Saturday, June 30, 2007

Sains dan Agama Seiring
Ilmu dan Penelitian Haruslah Berlapiskan Nilai-nilai Spiritual

Jakarta, Kompas - Sains dan agama sesungguhnya tidak dalam posisi saling bertentangan, tetapi justru dapat saling mendukung. Hanya saja, sejauh mana adaptasi di antara keduanya memang tidak terlepas dari interpretasi dan kualitas penelitian serta akurasinya.

"Termasuk dalam berhadapan dengan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang medis dan biologi yang pesat, dengan berbagai hasil penelitian kontroversial seperti stem sel dan kloning," kata cendikiawan Muslim, M Quraish Shihab, dalam seminar tentang teknologi kloning dan pandangan agama Islam di Universitas Al-Azhar, Jakarta, Jumat (29/6).

Hadir pula Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sekaligus Ketua Komisi Bioetika Nasional Umar Anggara Jenie.

"Menurut saya, kita tidak bisa berkata ada pertentangan antara sains dan agama. Agama merupakan tuntunan Tuhan dan sains digali dari ciptaan Tuhan," katanya. Jika terdapat pertentangan, hal itu tidak lepas dari kesalahan interpretasi agama atau hasil penelitian yang keliru.

Nilai-nilai spiritual

Ketika penelitian ilmiah telah mapan, tugas agamawan untuk menggali kembali interpretasinya. "Interpretasi itu merupakan hasil dari daya nalar manusia sesuai perkembangannya. Jadi, dapat berubah," ujarnya.

Dia berpendapat, dalam agama Islam ada yang dinamakan nilai- nilai yang sudah mapan dan tidak berubah. Namun, ada nilai yang dapat mengalami perubahan.

"Prinsip dasarnya ialah apa yang dipersembahkan oleh sains itu benar-benar bermanfaat dan akurat. Kebenaran ilmiah sendiri ialah kesepakatan ilmiah pada disiplin yang sama pada waktu yang sama. Dulu kebenaran ilmiah berkata Bumi itu datar, tetapi kemudian kebenaran ilmiah itu berubah," ujarnya.

Supaya sains dan agama dapat saling mendukung, dia berpendapat, ilmu dan penelitian sebaik tidak melepaskan diri dari nilai-nilai spiritual atau agama. Lepasnya ilmu pengetahuan dari nilai spiritual membuat ilmu pengetahuan dan teknologi rawan memberikan malapetaka bagi manusia. Terkait isu kloning manusia, misalnya, harus dikaji kembali dengan sangat hati-hati apakah mengandung bahaya bagi manusia. Tugas ilmuwan juga mendukung kehadiran Tuhan.

Umar Anggara Jenie mengungkapkan, teknologi kloning memang sempat menimbulkan kontroversi. Guna mengatasi "ketegangan" itu kemudian muncul istilah bioetik, yang memberikan solusi kepada konflik moral yang kian meningkat seiring semakin majunya ilmu pengetahuan di bidang medis dan biologi. Prinsip bioetik ialah respek kepada otonomi, keadilan, kebermanfaatan dan antikejahatan.

"Bioetik tidak bermaksud untuk menghalangi dan menghambat pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan sekadar memberikan rambu-rambu agar tidak terjadi manipulasi," ujarnya. (INE)

No comments: