Alquran, tidak ragu lagi, merupakan sumber utama dan pertama Islam, yang tidak pernah kering. Ia juga menjadi sumber intelektual dan refleksi spiritual sepanjang sejarah. Karena itu, berbagai tafsir Alquran --apakah lengkap 30 juz atau sebagian juz, surat atau bahkan kumpulan ayat-ayat dalam bidang tertentu-- terus bermunculan, ditulis kalangan tertentu ulama dan intelektual Muslim.
Kenyataan bahwa tafsir-tafsir Alquran terus tetap ditulis sampai sekarang ini, dan pasti juga di masa-masa berikutnya, merupakan indikasi adanya hasrat yang kuat dari para penulis tafsir untuk menjelaskan makna dan tafsir Alquran dalam bahasa dan konteks yang bisa dimengerti masyarakat mereka. Jika itu berhasil, maka ajaran-ajaran dan pesan-pesan Alquran dapat tetap relevan, hidup dan aktual dalam masa modern. Dalam istilah Ahmad Syafii Maarif, agar Alquran tetap membumi dalam berbagai aspek kehidupan.
Tetapi, jelas masa modern menghadirkan banyak tantangan yang sangat kompleks, yang dalam hal-hal tertentu sangat berbeda dengan tantangan yang dihadapi para penafsir (mufassir) di masa silam, apalagi di masa-masa klasik dan abad pertengahan yang juga menghasilkan banyak tafsir Alquran. Berbagai tantangan pada setiap masa, latar belakang keilmuan dan kecenderungan intelektual keagamaan setiap mereka yang mencoba memahami dan menafsirkan Alquran pada gilirannya menghasilkan perbedaan-perbedaan tertentu dalam penafsiran, khususnya pada ayat-ayat yang bisa mengandung arti lebih dari satu; inilah ayat-ayat yang biasa disebut sebagai ayat-ayat mutasyabihat, ghayr muhkamat, atau zhanny al-dilalah.
Dalam masa modern, salah satu kecenderungan penafsiran Alquran adalah keterkaitannya dengan gagasan tentang pembaharuan pandangan dunia, wacana, dan praktik kaum Muslimin, agar mereka mampu menghadapi dan meresponi tantangan dunia modern dan modernitas. Pembaharuan itu dalam terminologi umum biasa dikenal sebagai tajdid (pembaruan) dan islah (reformasi). Dan pembaharuan seperti itu pada dasarnya mempunyai dimensi ganda; pertama sebagai upaya untuk mengungkapkan kembali dimensi otentik wahyu dalam rangka menghadapi tantangan sejarah; dan kedua, untuk membawa atau sedikitnya membimbing realitas historis yang ada dan berkembang agar sesuai dengan ukuran-ukuran universal dan transenden yang terkandung dalam Alquran.
Meski tajdid dan islah bertitik tolak dari kerangka yang absah seperti itu, kemunculannya tetap menimbulkan perdebatan di kalangan kaum Muslimin. Paradigma, wacana, dan praksis tajdid dan islah baik langsung maupun tidak berarti mempertanyakan, menantang dan bahkan menolak status quo pemikiran dan praktik Islam tertentu. Dan, perdebatan dan kontroversi yang bukan tidak sering berujung pada konflik masih saja terus berlangsung di kalangan kaum Muslimin.
Wacana tajdid dan islah itu di kalangan ulama, intelektual, dan pemikir Muslim modern jelas juga tidak monolitik; terdapat banyak perbedaan di antara mereka, termasuk juga dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat tertentu dalam Alquran. Dan boleh jadi, satu pemahaman dan penafsiran tertentu dipandang sebagian Muslim sebagai sudah menyimpang.
Dalam konteks kajian ilmiah dan akademis, perbedaan-perbedaan tersebut menarik untuk disimak. Membaca buku Modern Muslim Intellectuals and the Qur'an (ed. Suha Taji-Farouki, Oxford: Oxford University Press, 2006), saya dapat melihat bagaimana kalangan intelektual Muslim di berbagai penjuru Dunia Islam memahami dan menafsirkan aspek-aspek tertentu Alquran.
Mereka ini memang pada dasarnya bukanlah mufassir; tetapi lebih sebagai intelektual yang menawarkan pemahaman dan penafsiran tertentu atas pandangan dunia kaum Muslimin terhadap Alquran, atau pendekatan tertentu untuk memahami Alquran dalam konteks tantangan dunia modern.
Maka, misalnya menarik membaca pembahasan tentang tawaran Fazlur Rahman tentang kerangka bagi pemahaman kandungan etika-legal Alquran; atau Nurcholish Madjid tentang pemahaman Alquran dalam konteks keragaman keagamaan dan toleransi. Lalu, juga ada diskusi tentang pemikiran beberapa intelektual Muslim lain tentang Alquran, sejak dari Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohamad Mojtahed Shabestari, Mohamed Talbi, sampai Mohammad Shahrour dan Sadiq Nayhum. Sebagian pemikir ini bagi kalangan Muslim dipandang kontroversial, dan juga ada nama-nama yang belum dikenal di Indonesia.
Sebagian mereka selain secara intelektual berakar pada tradisi pemikiran Islam, jelas juga dipengaruhi berbagai wacana pemikiran lain, khususnya Barat. Tetapi, seperti dikemukakan Taji-Faruki dalam pengantarnya, mereka berangkat secara sadar dari tradisi kultural dan tekstual Islam; dan berdaya upaya untuk berpegang pada kerangka kerja Islam. Namun, mereka sangat boleh jadi menimbulkan kontroversi ketika banyak memberikan tekanan pada pendekatan interpretatif terhadap Alquran.
No comments:
Post a Comment