Agama & Konsep Demokrasi | |||
Jum'at, 22/06/2007 | |||
Dalam dua dasawarsa terakhir ini, sistem demokrasi berkembang pesat sejalan dengan proses globalisasi, sehingga hampir semua negara dan bangsa di dunia ini menyifati sistem politik mereka sebagai sistem yang demokratis.
Memang disadari bahwa demokrasi tak terlepas dari kelemahan-kelemahan. Tetapi dalam sejarah modern ini, sistem ini telah menunjukkan keunggulannya dibandingkan dengan sistem lain, yang dapat dilihat dari segi penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan,pergantian kekuasaan secara damai, penyelesaian perbedaan-perbedaan atau konflik secara beradab, kontrol terhadap penyelenggaraan negara, dan sebagainya. Meski demikian,bentuk atau konsep demokrasi ini sangat bervariasi dan terdapat perbedaan antara satu negara dan negara lain.
Variasi konsep ini adakalanya dimaksudkan untuk menyesuaikan demokrasi dengan budaya atau nilai-nilai suatu bangsa sebagai upaya meminimalisasi ekses-ekses demokrasi; dan adakalanya dimaksudkan untuk menjustifikasi sistem politik yang dibangun suatu rezim tertentu untuk kelangsungan kekuasaannya. Penyesuaian (adjustment) konsep demokrasi dengan alasan pertama dapat dibenarkan asalkan tidak menghilangkan substansi demokrasi, tetapi alasan kedua harus di-to-lak, karena hal ini justru menghilangkan substansi demokrasi itu sendiri.
Dalam konteks Indonesia, yang memiliki ideologi Pancasila, adalah sah bahkan menjadi keniscayaan jika konsep demokrasi yang dibangun di atas sekularisme itu disesuaikan dengan budaya bangsa Indonesia,terutama dalam hal posisi penting agama dalam kehidupan berbangsa dan negara. Hal ini terjadi karena bangsa Indonesia tetap memperhatikan faktor agama dan budaya lokal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,meski negara ini telah melakukan modernisasi dan sekularisasi politik bersamaan dengan proses globalisasi.
Sejak dasawarsa 1980-an,kecenderungan “kembali kepada agama” cukup tampak di negara ini sebagai perimbangan terhadap proses sekularisasi politik tersebut. Orientasi keagamaan ini bahkan semakin tampak pada era reformasi ini, terutama dengan pemasukan aspek keagamaan/ ketakwaan dalam amendemen UUD 1945. Memang usulan sejumlah partai dan organisasi Islam untuk memberlakukan syariat Islam tidak diterima. Namun, dalam tingkat tertentu, amendemen telah mengakomodasi orientasi keagamaan ini, misalnya Pasal 31 ayat 3 yang menyebutkan tujuan pendidikan nasional untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan, dan ayat 5 yang menyebutkan arah pengembangan ilmu pengetahuan dengan menjunjung nilai-nilai agama.
Pencarian Konsep Demokrasi
Walaupun era reformasi ini sudah berjalan selama kurang lebih sembilan tahun, perumusan kembali tentang filosofi dan konsep demokrasi yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia belum mendapatkan perhatian khusus. Memang, konsep operasionalnya sebagian sudah dirumuskan, misalnya dengan UUD 1945 yang telah diamendemen, UU Partai Politik,dan UU Pemilu. Perumusan konsep filosofis ini diperlukan karena sistem sosial budaya masyarakat Indonesia tidak sama dengan masyarakat Barat, yang merupakan tempat asal dan praktik demokrasi, sementara kedua konsep yang pernah ada tersebut tidak sesuai dengan substansi demokrasi.
Rumusan konsep demokrasi yang akan kita bangun itu semestinya berdasarkan ideologi negara serta keyakinan dan budaya masyarakat Indonesia, di samping ide-ide demokrasi Barat tentu saja. Perumusan semacam ini memang sudah pernah dilakukan Mohammad Hatta yang mengemukakan ada tiga sumber demokrasi di Indonesia, yakni sosialisme Barat, ajaran-ajaran Islam, dan gaya hidup kolektivisme masyarakat Indonesia. Demikian pula, Mohammad Natsir pernah mengemukakan konsep “demokrasi teistis”. Namun, istilah dan rumusan ini masih perlu dikaji kembali, mengingat persoalan yang muncul semakin kompleks,termasuk tuntutan yang kuat untuk terwujudnya demokrasi yang substantif.
Demokrasi yang Religius
Dengan mengkaji filosofi negara dan budaya masyarakat Indonesia tersebut, saya cenderung berpendapat bahwa konsep demokrasi di Indonesia yang tepat adalah demokrasi yang religius. Saya tidak menggunakan istilah “demokrasi religius”, tetapi “yang religius”, karena saya ingin menghindari pemberian “kata sifat” dalam demokrasi secara permanen untuk menghindarkan kemungkinan hilangnya substansi demokrasi itu sendiri. Penggunaan kata “yang” dalam judul ini dimaksudkan hanya untuk memberikan penjelasan tantang konsep “demokrasi ideal” yang seyogianya dibangun di negara ini.
Ideal yang dimaksudkan di sini adalah bahwa konsep itu di satu sisi tetap mempertahankan substansi demokrasi, dan di sisi lain tetap menghormati nilai-nilai agama dan budaya lokal di Indonesia. Adapun “religius” yang dimaksud di sini mencakup semua agama yang mendapatkan pengakuan formal di Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha. Konsep demokrasi yang religius itu idealnya memiliki kriteria sebagai berikut: (1) kehendak rakyat semestinya atau sebisa mungkin tidak bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) putusan-putusan publik semestinya dapat dipertanggungjawabkan baik di hadapan manusia maupun Tuhan; (3) orientasi setiap individu semestinya tidak hanya menekankan hak-hak, tetapi juga kewajiban-kewajiban; (4) pemeliharaan keseimbangan antara hak-hak individual dan kolektif serta antara nilai-nilai material dan spiritual.
Tentu saja, upaya penyesuaian tersebut tidak mudah karena secara filosofis demokrasi itu lahir dari sekularisme, yang berarti pemisahan antara agama dan negara, meski dalam praktiknya di negara-negara Barat saat ini agama dalam tingkat tertentu masih tetap eksis dalam kehidupan bernegara. Memang didasari, pelibatan agama dalam sistem demokrasi beberapa hal bisa mengurangi arti demokrasi itu sendiri, dan hal ini oleh pendukung sekularisme dianggap sebagai “demokrasi minus”. Namun bagi orang-orang yang masih memiliki orientasi keagamaan,pelibatan agama justru menjadikan demokrasi sebagai “demokrasi plus”, karena hal ini akan memberikan kesempatan lebih luas kepada warga negara untuk tetap (atau sebisa mungkin) melaksanakan ajaran agamanya.
Untuk memperoleh solusi yang baik bagi upaya tersebut, diperlukan rumusan yang moderat: agama itu dilibatkan dalam negara atau proses politik dan agama tidak boleh dilibatkan. Agama merupakan sumber etika-moral serta menjadi subideologi bagi kehidupan negara Indonesia. Adalah tidak realistis bahwa kita berupaya untuk mela-kukan pemisahan antara agama dan negara (sekularisme), atau sebaliknya pengintegrasian sepenuhnya antara agama dan negara. Dengan posisi tersebut, ajaran-ajaran agama tidak sepenuhnya diformalisasikan, tetapi sebagian saja, terutama ajaran yang berbentuk hukum privat. Sedangkan sebagian lainnya, ajaran agama dapat dijadikan sebagai inputdalam proses pembuatan kebijakan publik.
Sementara dalam proses politik,seseorang atau suatu organisasi dibenarkan melakukan legitimasi keagamaan bagi pandangan dan sikap politiknya. Namun, ia tidak dibenarkan melakukan “politisasi agama”, dalam arti menggunakan agama untuk menjustifikasi pandangan dan sikap politiknya atau kelompoknya untuk menyerang orang/ kelompok lain. (*)
Masykuri Abdillah Guru Besar UIN Jakarta dan Ketua PBNU
No comments:
Post a Comment