Meluruskan Makna Jihad
- Oleh Jamal Ma'mur Asmani
- Suara Merdeka
Melawan hegemoni Barat dengan kekerasan adalah tindakan gegabah, ceroboh, dan sangat tidak efektif. Kekuatan ekonomi, militer, teknologi, politik dan media masa negara maju sulit untuk ditandingi, sehingga kalau jalan kekerasan yang dipilih sulit bertahan lama.
PENANGKAPAN para teroris dan penyitaan sejumlah buku, CD, dan dokumen Jihad di Karanganyar (SM, 12/6/07) menarik untuk ditanggapi. Para polisi menduga bahwa buku-buku jihad yang dibaca turut menumbuhkan semangat teorisme. Oleh sebab itu, buku itu harus diteliti isinya, apakah menganjurkan pembacanya melakukan gerakan terorisme atau tidak.
Jihad identik dengan teroris adalah akibat kebebasan interpretasi yang disalahartikan dengan hanya mengandalkan kebebasan absolut. Sedangkan tidak ada kebebasan absolut, karena kebebasan seseorang selalu dibatasi oleh orang lain.
Perilaku dan sepak terjang Dr. Azahari yang sudah meninggal, Nurdin M. Top, Amrozy, Ali Imron, Abu Dujana dsb atas nama jihad mengindikasikan dengan jelas tesis ini. Atas nama jihad dan amar ma'ruf nahi munkar, mereka merusak, bahkan membunuh orang-orang yang tidak berdosa.
Kemunculan kelompok Islam ekstremis, fundamentalis, radikalis dan teroris ini tidak lepas dari imperialisme dan kolonialisme kultural, sosial, ekonomi, dan politik AS dan mitranya dalam menghegemoni dan mengkooptasi negara-negara dunia ketiga yang mayoritas dihuni umat Islam.
Keadilan, kesetaraan, HAM, demokrasi, dan humanisme sekuler bukan tujuan utama mereka. Simbol besar itu hanyalah instrumen politis untuk memuluskan agenda mereka menghancurkan soliditas, kohesivitas, solidaritas dan kolektivitas internal umat Islam. Perilaku mereka sendiri sangat jauh dari ide besarnya.
Di sinilah letak kelemahan negara-negara dunia ketiga yang menerima ide Barat tanpa mengkritisi dan menganalisis secara mendalam terlebih dahulu. Saat ini sangat sulit bagi negara terbelakang keluar dari hegemoni negara super power.
Akibatnya, keterpurukan, kehancuran, dan konflik internal menjadi realitas yang tidak kunjung usai. Inilah alasan kelompok garis keras yang frustasi melihat kondisi Islam dihancurkan sehingga mereka memakai jalan pintas, melawan dengan kekerasan.
Ada juga salah satu pakar yang mengatakan, kelompok garis keras sebenarnya diciptakan oleh negara super power untuk menganggu stabilitas, soliditas dan kolektivitas internal Islam.
Lepas dari perdebatan di atas, melawan hegemoni Barat dengan kekerasan adalah tindakan gegabah, ceroboh, dan sangat tidak efektif. Kekuatan ekonomi, militer, teknologi, politik dan media masa negara maju sulit untuk ditandingi, sehingga kalau jalan kekerasan yang dipilih sulit bertahan lama.
Kekuatan sebesar apa pun pasti akan dihancurkan dengan kekuatan adidayanya. Di sinilah diperlukan kecerdasan dan kepiawaian mengatur, mengembangkan, mengubah dan mengevaluasi strategi. Gus Dur pernah menyatakan, salah satu kelemahan umat Islam adalah tidak menganggap strategi sebagai masalah penting. Kalaupun dianggap penting, strategi itu sekali diambil tidak pernah diperiksa kembali oleh pelaksananya. Dengan kata lain, sikap antistrategi sebenarnya telah menghantui perjalanan umat Islam (1998).
Aplikasi Jihad
Jihad dalam kitab fikih diartikan sebagai berjuang di jalan Allah baik dengan berperang, menyampaikan argumen-argumen agama yang benar untuk meluruskan pemikiran dan aliran yang sesat, melindungi nyawa orang-orang yang wajib dijaga seperti umat Islam, kafir dzimmi (non muslim yang bisa hidup ko-eksistensi dengan umat Islam), musta'man, dsb, memerintahkan kebenaran (amar ma'ruf), dll. (Ianatut Tholibin, 4/180-184).
Dari definisi ini dapat diambil kesimpulan, peperangan dalam arti mengangkat senjata diperbolehkan kalau sedang menghadapi kafir harbi, non mulsim yang tidak menyukai eksistensi umat Islam dan hendak menjajah umat Islam. Misalnya Israel yang selalu ingin memborbardil Palestina, AS yang menghancurkan Irak, dll.
Kalau umat Islam menghadapi kasus seperti Palestina, maha hukumnya fardlu kifayah (kewajiban kolektif) bagi semua umat Islam untuk mengangkat senjata menegakkan panji kebesaran umat Islam. Karena kalau tidak dilawan, umat Islam akan selalu ditindas dan dihancurkan secara tidak berkeperimanusiaan.
Dalam konteks inilah kita memaknai ayat seperti kutiba alaikum alqitalu wahuwa kurhun lakum, diwajibkan padamu berperang walaupun itu dibenci padamu, waqotiluhum hatta la takuna fitnah, dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah, bahkan ada ayat yang sangat indah yang menunjukkan bahwa umat Islam diperbolehkan berperang karena orang-orang kafir yang terlebih dulu memulai menganiaya umat muslim, yaitu diizini (diperbolehkan) bagi orang-orang yang diperangi (untuk berperang), sebab mereka (umat Islam) dianiaya, dan sesungguhnya Allah pasti maha kuasa untuk menolong mereka (umat Islam) (I'anah, ibid, hal. 180).
Walaupun Islam memperbolehkan umatnya mengangkat senjata mempertahankan harga diri dan eksistensi, namun cara damai lebih disukai. Itulah yang dipraktikkan Nabi Muhammad SAW waktu menguasai Makkah dalam momen fathu Makkah.
Walau tentara Islam menang total dalam momen tersebut, namun Nabi tidak memperbolehkan satu pun ada darah yang menetes dari orang-orang kafir Makkah yang sebelumnya selalu mengacau umat Islam. Kalau Nabi memerintahkan pasukannya membunuh habis tentu bisa, namun yang berbicara bukan lagi ajaran Islam yang agung dan toleran, tapi hawa nafsu, kebiadaban dan kebengisan yang sangat dibenci Islam.
Agar ajaran jihad ini tidak disalahartikan umat Islam secara anarkis sesuai selera hawa nafsu atau demi kepentingan kelompok tertentu, Islam memberikan mekanisme yang harus ditatati seluruh umat Islam. Mekanisme itu adalah dalam melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, seluruh umat Islam harus melalui tingkatan yang jumlahnya ada empat, yakni memberitahu, menasihati dengan halus, mencela, dan melarang dengan paksa.
Untuk memberitahu dan menasihati, semua umat Islam berhak melakukannya, namun mencela, memusuhi, dan melarang dengan paksa adalah tugas khusus pemerintah, tidak diperkenankan seluruh umat Islam melakukannya (Bughyatul mustarsyidin, 251).
Mekanisme inilah yang dipakai Islam untuk menghindari aksi anarkis, teroris, radikalis, dan ekstremis, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Cara dan tujuan dalam Islam harus selaras, sehingga membuahkan hasil yang diinginkan.
Jihad Kontemporer
Model jihad sekarang harus meniru model dakwah Nabi Muhammad yang lebih menekankan strategi jangka panjang, daripada jangka pendek yang habis ditelan masa. Dalam dakwahnya Nabi selalu menekankan lima aspek, mempermudah, berdakwah secara bertahap, meringankan, mencegah bahaya, dan berjalan untuk mencapai kemaslahatan manusia dunia-akhirat (lihat tarikh tasyri', Abdul Wahab Khollaf yang menyebut lima ini dengan mabadiĆ ammah).
Globalisasi memang penuh ironi dan ambigu, katanya Barat ingin membantu memberdayakan negara terbelakang, dalam praktiknya, justru bentuk hegemoni, kooptasi, dan eksploitasi yang menonjol.
IMF, Word Bank, dan sejenisnya hanyalah instrumen untuk melakukan neokolonialisasi yang akhirnya menghancurkan sendi-sendi ekonomi, budaya, politis, dan sosial umat dan bangsa ini. Inilah faktor munculnya potensi teroris dalam Islam.
Pekik jihad harus dikumandangkan, namun dengan cara dan mekanisme yang lebih efektif, visioner, proyektif dan aplikatif. Jihad tersebut bisa dalam bentuk mengembangkan dunia pendidikan, menggerakkan etos baca anak didik sehingga mereka melek ilmu pengetahuan dan teknologi dari seluruh belahan dunia, dinamisasi produksi teknologi sebagai ciri abad kontemporer, memberdayakan ekonomi rakyat secara memadai, mengurangi jumlah penganguran, menciptakan lapangan kerja, merekatkan solidaritas internal, memperkecil potensi konflik, intrik dan konfrontasi, memberikan skill politis agar tidak mudah dijebak, dipolitisasi, dan dimanfaatkan pihak non-muslim yang tidak ingin Islam jaya di dunia ini, dan menciptakan karya ilmiah yang berbobot, baik dalam bentuk buku, majalah, artikel, dll. agar dikonsumsi umat Islam untuk mencerahkan dan dinamisasi paradigma dan aksi. Inilah model jihad kontemporer sekarang ini.
Merapatkan barisan, konsolidasi internal, dan menata langkah secara bertahap.
Ketidakadilan global tidak mungkin dilawan dengan kekerasan, karena tidak imbang. Semuanya harus dengan strategi jitu dengan target jangka panjang yang konkret. Paradigma berpikir umat Islam seperti kaum teroris-radikalis yang instan, ingin cepat hasil, tidak melihat efek sosial-politisnya, harus diubah menjadi paradigma visioner, proyektif, berjangka panjang, dan selalu menekankan inovasi.
Inipun harus dilakukan secara diam-diam, seperti bergerak dalam bayangan, karena kalau dilakukan secara terang-terangan, pasti ada kekuatan global yang akan menghancurkannya.
Akhirnya, kepada kelompok teroris-ekstremis, jangan teruskan aksimu yang hanya akan menyulitkan langkah dan gerakmu serta membahayakan nyawa.
Berpikirlah kembali, kalau tujuanmu adalah jihad menegakkan agama Allah, ikutilah cara Nabi Muhammad yang bergerak dengan kehalusan budi dan kecerdasan strategi, yang akhirnya membuahkan hasil di luar dugaan manusia waktu itu (11).
No comments:
Post a Comment