Tuesday, June 26, 2007

Haji, Antara Ibadah dan Bisnis
Oleh H. USEP ROMLI


KASUS kelaparan 189.000 jemaah haji Indonesia di Arafah dan Mina (28 Desember 2006 - 2 Januari 2007), cukup menggemparkan. Ya... menimbulkan penderitaan bagi jemaah haji yang mengalaminya. Selain itu, juga mencoreng muka Indonesia di mata dunia internasional.

Buruk sangka mau tak mau merebak. Kasus memprihatinkan dan menyebalkan itu, tak mustahil merupakan dampak langsung korupsi. Sudah begitu parahkah penyakit KKN di negara berpenduduk umat Islam terbesar di dunia itu, sehingga ibadah haji yang khusyuk dan sakral pun, menjadi ladang pencarian keuntungan berbagai pihak?

Penyelenggaraan haji memang sangat menggiurkan ditinjau dari segi materiil. Hitung saja, jumlah uang yang ada di situ. Jika Biaya Perjalanan Haji (BPH) rata-rata Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta) per jemaah, maka dari 189.000 jemaah, akan terkumpul dana sebesar Rp 4.725.000.000.000,00 (empat triliun tujuh ratus dua puluh lima miliar rupiah). Jika dengan berbagai cara, dapat ”digerayangi” sekira 2% saja, maka dapat diraih uang sebesar Rp 94.500.000.000,00 (sembilan puluh empat miliar lima ratus juta rupiah). Uang itu tentunya cukup untuk bancakan orang-orang yang memanfaatkan momentum haji sebagai ajang memperkaya diri.

Jangan heran, jika jauh-jauh sebelum pelaksanaan ibadah haji, sudah muncul kasus percaloan pemondokan yang melibatkan seorang anggota DPR RI, yang kemudian di-recall akibat perbuatannya itu. Kemudian muncul pula kasus ”kontrak baru” penyediaan katering Arafah-Mina (Armina) yang mengorbankan jasmani dan rohani para jemaah. Jika bukan karena tergiur keuntungan, tragedi memilukan tersebut tak akan terjadi.

**

Dugaan pencarian keuntungan yang justru merugikan jemaah haji, dapat ditelusuri dari adanya tindakan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji Indonesia (PPIHI) di Saudi Arabia. PPIHI menunjuk perusahaan katering Ana for Development and Est), sebagai perusahaan pemasok makanan jemaah haji selama di Arafah tanggal 8 Dzulhijjah (tarwiyah) dan 9 Dzulhijjah (wukuf), serta 10 - 12 atau 13 Dzulhijjah di Mina (mabit jumroh). Selama ini, penyediaan konsumsi jemaah di Arafah dan Mina (Armina) berada di bawah kendali maktab yang dikoordinasikan Muasasah Asia Tenggara.

Konon perusahaan katering ANA menawarkan harga 250 SR (saudi riyal) per jemaah untuk 15 kali makan di Armina. Harga itu lebih murah 50 SR (Rp 125.000,00) daripada yang telah dan selalu ditetapkan maktab/muasasah sebesar 300 SR.

Tapi tidak diketahui jelas, apakah dalam pengalihan penanganan konsumsi itu, PPIHI atau Ana sudah melakukan pendekatan kepada pihak maktab/muasasah? Atau ”jalan sendiri” seolah-olah ”jagoan” merebut lahan rezeki orang? Padahal, maktab/muasasah telah malang melintang dalam segala pengurusan jemaah haji, mulai dari transportasi, akomodasi, hingga konsumsi. Minimal sejak perubahan sistem dari syekh (perorangan) ke muasasah (lembaga koordinasi) diberlakukan tahun 1988. Dari tiga sektor pengurusan itulah, maktab/muasasah mendapat keuntungan tambahan berlipat ganda. Dan satu sektor inilah konsumsi--kiranya--yang ingin ”direbut” PPIHI melalui Ana.

Sayang, ”pertarungan” yang seharusnya hanya melibatkan PPIHI, Ana, dan maktab/muasasah, berakibat langsung kepada jemaah. Tragis dan ironis. Jemaah harus menderita lapar dan dahaga selama lima hari, hanya karena PPIHI, Ana, dan maktab/muasasah berebut uang 50 SR per jemaah, atau 9.450.000 SR untuk seluruh jemaah haji Indonesia (189.000 orang). Jika 1 SR Rp 2.500,00 berarti Rp 23,63 miliar. Itu di luar bancakan 2% tadi.

Dalam konteks ini, ada hal yang menarik untuk dipertanyakan yaitu mengapa kontrak baru konsumsi Armina antara PPIHI dengan Ana seolah-olah mengabaikan peran maktab/muasasah? Seolah-olah mem-bypass begitu saja? Seolah-olah maktab/muasasah akan tunduk patuh kepada PPIHI?

Padahal--sekali lagi--sudah diketahui jelas, betapa besar dan sentral peran maktab/muasasah dalam pengurusan jemaah haji Indonesia. Pemerintah Saudi Arabia--dalam hal ini Raja Abdullah-- yang bergelar Khadimul Haramain (Pelayan Dua Tanah Suci) hanya menyediakan fasilitas-fasilitas bersifat umum-umum saja. Tentang kewajiban-kewajiban khusus memuliakan tamu Allah diserahkan sepenuhnya kepada muasasah yang membawahi maktab-maktab.

Karena kepercayaan Raja Abdullah kepada muasasah tersebut, wajar saja jika muasasah merasa punya hak monopoli di segala bidang pengurusan haji, termasuk urusan perut jemaah selama di Armina. Mereka menguasai tenda dan lahan untuk mendirikannya, kelengkapan sarana dapur, alat-alat masak, dan tenaga juru masak andal yang sudah menjadi karyawan tetap maktab. Katakanlah jaringan ”mafia” yang sulit ditembus. Apalagi dalam waktu singkat dan terburu-buru semacam kontrak dadakan PPIHI dan Ana yang menelan korban para jemaah. Mereka kelaparan di Armina.

**

Selama muasasah/maktab menjadi ”penguasa” Armina, tidak mungkin pihak lain--termasuk Ana--mampu mengelola katering Armina. Sebab dapur dan segala peralatan masak-memasak di sana, ada di tangan maktab. Jika pun Ana memasak di luar Armina, distribusi makanan ke jemaah akan sulit masuk. Bukan karena diblokade aparat keamanan yang diisukan menjadi backing muasasah/maktab, melainkan akibat kemacetan luar biasa arus lalu lintas ke Armina selama wukuf dan mabit. Jarak sejauh 6 - 10 km memakan waktu tempuh 5 hingga 10 jam. Sedangkan batas kedaluwarsa makanan Armina hanya 2-3 jam.

Padahal, harga 300 SR untuk 15 kali makan tiap jemaah di Armina, sudah masuk komponen BPH. Sudah dihitung jauh sebelum kontrak PPIHI dengan Ana berlangsung. Bahkan sudah disahkan oleh DPR RI. Artinya, inisiatif penghematan 50 SR muncul belakangan. Dan penghematan tersebut untuk siapa?

Tim Investigasi Haji bentukan pemerintah, apakah akan berhasil menemukan pihak yang bersalah dan menuntutnya ke jalur hukum? Atau seperti yang sudah-sudah, cukup mengemukakan fakta-fakta untuk sekadar wacana, tanpa sanksi apa-apa? Artinya, derita 189.000 jemaah akan dianggap sebagai ”tumbal” belaka? Jika benar begitu, kita perlu ber-istighfar ribuan kali. Dosa apa lagi yang akan dibuat para elite negara dan bangsa ini terhadap rakyatnya terutama jemaah yang sedang beribadah kepada Allah SWT?

Bencana apalagi yang dibutuhkan untuk mengingatkan para elite negara dan bangsa ini dalam memperbaiki diri? Tidak cukupkah kiriman isyarat melalui aneka macam peristiwa memilukan di laut, udara, dan darat selama ini? Masya Allah. Tabarakallahu.***

Penulis, wartawan senior, pembimbing haji tahun 2007.

No comments: