Jakarta, Kompas - Islam sesungguhnya lebih memperjuangkan nilai keadilan yang menjadi substansi dalam bermasyarakat ketimbang simbol. Itu sebabnya, Islam amat menekankan prinsip keadilan dalam bernegara. Bahkan, dalam Islam dinyatakan negara yang zalim, meski dipimpin orang yang mengaku Islam, tetap akan hancur.
Demikian dikatakan Dekan Fakultas Syariah Universitas Islam Nasional Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Malik Madani dalam peluncuran buku berjudul Demi Ayat Tuhan karya Andi Muawiyah Ramly, Sabtu (16/6) di Jakarta. "Munculnya tuntutan terhadap syariat Islam sesungguhnya hanya menjadi sebagian dari hukum pidana Islam," ujarnya.
Andi Muawiyah menambahkan, relasi Islam dan negara di Indonesia menjadi perdebatan sejak lama. Secara umum, selalu dibagi dalam tiga kategori, yaitu relasi yang tidak memisahkan antara Islam dan negara, negara bisa campur tangan saat ada masalah keagamaan yang harus ditangani, dan yang bisa memisahkan keduanya.
"Saya menemukan ada kesamaan cita-cita dalam penegakan syariat Islam meski cara yang digunakan sangat beragam," ujar Andi, yang menjabat Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa.
Sekretaris Jenderal Komite Persiapan Penerapan Syariat Islam (KPPSI) Aswar Hassan menuturkan, cita-cita penerapan syariat Islam dari KPPSI tidak sama modelnya dengan penegakan syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam atau yang diminta organisasi lain. Sebab, bagi KPPSI, kedudukan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah komitmen final. (MAM)
No comments:
Post a Comment