Thursday, June 21, 2007

Membaca Kembali Ayat Poligami
Oleh : KH. Husein Muhammad


Poligami merupakan problem sosial klasik yang selalu menarik diperbincangkan sekaligus diperdebatkan di kalangan masyarakat muslim di seluruh dunia. Perdebatan pada tingkat wacana itu selalu berakhir tanpa pernah melahirkan kesepakatan. Kesimpulan dari perdebatan ini memunculkan tiga pandangan. Pertama pandangan yang membolehkan poligami secara longgar. Sebagian dari pandangan ini bahkan menganggap poligami sebagai ”sunnah”, yakni mengikuti perilaku Nabi Muhammad saw. Syarat keadilan yang secara eksplisit disebutkan Alquran cenderung diabaikan atau hanya sebatas argumen verbal belaka. Pandangan kedua membolehkan poligami secara ketat dengan menetapkan sejumlah syarat, antara lain adalah keadilan formal-distributif, yakni pemenuhan hak ekonomi dan seksual (gilir) para istri secara (relatif) sama serta keharusan mendapat izin istri dan beberapa syarat lainnya. Ketiga, pandangan yang melarang poligami secara mutlak.

Keberagaman pandangan kaum muslimin dalam isu poligami ini tentu saja menarik, karena di dalamnya memperlihatkan sebuah dinamika pemikiran yang terus berkembang. Perkembangan ini menunjukkan bahwa mereka tengah menghadapi perubahan-perubahan sosial yang terus bergerak.

Hal yang menarik dari perdebatan dan kontroversi poligami adalah bahwa masing-masing pendapat merujuk pada sumber yang sama, yakni ayat Alquran surah al Nisa [4]; 2, 3, dan 129, dan sejumlah hadis Nabi Muhammad saw. Hal itu menunjukkan bahwa teks-teks keagamaan selalu menyediakan kemungkinan bagi sejumlah tafsir (interpretasi). Teks-teks adalah huruf-huruf yang perlu disuarakan. Ibnu ’Arabi mungkin merupakan tokoh paling ”berani” ketika mengatakan; ”Fa mâ fi al kaun kalâm lâ yuta’awwal” (tidak ada satupun teks di dunia ini yang tidak bisa ditafsir).1 Karena itu ia memang harus dimaknai dan dipahami oleh akal pikiran manusia yang tidak selalu menghasilkan kesimpulan sama. Perbedaan memahami dan cara pandang orang terhadap teks juga terjadi karena perbedaan ruang dan waktu. Setiap pandangan dan pikiran manusia selalu merupakan refleksi ruang dan waktu (sejarah sosial) di mana dan kapan mereka hidup. Perbedaan pendapat juga terjadi akibat dari cara-cara yang digunakan untuk menganalisis teks, dan lain-lain. Bahkan perbedaan penafsiran juga bisa terjadi karena perbedaan kepentingan dan ideologi.

Demikianlah, dalam soal poligami masing-masing pandangan tetap merujuk pada ketentuan agama dan masing-masing kemudian mengklaim atau menganggap bahwa pandangannya dimaksudkan untuk menegakkan ajaran agama. Yang diperlukan oleh masing-masing pihak kemudian adalah sikap saling menghargai pendapat pihak lainnya. Masing-masing pihak juga tidak boleh melakukan klaim kebenaran sepihak, dengan mencap atau menuduh pihak lain sebagai kelompok sesat, anti-Islam atau melawan hukum Tuhan. Sejak Nabi Muhammad saw. wafat, kaum muslimin di seluruh dunia tidak lagi memiliki tokoh paling otoritatif yang dapat memutuskan kebenaran suatu hukum Tuhan (agama, syarî’ah) secara tunggal dan final sebagaimana Nabi saw. Karenanya, sesudah beliau wafat, tidak ada lagi orang atau pihak yang bisa memonopoli kebenaran atas nama Tuhan.

Poligami bukan Tradisi Islam saja
Poligami bukan praktik yang dilahirkan Islam. Islam tidak menginisiasi Poligami. Jauh sebelum Islam datang tradisi poligami telah menjadi salah satu bentuk praktik peradaban Arabia patriarkhis. Peradaban patriarkhi adalah peradaban yang memposisikan laki-laki sebagai aktor yang menentukan seluruh aspek kehidupan. Nasib hidup kaum perempuan dalam sistem ini didefinisikan oleh laki-laki dan untuk kepentingan mereka. Peradaban ini sesungguhnya telah lama bercokol bukan hanya di wilayah Jazirah Arabia, tetapi juga dalam banyak peradaban kuno lainnya seperti di Mesopotamia dan Mediterania bahkan di bagian dunia lainnya. Dengan kata lain perkawinan poligami sejatinya bukan khas peradaban Arabia, tetapi juga peradaban bangsa-bangsa lain.

Di dunia Arab, tempat kelahiran Islam, sebelum Nabi Muhammad saw. lahir, perempuan dipandang rendah dan entitas yang tak berarti. Alquran dalam sejumlah ayatnya menginformasikan realitas sosial ini. Umar bin Khattab pernah mengungkapkan kenyataan ini dengan mengatakan : ”Dalam dunia kelam (jahiliyah), kami tidak menganggap perempuan sebagai makhluk yang perlu diperhitungkan”. Perbudakan manusia terutama perempuan, dan poligami menjadi praktik kebudayaan yang lumrah dalam masyarakat Arabia saat itu. Ketika Nabi Islam hadir di tengah-tengah mereka, praktik-praktik ini tetap berjalan dan dipandang tidak bermasalah, sebagaimana tidak bermasalahnya tradisi ”kasur, dapur, dan sumur” bagi peran perempuan dalam masyarakat Jawa.

Meskipun Nabi Muhammad saw. mengetahui bahwa poligami yang dipraktikkan bangsa Arab ketika itu sering dan banyak merugikan kaum perempuan, tetapi bukanlah cara Islam untuk menghapuskan praktik ini dengan cara-cara revolusioner. Bahasa yang digunakan Alquran tidak pernah provokatif apalagi radikal. Transformasi Islam selalu bersifat gradual, akomodatif dan dalam waktu yang sama sangat kreatif. Alquran dan Nabi Muhammad saw. selalu berusaha memperbaiki keadaan ini secara persuasif dan mendialogkannya dengan intensif. Bukan hanya isu poligami, seluruh praktik kebudayaan yang tidak menghargai manusia selalu diupayakan Nabi saw. untuk diperbaiki secara bertahap dan terus-menerus untuk pada akhirnya tercapai sebuah kondisi yang paling ideal. Kondisi ideal adalah keadilan dan penghargaan terhadap martabat manusia. Ini adalah kehendak logis dari sistem kepercayaan Islam: Tauhid.

Jika kita membaca teks-teks Alquran secara holistik, kita melihat bahwa perhatian kitab suci terhadap eksistensi perempuan secara umum dan isu poligami dalam arti khusus, muncul dalam rangka reformasi sosial dan hukum. Alquran tidak ujug-ujug (tiba-tiba) turun untuk mengafirmasi perlunya poligami. Pernyataan Islam atas praktik poligami, dilakukan dalam rangka mengeliminasi praktik ini, selangkah demi selangkah. Dua cara dilakukan Alquran untuk merespon praktik ini; mengurangi jumlahnya dan memberikan catatan-catatan penting secara kritis, transformatif dan mengarahkannya pada penegakan keadilan. Sebagaimana diketahui dari berbagai sumber, sebelum Islam laki-laki dipandang sah saja untuk mengambil istri sebanyak yang dikehendaki, tanpa batas. Laki-laki juga dianggap wajar saja memperlakukan kaum perempuan sesuka hatinya. Logika mainstream saat itu memandang poligami dengan jumlah perempuan yang dikehendaki sebagai sesuatu yang lumrah, sesuatu yang umum, dan bukan perilaku yang salah dari sisi kemanusiaan. Bahkan untuk sebagian komunitas, poligami merupakan kebanggaan tersendiri. Previlase, kehormatan dan kewibawaan seseorang atau suatu komunitas seringkali dilihat dari seberapa banyak dia mempunyai istri, budak atau selir. Dan kaum perempuan menerima kenyataan itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berdaya melawan realitas yang sejatinya merugikan dirinya itu. Boleh jadi, karena keadaan yang lumrah dan mentradisi ini, mereka sendiri alih-alih tidak menganggapnya sebagai hal yang merugikan dirinya, malahan mungkin menguntungkan. Ketidakadilan menjadi tak terpikirkan lagi. Alquran kemudian turun untuk mengkritik dan memprotes keadaan tersebut dengan cara meminimalisasi jumlah yang tak terbatas itu sehingga menjadi dibatasi hanya empat orang saja di satu sisi, dan menuntut perlakuan yang adil terhadap para istri, pada sisi yang lain.

Informasi mengenai realitas sosio-kultural dan tindakan mereduksi praktik poligami ini terungkap dalam sejumlah hadits Nabi saw. Beberapa di antaranya hadis Ibnu Umar. Ia berkata: “Ghilan al-Saqafi ketika masuk Islam mempunyai sepuluh orang istri. Mereka semua masuk Islam bersamanya. Nabi Muhammad saw. kemudian menyarankan dia untuk hanya mengambil empat orang saja”.(H.R. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirimizi). Qais bin Haris juga mengalami hal yang sama. Dia mengatakan ; “Aku masuk Islam dan aku mempunyai delapan orang istri. Aku kemudian mendatangi dan menceritakannya kepada Nabi saw. Kemudian Nabi saw. mengatakan: “Pilih empat di antara mereka”. (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Keputusan Alquran mereduksi dan meminimalisasi jumlah istri menunjukkan dengan jelas bahwa Alquran enggan untuk membolehkan poligami kecuali dengan syarat berkeadilan.

Membaca Ayat Poligami
Ayat Alquran yang membicarakan soal dan menjadi dasar keabsahan poligami sampai empat orang tersebut terdapat pada surah al Nisa: 2-3 yang secara lengkap berbunyi (menurut terjemahan Departemen Agama) :

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.(2). Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat bagi kamu untuk tidak berbuat aniaya”(3).

Dilihat dari latarbelakang turunnya, ayat ini secara lebih spesifik berdasarkan banyak tafsir diketahui bahwa ia tengah merespons kasus ketidakadilan para pengasuh (wali) anak-anak yatim. Anak-anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan ayah dalam usia mereka yang belum dewasa. Pada usia ini mereka sangat tergantung kepada orang lain, membutuhkan perlindungan, pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan baik finansial (ekonomi) maupun kasih sayang. Melalui ayat ini Tuhan menyerukan agar para pengasuh anak-anak yatim, memberikan perlindungan, pengasuhan dan pemeliharaan terhadap mereka dengan serius, dengan kata lain memperlakukan mereka dengan baik dan adil. Jika mereka mempunyai kekayaan, para pengasuh (wali) harus menyerahkannya ketika mereka dewasa. Para wali tidak dibolehkan memanipulasi atau mengkorupsi harta mereka. Para wali hanya diberi hak untuk menggunakan harta mereka sepanjang diperlukan bagi kepentingan mereka. Mujahid, Sa’id bin Jubair, Ibnu Sirin, Muqatil bin Hayyan, al Siddi dan Sufyan bin Husein berkomentar tentang: “Jangan kamu campuradukkan hartamu dan harta mereka lalu kamu memakannya” dengan mengatakan: “jangan anda berikan kepadanya yang kurus sementara anda mengambil yang gemuk”.2

Seorang ahli tafsir paling terkemuka, Ibnu Jarir al Tabari, mengutip para ahli yang berbeda, antara lain istri Nabi saw. Siti Aisyah, mengemukakan bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan kasus seorang laki-laki yang menjadi wali anak yatim yang kaya. Dia ingin mengawininya demi kekayaannya, dan memperlakukannya dengan tidak wajar. Padahal anak yatim tersebut tidak menyukainya.3

Praktik pengasuhan anak-anak yatim pada saat itu cenderung tidak adil. Para wali tidak mengelola hak-hak sosial dan ekonomi mereka secara proporsional. Di samping itu, mereka juga ingin mengawini anak-anak yatim perempuan di bawah asuhannya dengan tidak membayarkan mas kawinnya sama sekali atau membayar tetapi tidak wajar. Ketika hal itu terjadi, Alquran membolehkan para wali mengawini perempuan yang sah selain anak-anak yatim dua, tiga atau empat.4

Dengan mengetahui latarbelakang spesifik turunnya ayat ini sesungguhnya telah jelas bagi kita untuk mengemukakan sekali lagi bahwa maksud pertama dan misi utama ayat ini pada waktu diturunkannya adalah peringatan sekaligus penekanan kepada para pengasuh anak-anak yatim untuk melindungi mereka yang keberadaannya memang lemah atau tak berdaya itu melalui cara-cara yang adil. Jadi ayat ini tidak dimaksudkan untuk menganjuran poligami. Tegasnya, poligami bukanlah tujuan dari turunnya ayat ini dan bukan pula inisiatif Alquran. Hal ini karena, seperti sudah disinggung, perkawinan poligami sudah eksis dan telah berlangsung lama di tengah masyarakat Arabia ketika itu. Kalaupun ayat ini menyinggung dan membolehkan poligami, maka sebenarnya hanya membiarkannya dan sekaligus sedang mengkritik praktik poligami yang tidak adil.

Perempuan-perempuan; Siapakah Mereka?
Pertanyaan yang penting diajukan adalah siapakah yang dimaksud dengan kata “al nisa” (perempuan-perempuan) dalam ayat tersebut? Apakah perempuan-perempuan yang kedua, ketiga atau keempat itu adalah perempuan-perempuan siapa saja, ataukah perempuan-perempuan yang menjadi ibu anak-anak yatim tadi (janda-janda)? Terhadap pertanyaan ini kita mendapatkan pandangan yang beragam dari para penafsir Alquran. Jika kita terjemah-tafsirkan kedua pandangan tafsiran ini, maka ia akan berbunyi :

Pertama: “Jika kamu (para pengasuh anak-anak yatim) khawatir tidak bisa bertindak adil (manakala kamu ingin mengawini mereka), maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang halal bagi kamu (yang kamu sukai), dua, tiga atau empat...”.

Kedua: “Jika kamu (para pengasuh anak-anak yatim) khawatir tidak dapat bertindak adil (manakala kamu ingin mengawini mereka), maka kawinilah perempuan-perempuan (yang menjadi ibu-ibu mereka) yang halal bagi kamu (yang kamu sukai); dua, tiga atau empat...”.

Kecenderungan mayoritas besar para ahli tafsir klasik adalah pada penafsiran pertama. Menurut tafsir ini, laki-laki yang ingin berpoligami, dia dibebaskan atau dibiarkan untuk memilih perempuan mana saja yang menarik atau disenanginya, boleh perawan, boleh janda atau perawan dan janda.

Penafsiran kedua dikemukakan oleh antara lain pemikir muslim kontemporer, Muhammad Sahrur. Menurut Syahrur perempuan-perempuan yang dimaksud adalah janda-janda yang mempunyai anak-anak yatim.5

Penafsiran Sahrur ini tentu terasa asing bagi kebanyakan orang, tetapi saya pikir pandangan ini merupakan kemungkinan yang menarik. Sahrur bukan tidak punya logika yang patut dipertimbangkan. Jika alur ayat ini dimaksudkan sebagai upaya advokasi terhadap anak-anak yatim yang tak berdaya, maka perlindungan terhadap para anak-anak yatim sekaligus ibu-ibu mereka tentu lebih masuk akal. Dua kelompok manusia ini; para janda dan anak-anak yatim, merupakan orang-orang yang lemah atau dipandang lemah dan rentan. Perlindungan terhadap mereka, sebagaimana diketahui dari banyak teks keagamaan Islam, merupakan bagian dari concern (perhatian) utama Islam. Meskipun begitu, dengan teori yang dibangunnya: “batasan minimal dan maksimal” (hududiyah), Sahrur tetap membolehkan poligami sampai empat berdasarkan pertimbangan konteks sosialnya. Misalnya, kata dia, ketika dalam konteks perang dan jumlah laki-laki berkurang atau dengan kata lain jumlah perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki6 Sahrur membolehkan poligami dengan argumen demografik.

Penafsir kontemporer lain, jauh sebelum Sahrur, seperti Maulana Umar Ahmad Usmani dan Prof. Fazlurrahman mengemukakan pandangan yang mirip dengan Sahrur. Mereka berpendapat bahwa kebolehan beristri lebih dari satu hanya bisa dilakukan dengan para janda atau perempuan-perempuan yatim, dan bukan dengan perempuan selain mereka.7 Dengan cara pandang seperti ini, poligami dibenarkan hanya dalam rangka perlindungan terhadap para janda atau para gadis yatim. Pandangan para ahi tafsir modern ini menarik dan lagi-lagi masuk akal. Fakta-fakta di seputar perkawinan Nabi Muhammad saw. sebagaimana yang akan dikemukakan juga memperlihatkan kehendak tafsir ini. Pendapat ini barangkali perlu menjadi pertimbangan bagi orang-orang yang hendak berpoligami.

Poligami: Mempertimbangkan Suara Perempuan
Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan kalimat ”mâ tâba lakum” dalam ayat tersebut? Pandangan umum para ahli tafsir menyatakan bahwa ia berarti ”perempuan-perempuan yang kamu senangi”. Atau ”perempuan-perempuan yang kamu kehendaki (mâ syi’tum min al nisâ). Ini menunjukkan bahwa laki-laki dapat berpoligami dengan mengambil perempuan-perempuan yang menarik bagi hatinya. Tetapi sejumlah tafsir tidak mengartikan seperti ini, melainkan ”perempuan-perempuan yang halal bagi kamu”. Sejumlah tafsir, antara lain: Tafsir Muqatil bin Sulaiman, al Zamakhsyari dalam al Kasysyaf, al Wahidi, dan Ibnu al ‘Arabi mengartikan ”mâ tâba lakum min al nisâ” dengan ”perempuan-perempuan yang halal bagi kami” (mâ halla lakum).

Hal lain yang juga menarik tentang maksud kalimat ”mâ tâba lakum min al nisâ” adalah tafsir yang dikemukakan oleh ahli tafsir terkemuka, Imam al Qurthubi, seperti dikutip dan diinterpretasikan dengan baik oleh Faqihuddin Abdul kadir, penulis buku ”Memilih Monogami, Pembacaan Atas Alquran dan Hadis Nabi”.8 Imam al Qurthubi menyampaikan pandangan yang berbeda dari tafsir mainstream. Ayat tersebut oleh Imam al Qurthubi tidak ditafsirkan atau diterjemahkan dengan “perempuan-perempuan yang kamu sukai/senangi, sebagaimana penafsiran atau penerjemahan pada umumnya atau yang banyak dipahami selama ini, melainkan: “perempuan-perempuan yang menyenangimu atau suka kepada kamu”. Tafsir alternatif yang diperkenalkan al Qurthubi ini ingin menegaskan bahwa poligami tidak bisa dilakukan atas kehendak laki-laki, melainkan perlu mempertimbangkan pendapat perempuan. Dengan begitu, al Qurthubi melihat bahwa orang yang ingin berpoligami hendaknya mempertimbangkan hak-hak perempuan dan kerelaan mereka. Ini sangat dapat difahami, mengingat bahwa perkawinan adalah sebuah transaksi (akad) yang memerlukan kesepakatan dan kerelaan dua pihak yang bertransaksi seperti juga halnya dengan transaksi-transaksi yang lain.

Penafsiran ini juga, sungguh, bukan hanya sangat wajar, melainkan juga masuk akal. Kehendak Alquran untuk menegakkan keadilan dalam poligami (dan dalam hal lain), tidak bisa hanya ditentukan oleh salah satu pihak yang dalam hal ini pihak laki-laki. Penilaian dan penentuan keadilan seharusnya diserahkan kepada pihak (subyek) yang mungkin akan merasa dirugikan. Dalam poligami pihak yang akan dirugikan tentu saja adalah perempuan. Tegasnya, jika seorang laki-laki ingin berpoligami, dia harus meminta persetujuan dari pihak perempuan.

Mempertimbangkan kerelaan perempuan tersebut tidak hanya berlaku bagi calon istri berikutnya, tetapi jauh lebih penting adalah istrinya karena istri adalah pihak yang paling dirugikan dengan rencana perkawinan poligami itu. Undang-Undang Perkawinan RI no. 1/1974, pasal 5 dan Undang-undang Keluarga di banyak negara Islam juga mempersyaratkan keizinan istri, jika seseorang ingin melakukan poligami. Undang-undang Keluarga Maroko menyatakan dengan jelas syarat ini. Bahkan UU Perlindungan Keluarga di Iran sebelum Revolusi (1975) juga mengharuskan laki-laki yang ingin mengambil istri kedua di samping meminta izin kepada pengadilan, juga mendapatkan izin dari istri yang pertama.

Secara ideal, kerelaan atau keikhlasan pihak-pihak yang dirugikan tidak hanya ditunjukkan oleh pernyataan verbal dan atau tertulis, melainkan juga ekspresi-ekspresi dan situasi-situasi psikologis yang menyertainya. Persetujuan dan kerelaan tersebut seharusnya tidak disampaikan oleh perempuan dalam kondisi psikologi yang terbujuk, tidak berdaya atau tertekan secara ideologis, melainkan dengan kerelaan yang disadari.

Keadilan sebagai Syarat
Terlepas dari tafsir-tafsir di atas yang tetap mengapresiasi poligami, tetapi satu hal yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam kasus ini sekali lagi adalah apreasiasi dan concern kita terhadap prinsip keadilan, karena ini adalah inti dari ajaran Islam. Membaca persoalan ini dari prinsip keadilan, tampak jelas bahwa ia adalah hal menjadi misi dan tujuan Islam. Jika penggalan pertama ayat ini menekankan keadilan terhadap para yatim, maka penggalan kedua keadilan ditujukan kepada para perempuan, yakni istri-istrinya. Ini adalah kritik Alquran terhadap praktik poligami yang banyak dilakukan orang pada saat itu. Kita dapat melihat hal ini ketika membaca ayat ini yang tetap menuntut kepada mereka yang ingin melakukan poligami untuk menegakkan keadilan kepada para istri.

”Jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil (terhadap para istri), maka hendaklah satu orang istri saja atau (jika masih ingin juga lebih dari seorang istri) budak-budak yang kamu miliki. Hal ini agar kamu lebih dekat untuk tidak berbuat menyimpang”.

Ya, ayat ini kembali menyebut kata-kata keadilan. Saya merasa pengulangan ini mengindikasikan bahwa Tuhan tengah memberikan peringatan serius kepada mereka yang ingin berpoligami agar memikirkan dan merenungkan keinginan tersebut dengan sungguh-sungguh, agar tidak terjerumus pada tindakan-tindakan yang tidak adil.

Keadilan adalah syarat dalam poligami, sebagaimana juga syarat dalam setiap keputusan hukum yang lain. Ini sesuatu yang sangat jelas disebutkan oleh Alquran. Karenanya, menarik sekali pernyataan ahli tafsir terkemuka: Fakhr al Din al Razi dalam ”Al Tafsir al Kabir”. Dalam mengomentari ayat ”fa in khiftum al la ta’dilu fa wahidatan” (jika kamu khawatir tidak bisa berbuat adil, maka nikahlah dengan satu orang saja) tersebut, al Razi mengatakan : ”Faltazimu wa Ikhtaru Wahidatan wa aru al Jam’a Ra’san. Fa Inna al Amr Kullahu Yaduru Ma’a al ’Adl. Fa Ainama Wajadtum al ’Adl fa ’Alaikum bihi” (Tetaplah dan pilihlah satu orang istri saja dan tinggalkan poligami begitu kamu merasa tidak bisa berbuat adil). Karena inti persoalan ini adalah keadilan, maka di manapun kamu menemukan keadilan, di sanalah kamu memilih).9 Pernyataan ini sebelumnya disampaikan ahli tafsir al Zamakhsyari.

Demikian mendasarnya asas keadilan Islam dalam poligami, sehingga terhadap orang-orang yang berpoligami dan tidak dapat bertindak adil, Nabi Muhammad menyampaikan pandangannya bahwa mereka akan datang pada hari kiamat dengan tubuh yang terbelah. Dalam riwayat lain : ”dia akan datang dengan tubuh miring”.10

Tuhan mengakhiri ayat ini dengan menyatakan bahwa perkawinan monogami itu “supaya kamu lebih dekat untuk tidak akan bertindak menyimpang (tidak adil)”11 . Dari penghujung ayat ini dapat disimpulkan bahwa perkawinan monogami sejatinya merupakan puncak atau ujung dari kehendak (keinginan) Tuhan untuk mewujudkan perkawinan yang adil, hal yang seharusnya diperjuangkan terus-menerus. Dengan kata lain Tuhan dengan kata-kata-Nya yang demikian indah sekaligus menggugah itu sejatinya tengah mengarahkan kepada masyarakat agar hanya memiliki satu orang istri. Perkawinan monogami adalah pilihan sebuah perkawinan yang paling ideal bagi terbangunnya sebuah relasi suami-istri dan keluarga yang baik (sakinah, mawaddah, rahmat) sebagaimana dikemukakan Q.S. al Rum,[30]: 31. Wallahu a’lam.]

Tulisan ini bagian awal dari makalah panjang tentang “poligami dan perbudakan” yang rencananya hendak diterbitkan sebagai buku.

1 ’Abd al Hadi ’Abd al Rahman, Sultah al Nas Qirâ’at fi Tauzif al Nas al Dîny, (Beirut: al Markaz al Œaqafi al ’Arabi, 1993), cet. I, h. 195. Dikutip dari karya besar Ibnu ’Arabi, Al Futuhât al Makkiyyah, II, h. 181.
2 Ibnu Kasir, Tafsir Alquran al ‘Azim, I/449.
3 Lihat: Ibnu Jarir al Thabari, Jami’ al Bayan ’an Ta’wil Ayi al Qur’an, (Beirut: 1988), vol. VIII, h. 231-236.
4 Mengenai latar belakang turunnya ayat ini Bukhari meriwayatkan bahwa Urwah bin Zubair bertanya kepada Aisyah ra. Mengenai ayat ini: ”Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku terhadap anak yatim”. Aisyah menjawab: “Hai anak saudara perempuanku, perempuan yatim ini diasuh seseorang (wali) dia menggabungkan harta dia (yatim) dengan hartanya. Si wali menginginkan kecantikan dirinya dan hartanya. Karena itu dia ingin mengawininya tanpa memberikan mas kawin yang layak. Maka dia dilarang mengawininya kecuali bisa bertindak adil dan memberikan mas kawin yang pantas. (Ketika ini tidak dapat dilakukannya), dianjurkan menikahi perempuan-perempuan lainnya”. (Ibnu Kasir, op. cit., h. 499-450).
5 Muhammad Syahrur, al Kitab wa Alquran Qira-ah Mu’asirah, (Damaskus: al Ahali), cet. IV, h. 597; Nahwa Usul Jadidah li al Fiqh al Islamy, (Damaskus: al Ahali, 2000), cet. I, h. 303.
6 Ibid. h. 600.
7 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKiS, 2003), cet. I, h. 122.
8 Lihat Faqihuddin Abdul Kodir, Memilih Monogami, Pembacaan atas Al Qur’an dan Hadis Nabi, (Yogyakarta: LKiS, 2005), cet. I, h. 86 dst.
9 Fakhr al Din al Razi, Al Tafsir al Kabir, (Teheran: Dar al Kutub al Ilmiyyah), cet. II, juz IX, h. 176.
10 Baca: Ibnu al Aœir, Jami’ al Usul min Ahadiœ al Rasul, (Beirut: Dar Ihya’ al Turas, 1984), no. hadis: 9049, juz XII, h. 168.
11 Mayoritas ulama tafsir memaknai “an la ta’ulu” sebagai “supaya kamu tidak menyimpang”(an la tamilu wa la tajuru). Namun, Imam al Syafi’i memaknainya: “supaya kamu tidak banyak anak (keluarga)” (an la takœura ‘iyalukum). Lihat Al Razi, Al Tafsir al Kabir, juz IX, h. 177.


No comments: