Wednesday, June 20, 2007

Perlu Ditanamkan Etos Kerja Melalui Pendidikan Agama
Oleh : FATHURI SR/SYIRAH

Pertengahan Mei kemarin Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan data mengenai pengangguran. Dalam data itu disebutkan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2007 masih mencapai 9,75% dari angkatan kerja atau 10,55 juta jiwa.

Berdasarkan data BPS, pada Februari 2007, jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 108,13 juta orang atau bertambah 1,74 juta orang dibanding situasi pada Agustus 2006.Tingkat pengangguran terbuka pada Februari mencapai 9,75% ini berarti turun dibanding Agustus 2006 yang mencapai 10,28%, atau turun 556 ribu orang dibanding Februari 2006 yang mencapai 11,10 juta orang (10,40%).

Tenaga kerja terbesar berasal dari sektor pertanian dan perdagangan. Untuk sektor yang pertama masih terlalu riskan karena pertanian membutuhkan banyak tenaga kerja pada musim-musim tertentu, yakni terutama pada musim panen. Sedangkan ketika paceklik, maka pengangguran akan membengkak.

Sedangkan dari semua sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi adalah pada sektor perdagangan, industri, dan jasa kemasyarakatan.

Sementara dari sisi gender, jumlah tenaga kerja perempuan bertambah 2,12 juta orang, dan untuk laki-laki hanya hanya bertambah 287 ribu orang.

Oleh beberapa pihak data ini sedikit diragukan, khususnya dalam pengurangan jumlah pengangguran yang cukup signifikan 1,74 juta orang. Meski demikian dari data ini dapat disimpulkan bahwa pengangguran di Indonesia masih sangat tinggi, hampir 10 % dari seluruh angkatan kerja yang ada. Apalagi bila dihubungkan dengan data kemiskinan yang juga dilansir BPS terakhir, yaitu September tahun kemarin.

BPS mencatat jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) per Maret 2006 mencapai 39,05 juta orang (atau 17,75 persen dari total penduduk 222 juta jiwa). Dengan kata lain, penduduk miskin Indonesia naik 3,95 juta orang dari Februari 2005 yang hanya 35,10 juta orang (15,97 persen).

Bahkan menurut data Tim Indonesia Bangkit (TIB) kemiskinan di Indonesia malah mencapai 45,9 juta orang atau 20,6 persen dari seluruh penduduk Indonesia.

Dengan naiknya BBM dan berbagai bahan sembako, terakhir minyak goreng, dikhawatirkan angka kemiskinan bisa jadi meranggas naik.

Tentu saja ini menjadi PR bersama. Pemerintah dalam Rencana Kerja Pemerintah 2008 mengambil fokus dengan “Percepatan Pertumbuhan Ekonomi untuk Mengurangi Kemiskinan dan Pengangguran”. Dalam beberapa tayangan di televisi, seminar, dan diskusi juga cukup ramai membincangkan bagaimana menjadi seorang enterpreneur, wiraswasta, agar tercipta kemandirian di masyarakat.

Ini sebuah gerakan yang menarik dan perlu didukung, dengan catatan tidak hanya ramai di awal saja, namun implementasinya nol belaka. Hingar bingar dalam pernyataan, namun minim dalam pelaksanaan. NATO, No Action Talk Only. Bukankah ini penyakit bangsa kita yang sudah lama?

Selain itu, selama ini dirasakan peran agama dalam mengurangi kemiskinan sangat kurang. Paling tidak ada dua komponen penting yang dapat diperankan agama dalam membantu mengatasi soal pengangguran yang berujung pada membasmi kemiskinan. Pertama, bantuan dana, dan yang kedua, dorongan pada etos kerja.

Untuk persoalan dana, Islam mengajarkan umat Islam yang mempu untuk berzakat, juga dianjurkan untuk memberi infaq dan sadaqah. Di Indonesia potensi ini sangat besar. Berdasarkan survey tim Pusat Bahasa dan Budaya Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta, angkanya mencapai 19,3 triliun pertahun (Syirah, 09/05/07).

Karena itu telah banyak dibentuk badan-badan pengelola zakat, indaq, dan sadaqah. Misalnya yang telah dilakukan oleh Badan Amil Zakat dan Infak/Shadaqah (BAZIS) Provinsi DKI Jakarta pada 2005 lalu mereka sudah membina sekitar 4.500 pedagang dan 25 BMT (Baitul Maal Wat Tamwil) di 80 pasar tradisional. Bisa dipastikan bahwa saat ini pedagang binaan sudah bertambah.

Namun, sayangnya data-data sejauhmana peran lembaga-lembaga ini lebih detail tidak banyak diungkap. Apakah pemberdayaan yang selama ini mereka lakukan efektif untuk memperbaiki nasib orang miskin atau mustadh’afin yang menjadi salah satu hak mereka?

Selain peran lembaga-lembaga ini dibutuhkan juga pembekalan mental yang cukup bagi umat untuk lebih gigih dalam menciptakan lapangan kerja dan peluang ekonomi sendiri, sehingga tidak selalu tergantung pada lowongan kerja yang ada. Di sinilah perlunya peran pendidikan agama dalam menyampaikan pesan-pesannya kepada umat.

Selama ini pesan-pesan agama soal kemandirian, etos kerja, dan peningkatan ekonomi sedikit diabaikan karena lebih fokus pada soal-soal ibadah belaka. Kalaulah pendidikan agama bicara soal zakat dan haji itu terbatas pada kewajibannya saja tanpa menjelaskan cara memperoleh kesempatan melaksanakan kewajiban itu yang dibutuhkan modal besar.

Lebih jauh dari itu, bukan hanya ibadah yang menjadi tiang keimanan seseorang, namun persoalan ekonomi juga menjadi satu tiang yang sangat penting dalam memupuk iman. Bukankah Nabi saw pernah menyatakan, “Kefakiran lebih dekat pada kekufuran”.

Ini artinya menjadi orang miskin diupayakan agar dihindari seorang muslim. Menjadi muslim dituntut agar cukup secara ekonomi, karena dengan demikian ia bisa sempurna mengerjakan kewajiban agama seperti zakat dan haji.

Untuk itu etos kerja dan semangat untuk berdikari harus ditanamkan kepada umat Islam sejak dini. Anak kecil seyogyanya tidak hanya diajarkan akan kewajiban shalat, namun kewajiban untuk mandiri.

“Tidaklah makanan terbaik yang dimakan seseorang adalah makanan yang diperoleh dari usahanya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Daud hanya makan dari usahanya sendiri,” demikian sabda Nabi. []


No comments: