dalam Sejarah nggak Pernah Berhasil 17-4-2007
Oleh : AHMAD NURCHOLISH/SYIRAH
Dalam sebuah seminar bertajuk Refleksi Amandemen UUD 1945 di Jakarta medium Agustus 2005 lalu, ia mengatakan bahwa kebutuhan menjadikan konstitusi sebagai wacana publik menjadi penting karena saat ini Indonesia sudah menyelesaikan semua pranata kelembagaannya sesuai amanat UUD 1945. Selain itu, kata Jimly, konstitusi sudah semestinya dipahami sebagai The Highest Law of The Land. “Tidak ada konsensus yang lebih tinggi dari apa yang kita akui sebagai konstitusi,”tandasnya.
Pemahaman yang tepat, menurut Jimly, bisa mempertegas perbedaan antara persoalan kemajemukan dan pluralitas dengan persoalan persamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara. “Kita tidak bisa mengingkari pluralitas, tapi juga harus bisa memahami asas persamaan sebagai warga negara sebagaimana diatur dalam konstitusi,”ujar Jimly, sebagaimana dikutip Tempointeraktif (19/8/05).
UUD 1945 juga harus diakui sebagai konstitusi yang baru selesai ditulis. “Bisa disempurnakan,”kata Jimly.
Sekarang ada rencana mengamandemen UUD 45 untuk kelima kalinya. Menurut Anda?
Ya, kalau ide dan usul boleh-boleh saja. Cuma nanti muaranya di forum MPR. Kalau misalnya bisa memperjuangkan ide-ide untuk kepentingan rakyat sebagaimana ditafsirkan oleh masing-masing komunitas sebagaimana kebutuhan itu ditafsirkan oleh masing-masing tokoh, ya boleh saja.
Apakah mau diubah lagi perubahan kelima itu, atau bagaimana, saya serahkan pada mekanisme politik di MPR. Sebagai Ketua MK, saya hanya tinggal menunggu apa yang diputuskan MPR.
Dan sekiranya itu sudah diputuskan sah sebagai UUD, ya itulah yang kita kawal, kita jaga supaya dijalankan oleh semua penyelanggara negara.
Ada juga rencana dimasukkannnya kembali 7 kata dalam Piagam Jakarta ke dalam amandemen tersebut. Menurut Anda?
Misalnya itu mendapat kesepakatan, ya boleh-boleh saja. Tapi kan sejak zaman dulu, itu hanya pendapat segelintir orang. Tak mendapat dukungan. Karena ada hal-hal yang sifatnya tidak tepat menurut jalan pikiran orang-orang yang mengambil keputusan.
Tidak tepat karena tidak perlu lagi. Itu hanya soal slogan-slogan saja dalam rangka kepentingan politik. Hanya untuk kepentingan konstituen. Jadi, bukan sungguh-sungguh memperjuangkan subtansinya. Karena subtansinya, sebagian besar menganggap sudah tidak perlu lagi.
Itu sebabnya sampai sekarang walaupun kesempatan itu ada, perubahan pertama tahun 1999, kedua tahun 2000, ketiga tahun 2001, keempat tahun 2002, bahkan dulu tahun 1945, kesempatan itu ada. Tapi tokoh-tokoh umat Islam sendiri, dengan jiwa besarnya agar tak menimbulkan kesalahpengertian sudah menyepakati mencoret kata itu. Sehingga secara historis sebetulnya sudah selesai. Tidak perlu lagi digembar-gemborkan.
Artinya kemungkinan ke depan, upaya itu tak akan berhasil?
Saya tak mengatakan itu tertutup secara normatif. Tapi, terbukti dalam sejarah nggak pernah berhasil. Karena memang itu tidak masuk akal bagi mayoritas yang mengambil keputusan.
Belakangan muncul perda-perda syariat di berbagai daerah. Sikap Anda?
Kalau bangsa kita mau melepaskan diri dari segala salah paham yang timbul karena penggunaan istilah-istilah seperti perda syariah dan lain-lain, kemudian kita utamakan pada subtansi, esensi, maka perdebatan mengenai apa yang kita atur, apa yang seharusnya tidak kita atur, sepanjang menyangkut esensi keadilan dan esensi kebenaran, semua orang setuju.
Jadi yang membuat orang berbeda pendapat itu karena istilah-istilah, soal semantik. Jadi, jangan pergunakan istilah-istilah yang bisa menimbulkan salahpengertian. Misalnya perda syariah. Itu kan bisa menimbulkan salah pengertian.
Di Papua muncul juga Perda berbasis Injili. Anda melihat bahwa perda itu merupakan balasan dari kelompok Kristen?
Mungkin saja. Karena itu jangan terpaku pada istilah-istilah. Karena yang harus kita atur adalah untuk kepentingan rakyat, untuk kepentingan kemajuan kita sebagai bangsa isinya apa? Kita ingin mengatur apa? Jangan terpaku kepada baju, pada simbol.
No comments:
Post a Comment