Ijtihad dan Kesegaran Islam
Oleh Muhammad Nurul Fikri
Ijtihad adalah ruh penggerak berkembang dan majunya berbagai pemikiran keagamaan pada masa kejayaan Islam tempo dulu, bahkan hingga saat ini. Padahal, jika dicermati lebih dalam, di dalam Alquran sebetulnya tidak ada kata ijtihad dalam pengertian yang dipahami saat ini. Yang ada justru adalah kata jihad.
Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, konfrontasi yang berkepanjangan dengan kaum Quraisy Mekkah penganut pagan (politeisme) yang tidak rela pengaruh Nabi Muhammad dan pengikutnya semakin membesar. Karena itu, kata yang dipakai adalah jihad, dalam konteks pengorbanan jiwa, raga dan harta untuk berjuang menghadapi kaum Quraisy.
Kedua, yang jauh lebih dibutuhkan oleh umat Islam kala itu bukanlah pemikiran rasional, tetapi memupuk keyakinan baru sebagai lawan dari keyakinan pagan yang dianut umat manusia kala itu. Masyarakat Arab kala itu disebut sebagai masyarakat jahiliah bukan karena mereka tak mengetahui apa-apa. Mereka sudah mengetahui Tuhan, tetapi tuhan yang mereka persepsikan bukan Tuhan seperti yang Nabi sampaikan.
Ketiga, Nabi Muhammad adalah penerus para nabi dan rasul sebelumnya. Artinya, masih ada kesinambungan antara ajaran para nabi dan rasul yang satu dengan yang lainnya. Karena itu ada beberapa syariat terdahulu yang kemudian dipertahankan Rasulullah. Sebab, selain nilai-nilai moral yang dikandungnya masih relevan dengan apa yang beliau bawa, ia juga merupakan pesan-pesan universal dari wahyu Allah yang dengan itu, kebaikan dan keburukan tetap bisa dipisahkan secara jelas, tidak bercampur aduk.
Menurut Fazlur Rahman di dalam Islam and Modernity, Transformation of Intellectual Tradition, apabila kita membaca Alquran, kita akan melihat bahwa sesungguhnya ia tidaklah memberikan banyak prinsip-prinsip umum. Untuk sebagian besar, ia memberikan solusi dan keputusan terhadap masalah-masalah historis yang spesifik dan kongkret. Tetapi, Alquran memberikan, baik secara eksplisit maupun implisit, alasan-alasan di balik solusi-solusi dan keputusan-keputusan tersebut, dari mana bisa disimpulkan prinsip-prinsip umum.
Meski demikian, ada legalisasi niscayanya ijtihad, dalam pengertian optimalisasi kemampuan nalar, di dalam sunah Nabi. Di antaranya, ketika hendak mengutus Muâdz bin Jabal ke Yaman, beliau menanyakan soal apa yang jadi landasan Muâdz nantinya ketika menghukumi sesuatu. Muâdz mengatakan akan menggunakan Kitabullah. Jika tidak ada dalam Kitabullah, maka menggunakan sunah Rasulullah. Jika tidak ada, maka menggunakan ijtihad nalar (HR. Bukhari-Muslim). Nabi sendiri mengatakan bahwa seorang yang berijtihad, dan ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Pahala ijtihad dan pahala benarnya ijtihad itu.
Islam yang Universal
Sejak semula, menurut Amiur Nuruddin dalam bukunya, Ijtihad Umar bin al-Khaththab: Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam (1991), memang Islam selalu mencari bentuk-bentuk yang baru, serta segar bagi realisasi dirinya. Dan ternyata, ia senantiasa menemukan bentuknya. Bentuk-bentuk itu lahir ketika menampung kemaslahatan pada tiap perkembangan dan penambahannya. Kemaslahatan dapat diwujudkan dalam bentuk pertimbangan terhadap kondisi dan situasi sosial untuk selanjutnya menafsirkan preseden hukum yang telah mapan.
Oleh karena kemaslahatan manusia menjadi dasar setiap macam hukum, maka seperti diungkap Sobhi Mahmasanni di dalam Falsafatut Tasyrî` fil Islâm (1956), sudah menjadi kelaziman yang masuk akal apabila terjadi perubahan hukum disebabkan karena berubahnya zaman dan keaadaan, serta pengaruh dari gejala-gejala kemasyarakatan.
Menurut Ibnu al-Qayyim, seperti dikutip oleh Husain Hamid Hasan dalam Nadzriyyatul Maslahah fil Fiqhil Islâmî (1971), syariat dasar dan landasannya adalah hikmah dan terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Syariat adalah keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah secara menyeluruh. Setiap masalah yang menyimpang dari keadilan ke tirani, dari rahmat ke permusuhan, dari maslahat ke kebinasaan, dari hikmat ke kesia-siaan atau kemuspraan, bukanlah termasuk syariat, dengan interpretasi bagaimana pun juga.
Islam, menurut Harun Nasution dalam Dasar Pemikiran Pembaharuan dalam Islam (1985), diyakini sebagai agama universal, tidak terbatas oleh waktu dan tempat tertentu. Alquran menyatakan bahwa lingkup keberlakuan ajaran Islam yang dibawa Rasulullah adalah untuk seluruh umat manusia, di mana pun mereka berada. Oleh sebab itu, Islam seyogyanya ditafsirkan secara lebih fleksibel agar bisa diterima oleh setiap manusia di muka bumi secara alamiah.
Islam dapat berhadapan dengan masyarakat modern, sebagaimana ia dapat berhadapan dengan masyarakat yang bersahaja dan tradisionalistis. Ketika berhadapan dengan masyarakat modern, Islam dituntut untuk dapat menghadapinya. Kesiapan Islam menghadapi tantangan zaman inilah yang selalu dipertanyakan oleh para pemikir muslim kontemporer.
Dalam hal ini, ijtihad telah terbukti menjadi alat yang ampuh untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi oleh umat Islam sejak masa awal Islam sampai pada masa keemasannya. Melalui ijtihad, masalah-masalah yang baru dan tidak terdapat di dalam Alquran dan hadis dapat dipecahkan oleh para mujtahid. Dengan ijtihad, Islam mampu berkembang dengan pesat menuju kesempurnaannya. Sebaliknya, ketika ijtihad sirna dari kalangan umat Islam, mereka mengalami kemunduran. Ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran Islam, termasuk bidang hukumnya (Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyyah, 1995).
No comments:
Post a Comment