Sunday, June 17, 2007

Turunnya Toleransi Umat Islam
20-5-2007

Oleh : FATHURI SR

Selasa, 15 Mei kemarin, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mempublikasikan hasil penelitiannya mengenai Islam dan Kebangsaan di Hotel Sari Pan Pasifik Jakarta. Isinya sangat menarik: masyarakat lebih percaya pada lembaga agama dan ulama dibanding presiden. Lebih jauh lagi, saat responden ditanya soal faktor terpenting yang menjadi dasar perumusan identitas diri, mereka menjawab, pertama adalah agama, dan kedua juga agama.

Dalam hasil penelitian yang diberikan PPIM disebutkan jarak antara agama sebagai dasar perumusan identitas diri pertama mencapai 41.3 % jauh melampaui kebangsaan yang hanya 24.6 %. Agama juga menjadi dasar perumusan diri kedua di atas etnis, yaitu agama 29.3 %, sedangkan etnis 17.6 %.

Hasil dari penelitian ini semakin mengukuhkan penelitian sebelumnya yang dilakukan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) beberapa waktu lalu yang menyimpulkan bahwa masyarakat lebih percaya lembaga agama dibanding Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Fakta yang diungkapkan penelitian ini memang tak bisa dipungkiri. Agama sejak lama sudah lekat dengan kehidupan masyarakat. Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan yang Mahaesa.

Perjuangan-perjuangan dalam meraih kemerdekaan tidak lepas dari peran agama yang membawa ruh antipenindasan. Namun demikian, kita tidak bisa juga menutup mata bahwa pertengkaran yang pertamakali terjadi saat Indonesia baru saja mengecap kemerdekaan adalah soal agama. Saat butir-butir Piagam Jakarta yang hendak dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar ditolak karena dianggap mengistimewakan salah satu agama.

Dalam lembar lain hasil penelitian PPIM setebal 20 halaman itu ada beberapa poin yang cukup menarik jika dilihat dalam bingkai keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia. Pada halaman 13 disebutkan 62.4 % responden menjawab tidak ketika ditanya, “Bolehkah non-muslim menjadi presiden?”.

Jawaban sebaliknya didapatkan saat pertanyaan, “Bolehkah non-muslim menjadi guru di sekolah umum?” 64.0 % menjawab ya, hanya 33.5 % tidak, dan 2.4 % tidak menjawab.

Lalu pada pertanyaan berikutnya, “Bolehkah non-muslim mengadakan acara kebaktian di lingkungan sekitar?” lebih dari 50 persen menjawab tidak (55.3 %), di bawahnya membolehkan dengan menjawab ya 42.2 %.

Jawaban serupa didapat dalam pertanyaan soal kebolehan warga Kristiani membangun gereja. 51.6 % menolak umat Kristiani membangun gereja, terpaut sedikit di bawahnya 45.8 % memberi perkenan.

Dengan fakta-fakta ini dalam lembar penjelasan hasil survey dikatakan bahwa intoleransi umat Islam terhadap umat lain menjadi faktor terdepan bagi seseorang yang meletakkan agamanya sebagai dasar perumusan identitas, melampaui faktor-faktor lain terutama kebangsaan dan etnis.

Hal ini diperkuat dengan temuan berikutnya yang menyatakan bahwa 63 % responden menjawab “mendukung” perlunya mendahulukan kepentingan sesama umat Islam, bahkan yang tidak sebangsa. Sementara yang “tidak mendukung” hanya mendapat 31 %. Ramainya demo soal Palestina atau Irak yang berulangkali terjadi bisa dijadikan bukti empirik mengenai kesimpulan hasil survey ini.

Meski hasil penelitian ini tidak bisa dipastikan bahwa inilah wajah umat Islam Indonesia saat ini, tetapi paling tidak dapat memberi bahan bagi agamawan dan para pemegang kebijakan untuk melakukan berbagai upaya dalam rangka membuka kesadaran masyarakat agar lebih toleran. Perbedaan adalah kenyataan yang tak bisa ditampik dan harus disyukuri.

Apalagi menurut analisa sementara yang disampaikan KH Hasyim Muzadi tanggal 9 Mei lalu di kantor PBNU, bahwa konflik antara Islam dan Kristen sengaja diciptakan oleh pihak-pihak tertentu. Ini menjadi persoalan lain yang tidak kalah gawatnya dan mesti dicarikan jalan keluar.

Sebab, dengan data bahwa intoleransi umat Islam cukup kuat di lapangan bisa menjadi laksana minyak tanah yang akan sangat gampang dibakar untuk memperhebat berbagai konflik antaragama di Indonesia. Jika hal ini tidak menjadi perhatian bersama niscaya kehidupan yang rukun dan damai di Indonesia tidak akan bertahan lama. Konflik dan konflik akan terus terjadi. []


No comments: