"Penyelenggara pertemuan ini pasti mengatur berdasar senioritas, bukan jumlah umat yang diwakili. Buktinya, saya ditempatkan di urutan paling belakang."
Zannuba Arifah Chafsoh Rahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan nama Yenny Wahid mengemukakannya dengan serius, lewat bahasa Inggris sempurna, begitu dipersilakan tampil ke panggung pada diskusi bertopik "The Impact of Modernity, Values and Practice" dalam konferensi International Islam and Muslims in the World Today yang pekan lalu diselenggarakan Universitas Cambridge di London, Inggris.
Ucapan Yenny khas joke British. Segar, spontan, sehingga langsung memancing tepuk tangan riuh. Tentu saja, gadis kelahiran Jombang, 33 tahun lalu, putri nomor dua KH Abdurrahman Wahid, itu sekadar bercanda. Oleh karena diskusi dengan topik tersebut malah sengaja ditempatkan setelah acara pembukaan dengan pidato resmi Perdana Menteri Tony Blair.
Yenny tampil di sesi pertama, bersama Mufti Besar Mesir Shaykh Ali Gomma dan Prof Mona Siddiqui, Direktur Centre for Study of Islam, Universitas Glasgow. Tetapi, berlainan dengan seluruh hadirin yang pada konferensi internasional lintas agama tersebut memakai busana resmi, Senin (4/6) pagi itu pakaian Yenny agak berantakan. Dengan sandal, celana jins, baju, dan kerudung merah.
Memang, dia tidak sempat ganti pakaian dan malah terpaksa hadir ke pertemuan tanpa mandi. Acara dimulai pukul 10.00 waktu setempat, sedangkan pesawatnya mendarat di Bandara Heathrow, London, pukul 08.30, setelah meninggalkan Jakarta pada Minggu malam pukul 20.00 WIB.
"Honey, kita harus langsung ke tempat acara. Senin pagi, traffic jam selalu menghadang. Tetapi, kita tidak mungkin membiarkan Perdana Menteri Kerajaan Inggris menunggu," kata Rosemary, petugas Departemen Luar Negeri, yang dengan sikap ramah tapi tegas menjemput di bandara. Tanpa basa-basi, mobil Range Rover segera tancap gas menuju ke Lancaster House, bekas rumah kediaman Raja George IV, tempat acara berlangsung.
Bertolak belakang dengan kata bersayap The Singer not the Song, pada Yenny yang memukau bukan sosoknya, melainkan isi pernyataannya.
"Ajaran Islam lahir di tengah masyarakat komersial Arab yang masa itu kafir. Maka, istilah kafir pada awalnya bukan berkait dengan agama, melainkan konotasinya mengarah ke politik dan sosial ekonomi. Kafir adalah siapa saja yang secara sistematis mengeksploitasi masyarakat, baik secara jender atau dengan motivasi ekonomi, sehingga menimbulkan degradasi moral dan ketidakadilan…"
Yenny menegaskan, istilah kafir sebuah ajaran mengenai etika kehidupan. "Menurut Al Quran, kafir adalah siapa saja yang menutup mata ketika Tuhan memberi isyarat, dan menutup telinganya untuk mendengarkan suara kebenaran. Bahkan, sebuah hadis menegaskan, mereka yang tetap bisa tidur nyenyak ketika tetangganya menderita kelaparan juga kafir…"
Bunuh diri
Di Inggris, kafir dan teror memang jadi topik utama setiap kali pembicaraan menyinggung warga Muslim. Sebuah persoalan yang masih ditanggapi dengan beragam pemahaman, apalagi setelah aksi bom bunuh diri mengguncang London pada 7 Juli dua tahun silam. Bahkan, hasil jejak pendapat di Channel 4 News mengenai peristiwa 7/7 yang diumumkan Senin pagi itu menyebutkan, "…25 persen suara menganggap pemerintah bersama aparat keamanan terlibat peristiwa tersebut".
"Sangat jelas, angka 25 persen tidak bisa dikesampingkan sebagai pendapat orang mimpi tanpa dasar. Angka 25 persen sangat bermakna meski disuarakan oleh kelompok minoritas," kata Zia Halder Rahman, aktivis HAM setempat, yang langsung menyerukan kelompok Muslim moderat turun tangan menjelaskan hal sebenarnya dari peristiwa itu.
Membuka peluang
Shaykh Ali Gomma, Mufti Besar Mesir, mengingatkan, fatwa yang dikeluarkan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab justru membuka peluang kepada para ekstremis untuk semakin merajalela. "Pengalaman masyarakat Inggris selama 200 tahun hidup berdampingan secara damai harus bisa dijaga bersama…"
Dalam kaitan ini, Shaykh Gomma menegaskan, tidak setiap orang berhak mengeluarkan fatwa. Oleh karena itu, harus ada kebijakan tegas dari pemerintah, mencegah mereka yang ilmunya kurang dan tidak bersedia memahami kenyataan dunia kontemporer, menguasai masjid, dan secara sembarangan mengeluarkan fatwa.
"Bayangkan, bagaimana kacaunya dunia kalau ada ekstremis berhasil menguasai masjid dan lewat internet kemudian berfatwa, semua pemerintahan adalah kafir kalau tidak bersedia mewarisi sistem khalifah di Samarkand, Asia Tengah, 500 tahun silam…"
Persoalannya memang tidak mudah.
Seorang peserta menanyakan, bagaimana cara mengatur fatwa kalau di Inggris tidak ada mufti yang bisa dijadikan panutan?
Shaykh Gomma menukas, "Seorang mufti memang harus berasal, dipercaya, serta diangkat oleh umat setempat. Tidak mungkin saya misalnya, selain di Mesir lantas merangkap jabatan untuk kawasan London…" Kesulitan lain yang terjadi di Inggris, menurut Prof John Esposito dari Universitas Georgetown AS, "Warga Muslim umumnya tinggal dalam ghetto, permukiman khusus, sehingga membatasi pergaulan dengan warga masyarakat lain…"
Persoalan ini yang sedang ditangani Tony Blair. Dia menyediakan anggaran sebesar satu miliar poundsterling khusus untuk memperbaiki sistem pengajaran agama Islam di perguruan tinggi agar bisa menghasilkan guru agama berpendidikan dan tidak hanya mencadangkan kedatangan guru serta dosen asing yang kualitas keilmuannya tidak terjamin. Ketegasan lain juga dia kemukakan, "Kami akan berusaha mendengarkan suara serta pandangan baru. Kenyataannya, suara ekstrem sama sekali tidak pernah mewakili mayoritas dunia Islam dan umumnya warga Muslim…"
Sikap serupa juga dikemukakan Gordon Brown, yang pada 27 Juni nanti secara resmi mulai menjabat perdana menteri menggantikan posisi Tony Blair. "I was ready to be tough in the security measures that are necessary to prevent terrorist incidents in this country…" Sekitar perasaan khawatir bahwa dia akan bertindak di luar kendali.
Jawaban Brown khas British, "…at no point will our British traditions of supporting and defending civil liberties be put at risk. There has got to be independent judicial oversight. There has got to be proper parliamentary accountability."
Tentu saja, saya selalu berharap wacana semacam ini nantinya tetap dia pegang teguh, bukan sekadar tebar pesona sebelum menjabat.
(Julius Pour)/kompas
No comments:
Post a Comment