partai Islam Refah menang dan Erbakan menjadi PM. Jargon politik Partai Refah menonjolkan etika, tradisi, keadilan sosial, dan penolakan keras terhadap westernisasi.

Refah memperjuangkan Islam model khas Turki sesuai dengan aspirasi massa Islam. Refah bukan partai Islam militan atau fundamentalis, tetapi partai moderat yang menjunjung nilai demokrasi dan pluralisme. Namun, tahun 1997 Pemerintah Turki melalui tangan militer melarang partai itu ketika dianggap Partai Refah terlalu memperjuangkan Islam.

Kini Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), partai yang memerintah saat ini, mencalonkan Abdullah Gul sebagai satu-satunya calon presiden. Dia didukung PM Recep Tayyib Erdogan. Kalangan sekuler takut, kalau terpilih, Gul akan mengutak-atik sekularisme yang sudah mendarah daging bagi sebagian besar rakyat Turki. Karena itu, panglima tertinggi militer Turki menyampaikan pernyataan, jika sekularisme terancam, dia akan mengambil langkah-langkah yang sangat tegas.

Karena Parlemen tidak mencapai jumlah suara minimal untuk bisa memilih presiden, UUD diamandemen dan menyetujui pemilihan presiden secara langsung.

Joseph S Nye Jr, penulis buku Soft Power dalam tulisannya di The Jakarta Post 11 Mei 2007, merasa terkejut terhadap reaksi kalangan sekuler di Turki karena, menurut dia, PM Erdogan adalah seorang yang moderat dan menunjukkan prestasi yang mengagumkan dalam masalah ekonomi, legislasi HAM, dan perbaikan dalam perlakuan terhadap kaum minoritas Kurdi.

Situasi di Indonesia

Sejak awal kemerdekaan Indonesia, sudah terjadi perdebatan panas dalam memilih dasar negara, antara Pancasila dan Islam. Perdebatan yang tampaknya hampir mencapai jalan buntu itu dapat diselesaikan dengan kearifan para tokoh Islam di dalam Panitia Sembilan yang bersedia mencoret beberapa kata Piagam Jakarta: "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya".

Upaya memperjuangkan Islam menjadi dasar negara dilanjutkan oleh Masyumi, NU, PSII, dan Perti. Upaya itu gagal karena hanya 43 persen anggota Majelis Konstituante yang mendukungnya. Majelis itu gagal menentukan Pancasila sebagai dasar negara karena tidak memenuhi dukungan minimal 2/3 jumlah suara.

Menghadapi situasi genting seperti itu, Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. Pertimbangan Dekrit itu menentukan bahwa Pancasila merupakan bagian tak terpisahkan dari UUD 1945 dan menjiwainya.

Penafsiran terhadap butir pertimbangan itu pernah menjadi perdebatan panas. Ada yang berpendapat, itu berarti bahwa syariat Islam menjiwai UUD dan semua UU. Ada perdebatan tentang Pancasila itu sekuler atau tidak, negara RI itu sekuler atau tidak. Banyak yang menyatakan bahwa Indonesia itu bukan negara sekuler dan juga bukan negara agama.

Gus Dur menyatakan, "Bukan ini atau bukan itu menunjukkan ketidakjelasan." Menurut Gus Dur dan Mas Dawam, RI adalah negara sekuler. Apakah negara sekuler itu anti-agama atau netral agama (non-religion)? Yang lain menyatakan bahwa RI adalah negara berketuhanan.

Debat tentang itu tidak akan pernah selesai dan tidak perlu dilarang. Lebih baik kita melihat realitas politik di Indonesia. Kita memberi akomodasi bagi syariat Islam yang partikular di dalam sejumlah UU, baik langsung maupun tidak.

UU Perkawinan (1974) adalah UU yang pertama memberi akomodasi itu dengan rumusan bahwa perkawinan adalah sah kalau sesuai dengan ketentuan agama. Yang kedua ialah UU Peradilan Agama.

Kini pengadilan agama berada di bawah Mahkamah Agung, menyatu dalam sistem peradilan nasional Indonesia, tidak menjadi pengadilan kelas dua, setara dengan pengadilan lain (pengadilan militer, pengadilan niaga, pengadilan umum). Perbankan Syariah telah menjadi bagian dari sistem perbankan nasional.

Bernuansa netral

Kita juga pernah mengalami pertentangan antara pemerintah dan partai Islam pada awal Orde Baru. Pemerintah amat khawatir partai Islam masih menginginkan Islam menjadi dasar negara. Sulit dibantah bahwa kalangan Islam politik mengalami diskriminasi. Banyak dari mereka yang terhambat kariernya. Aktivis NU harus melepaskan diri dari kegiatan di NU kalau masih mau menjadi PNS.

Pada paruh kedua 1980-an Pak Harto mulai mengubah sikapnya terhadap kelompok Islam. Jumlah kalangan santri yang mendapat pendidikan tinggi (sampai S3) di dalam berbagai bidang ilmu makin banyak dan sebagian menduduki jabatan strategis di lembaga pemerintah maupun swasta. Banyak dari mereka yang taat beribadah.

Kalangan sekuler (dalam konteks politik) juga menyadari bahwa mereka membutuhkan dukungan dari kalangan Islam. Maka, PDI-P mendirikan Baitul Muslimin yang diharapkan mampu menarik suara pemilih dari kalangan santri. Maka, jarak antara kelompok sekuler dan kelompok Islam berkurang.

Jadi, konflik ideologis seperti yang terjadi di Turki tidak terjadi di sini. Kalau di Turki penggunaan jilbab oleh istri Abdullah Gul memicu perdebatan, di sini banyak tokoh perempuan dan istri tokoh nasional memakai jilbab. Bahkan, yang sehari-hari tidak berjilbab dalam kampanye terpaksa berjilbab, minimal berkerudung.

Kita tidak mengharuskan dan tidak melarang penggunaan jilbab. Kalau Indonesia dianggap negara sekuler, sekularisme di Indonesia bernuansa netral terhadap agama. Di sini terjadi konvergensi antara Islam dan negara.

Kalau saat ini kita bicara tentang partai sekuler, apa maknanya? Kalau dulu, partai sekuler ialah yang menentang UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama. Namun, tampaknya semua partai sudah menerima walaupun masih ada pihak yang menghendaki perubahan terhadap UU yang menimbulkan ekses.

Saat ini pertentangan yang ada ialah di dalam menyikapi RUU Pornografi atau RUU yang mengandung pasal yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam atau bertentangan dengan prinsip HAM. Misal, kalau DPR membahas RUU Catatan Sipil yang menentukan bahwa negara harus melakukan pencatatan terhadap perkawinan antar-agama.

Yang menarik, di dalam menyikapi UU Sumber Daya Air dan UU PMA yang banyak memberi kemudahan kepada pihak asing dan tidak melindungi kepentingan rakyat, tidak ada perbedaan antara partai Islam dan partai sekuler, semua mendukung. Padahal, seharusnya partai Islam menentang.

Secara gagasan, di Indonesia masih ada pertentangan antara partai Islam dan partai sekuler. Namun, di dalam praksis politik, tidak banyak perbedaan. Perilaku banyak tokoh dan anggota DPR, dari partai Islam atau partai sekuler, baik di tingkat nasional maupun daerah, bertentangan dengan ajaran agama.

Pengertian sekularisme di Indonesia dan Turki berbeda. Di Turki sekularisme menentang dan menghambat Islam. Walaupun pernah terjadi konflik Islam versus negara, kita telah mampu mewujudkan konvergensi Islam dengan negara.

Dalam hubungan antara Islam dan negara, kita lebih maju daripada Turki. Kita memberi peluang kepada partai Islam untuk menggunakan hak demokrasinya dalam memperjuangkan cita-citanya asal tanpa kekerasan. Memang, cukup merisaukan adanya keinginan berlebihan menerapkan ketentuan syariat Islam melalui peraturan daerah. Sejumlah pemimpin Islam mencoba memberi pengertian untuk meredam upaya itu.

Salahuddin Wahid Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang

No comments: