Sunday, June 17, 2007

Sang Penyair
29-4-2007
Oleh : Bisri Effendy

Penyair ulung ini namanya Abu Thayyib, lengkapnya Abu Thayyib Ahmad ibn Husayn. Tetapi ia lebih dikenal dengan sebutan al-Mutanabby. Ia hidup di Irak antara tahun 915 hingga 965 Masehi. Syair-syairnya jernih, jenius, dan dikemukakan secara jujur. Puisi, baginya, adalah suara hati. Ia hadir karena memang hadir, bukan dihadirkan. Substansi puisi bukanlah suatu yang diadakan atau diciptakan, melainkan memang ada.

Tetapi suara hati yang jujur itu justru menimbulkan malapetaka lahiriah seperti yang secara persis dialaminya selama menjadi penyair. Karena syair-syairnya yang kritis terhadap kenabian siapa pun, dan terhadap keberagamaan yang formalistis, Abu Thayyib dituduh sebagai “orang yang mengaku nabi” (al-mutanabby). Dan karena itu, darahnya pun menjadi dihalalkan.

Ana al-Haq (harfiah: aku adalah Tuhan), sebuah ‘kesaksian’ yang pertama kali dicuatkan dari Persia oleh al-Hallaj, menghiasi beberapa bait syairnya. Ia menjadi tertuduh sebagai penganut wihdatul wujud atau manunggaling kawula-gusti, penganut ajaran sesat dan menyesatkan, dlall-mudlill.

Karena itu, ia mengalami nasib amat tragis. Meski tidak setragis al-Hallaj yang harus mengakhiri nafasnya di tiang gantungan, Abu Thayib harus menerima di-kuyo-kuyo: dipukuli, dilempari batu, dan diusir dari suatu tempat ke tempat lain.

Abu Thayib, al-Hallaj, dan bahkan Siti Jenar, tidak mengerti mengapa ekspresi dan manifestasi keber-Tuhan-annya disalahkan. Persis seperti Abu Ishaq an-Nasibi, Muhammad Ibn Zakaria ar-Razi, Dawd Ibn Ali, dan Ya’qub Ibn al-Fadl yang tidak pernah tahu mengapa dituduh zindiq, dijatuhi hukuman mati, dan seluruh karya tulisnya dibakar di zaman al-Mahdi dan al-Hadi (Daulah Abbasiyah) hanya karena pikiran kritisnya terhadap kenabian siapa pun.

Mereka juga tidak merasa terbela ketika kemudian Tarikh al-Thabari, al-Wuzara wa al- Khutab, dan al-Aghani menyimpulkan bahwa tuduhan dan penghakiman terhadap kaum zindiq pada saat itu sebenarnya bukanlah persoalan agama atau ke-zindiq-an itu sendiri, tetapi hampir murni persoalan politik. Para khalifah, demikian beberapa kitab itu menyatakan, memanfaatkan ke-zindiq-an tersebut sebagai sarana untuk membasmi musuh-musuh atau lawan-lawan politik mereka, terutama dari kalangan Hasyimi.

Soal ekspresi dan artikulasi keberagamaan, termasuk keber-Tuhan-an, memang sering menjadi sorotan tajam para ulama formalis yang suka bilang: nahkum bizhawâhir (kami menetapkan hukum dari apa yang terlihat). Mereka tidak [mau] tahu mengapa seorang Rabi’ah Adawiyah lebih memilih buta ketimbang harus mencintai seorang makhluk.

Mereka juga tidak [mau] mengerti mengapa seorang hamba seperti halnya al-Hallaj atau Abu Thayib, karena masyghul fi Allah-nya, karena kedekatannya dengan Tuhan, merasa tak menemukan jarak sedikit pun antara diri dan Tuhannya.

Ekspresi maupun artikulasi adalah perkara subjektivitas diri yang dijamin sah dari sudut apa pun. Ia merupakan pengalaman dan kesaksian seorang hamba di hadapan Penciptanya. Seberapa jauh sebuah kedekatan dicapai dan dengan simbol apa kedekatan itu diartikulasikan hanyalah seorang diri yang tahu secara persis.

Siapakah yang bisa mengukur ketakwaan seseorang, dan apa pula tolok ukurnya adalah pertanyaan-pertanyaan substansial yang tidak pernah menemukan jawaban dari ilmu-ilmu sosial-humaniora maupun agama. Setiap khatib Jumat yang selalu menganjurkannya justru menjawabnya lebih abstrak: “melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya”.

Mungkin kita percaya al-zhâhir yadullu ala al-bâthin, yang tampak menunjukkan yang tak terlihat. Tetapi, nahkum bizhawahir selalu hanya pas untuk menghakimi perkara kasat-mata, korupsi atau pencuri, misalnya, dan tak mungkin untuk perkara seperti kedekatan dengan Tuhan yang oleh Nabi sendiri ditunjukkan hahuna, di sini, di dalam dada.

Karena, al-ahkam al-zhawâhir seperti halnya fikih syariat, karena keterbatasannya, seringkali justru sarat dengan subjektivitas individu maupun kelompok yang merasa punya otoritas keagamaan. Bisa celaka ketika hukum dijatuhkan atas dasar subjektivitas itu.

Agama bagi Abu Thayib—seperti umumnya penyair memandang—adalah kesaksian dan pengalaman. Dan bunyi kalimat syahadah adalah asyhadu, bukanlah nasyhadu, sebuah kesaksian dan klaim individu, bukan kolektif.

Itulah sebabnya, tak sedikit penyair Arab yang kritis terhadap klaim kolektivitas dalam soal agama. Mereka yakin justru klaim seperti itulah yang menyebabkan agama menjadi tak berbeda dari lembaga politik, atau bahkan lembaga politik itu sendiri, yang hanya berfungsi sebagai pengontrol apa pun yang dianggap menyimpang.

Persis seperti penyair Arab, sejumlah penyair kita juga mempunyai kesaksian dan pengalaman religiusitas yang sama. Tuhan bagi mereka memang tempat bersimpuh yang paling teduh, tempat gelora rindu berlabuh, dan teman bercanda yang tak pernah dendam, tetapi juga sasaran kegalauan, umpatan, dan kritik. “cinta-Mu pada Muhammad adalah cinta tanpa proses, cinta kampungan, dan absurd” (Ainun Najib, Haihata).

Bahkan, Tuhan bisa bagaikan gadis pecemburu yang merepotkan sekaligus harimau buas yang menerkam (Amir Hamzah, Padamu Jua), atau kekuasan-Nya bagaikan kobaran api yang tak terpadamkan (Chairil Anwar, Doa).

Akankah kita marah dan menghakiminya sebagai musyrik, karena Tuhan dan kekuasaan-Nya tak mungkin disamakan dengan ‘yang lain’? Bagaimana jika ternyata puisi-puisi kritis itu justru wujud dari sebuah ‘keakraban’ teologis atau manifestasi religiusitas yang terdalam—seperti hasil telaah Romo Mangunwijaya dalam Religiusitas dalam Sastra?

Bukankah para penyair pula yang konsisten menyikapi bahwa dalam setiap makhluk dan kejadian terdapat dimensi Ilahiah, selaras inna fi khalqis-samawât wal-ardli wakh-tilâfil layli wan-nahâri la ayatin li ulil albab, sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang bernalar?

Sayangnya, kita telanjur terampil memandang ‘yang lain’ dari sudut kebenaran kita, bukan dari kebenaran ‘yang lain’ itu sendiri. Kita juga terlalu fasih bertanya tentang ‘kebenaran’ dan sama sekali tak tahu betapa pentingnya bertanya bagaimana dan mengapa sesuatu ber[di]proses menjadi kebenaran. Sayangnya pula, kita telanjur ‘sadar’ bahwa klaim kolektivitas dalam kesaksian dan pengalaman beragama menguntungkan karena otoritas absolut yang dilahirkannya. []

Sumber: Majalah Syir’ah edisi 44/Juli 2005


No comments: