Monday, June 18, 2007

Surga Telah Jadi Hak Mereka

KEMARIN seorang penyair Tegal mengirim puisi kepada saya melalui SMS. Isinya semacam keluhan mengapa negeri ini tak henti dirundung bencana. Sejak bencana tsunami Aceh dua tahun lalu hingga bencana gempa bumi di Yogjakarta dan Jateng, sampai gempa dan tsunami di pantai selatan Jawa.

Semua memakan korban jiwa dan harta benda yang tak kepalang banyaknta. Dan semuanya seakan tak hendak berhenti. Mengapa? SMS itu datang sehabis maghrib ketika saya sedang duduk bersama Fadli dan Uun, dua anak muda yang setia shalat berjamaah. Saya bacakan SMS itu kepada keduanya. Sungguh tak terkira saya akan menyaksikan adu pendapat yang menarik antara Fadli dan Uun. Tanggapan yang pertama atas isi SMS itu diberikan oleh Fadli.

"Pertanyaan penyair Tegal itu sangat umum dan sebenarnya sangat membelenggu kita." "Membelenggu bagaimana?" Uun minta penjelasan. "Sudah terang semua gempa bumi kapan saja dan di mana saja adalah murni gejala alam. Tapi si penyair agaknya mau mendapatkan konfirmasi bahwa bencana itu berkaitan dengan ulah manusia. Padahal saya sangat yakin bahwa gempa, bahkan meteor jatuh sekalipun sudah sering terjadi sejak bumi belum berpenghuni."

"Rupanya kamu termasuk penganut empirisme ya?" sindir Uun. Lalu bagaimana dengan cerita dalam AlQuran mengenai umat yang diadzab dengan membalikkan bumi karena mereka berlaku maksiat?" Mendapat sanggahan Uun, Fadli tercengang sejenak. Namun tak lama kemudian dia bisa berkilah.

"Adzab semacam itu kan hanya terjadi sebelum kenabian Muhammad SAW. Sesudahnya tidak ada lagi, dan itulah berkah yang dibawa oleh junjungan kita itu." "Nanti dulu. Apa kamu terpengaruh oleh ucapan Presiden SBY yang menganjurkan kita tidak menghubung-hubangkan tragedi gempa itu dengan dimensi mistik?"

"Tidak. Sebelum Presiden SBY bilang demikian saya sudah punya keyakinan seperti itu. Nalarnya begini; kalau gempa berkaitan dengan ulah manusia, maka yang terjadi di Bantul dan Pangandaran kemarin tidak tepat sasaran." "Maksudmu?" tanya Uun.
"Yah, karena kebanyakan korban adalah rakyat kecil yang miskin. Kalau dilihat tingkat maksiatnya mereka jauh lebih rendah daripada orang kota, terutama mereka yang kaya dan berkuasa seperti di Jakarta."
"Nah, itu dulu sudah diucapkan oleh Pak Amin Rais."
"Ya, kenapa?"

Uun seperti kehilangan kata-kata. Tapi akhirnya dia ngomog juga. "Kalau begitu dalam perspektif iman kamu, bagaimana segala gempa itu dipandang? Kalau kamu memandangnya melulu dalam dimensi empirik, saya pun bisa. Kamu jangan sok! Apa kamu kira saya tidak pernah membaca pengetahuan tentang fisika geologi? Memang secara empirik gempa tektonik adalah gejala alam yang biasa. Tapi pemahaman seperti itu gersang dan kering amat. Sementara itu kita harus menerima kedatangan gempa sebagai sesuatu yang dahsyat, tak terelakkan bahkan tak bisa diramal. Artinya, gempa memang datang sesuatu yang given."

Sekarang tinggal Fadli yang kelihatan gagap. Saya kira Fadli mau diam terus karena merasa kalah. Tapi Fadli adalah Fadli. "Begini Un! Meskipun Presiden SBY bilang jangan berfikir mistis mengenai gempa, namun saya tidak sepenuhnya setuju. Karena setidaknya bencana gempa harus juga menjadi peringatan bagi kita."
"Nah! Ya kan? Itu peringatan bagi masyarakat kita yang sudah penuh maksiat kan?"
"Tidak Un."
"Jadi?"
"Itu peringatan bagi kita yang suka lupa akan bahwa secara empirik kehidupan kita sebenarnya sangat rapuh. Itu peringatan bagi manusia yang suka lupa akan adanya kekutatan mahabesar yang sewaktu-waktu bisa menghabisi kehidupan ini hanya dalam sekejap. Ini kan mistik ilmiah, mistik modern."
Uun tertawa, dan Fadli kelihatan agak tersinggung.

"Ah, akhirnya kita ketemu juga Fad. Bahwa gempa yang menimbulkan penderitaan itu harus dipandang sebagai akibat maksiat manusia."
"Belum Un, kita belum sepenuhnya bertemu. Saya berpendapat gempa bukan akibat maksiat manusia, tetapi akibat pergeseran kulit bumi. Tetapi kita sudah sependapat bencana yang tidak bisa diramal dan dicegah ini harus menjadikan kita lebih sadar akan kelemahan manusia."
"Dan kesadaran seperti itu hendaknya mendorong manusia untuk meninggalkan maksiat?"
"Ya!"
Kemudian terjadi hal yang kelihatan lucu. Fadli dan Uun salam-salaman. Anehnya Fadli masih juga bertanya kepada Uun.

"Menurut kamu, apakah adil bila orang miskin dan lemah yang menjadi korban gempa, sementara yang maksiatnya banyak malah tidak apa-apa?" "Begini Fad! Bagi kita yang merasa beriman, para korban yang tewas akan masuk surga karena mereka meninggal mendadak dan dalam keadaan tanpa daya melawan kekuatan alam. Ya, semoga surga telah menjadi hak mereka. Tapi bagi mereka yang masih hidup, nah! Mereka jelas dizalimi, bukan oleh Tuhan melainkan oleh kita, masyarakat atau negara bila mereka tidak ditolong kehidupan mereka pulih. Jadi adil atau tidak tergantung kita."
Fadli diam. Saya cuma senyum, tapi saya pikir Fadli dan Uun boleh juga!

(AhmadTohari )

No comments: