Oleh : M Fuad Nasar
Anggota Badan Amil Zakat Nasional
Tulisan Refleksi di harian Republika (10/6) berjudul Dua Pilar Kepemimpinan oleh KH Didin Hafidhuddin menggugah perhatian dan pemikiran penulis. Pembahasan yang dikemukakan sangat tepat menggambarkan situasi Indonesia dewasa ini, di mana dua pilar kepemimpinan yang diketengahkannya itulah yang memang diperlukan di semua tingkatan.
Dengan tutur bahasa dakwah yang datar dijelaskannya dua fungsi kepemimpinan menurut perspektif ajaran Islam, yaitu sebagai ulil amri dan khadimul ummah. Pemimpin yang memahami makna ulil amri akan memiliki kesadaran bahwa amanah jabatan dan kekuasaan harus digunakan sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya, sehingga ia akan berusaha untuk berlaku adil dan berusaha untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Menurut Didin Hafidhuddin, integrasi konsep ulil amri dan khadimul ummah inilah yang menjadi kunci kesuksesan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Saya kira kita semua setuju dengan kesimpulan demikian. Penulis hanya ingin menambahkan, kesuksesan kehidupan berbangsa dan bernegara memerlukan pemimpin yang memberikan teladan.
Kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam kehidupan suatu bangsa, meski bukan faktor satu-satunya. Maju mundurnya masyarakat, turut ditentukan oleh kualitas pemimpinnya. Fungsi pemimpin dalam pemerintahan misalnya, sangat menentukan arah perkembangan masyarakat. Dia bisa mengeluarkan berbagai kebijakan dan membuat peraturan yang merupakan tindakan pencegahan supaya masyarakat tidak terkejut menghadapi gejala perkembangan yang tidak diinginkan.
Negarawan lebih sedikit
Penulis teringat pemikiran Pahlawan Proklamator dan Bapak Bangsa almarhum Mohammad Hatta, dalam kehidupan negara ada tiga kelompok yang berperan. Pertama, kelompok ahli, teknokrat, dan birokrat. Kedua kalangan politisi. Ketiga, pemangku negara, statesmen, atau negarawan. Dalam perspektif Bung Hatta, tidak begitu saja seorang ahli bisa 'disulap' menjadi negarawan atau seorang politisi merangkap negarawan atau sebaliknya.
Bung Hatta dalam beberapa kesempatan mensitir ungkapan bahwa loyalty to my party ends when loyalty to my country begins. Kesetiaan seseorang kepada partainya harus berakhir kalau ia kemudian menjadi negarawan. Tidak bisa seorang pemimpin partai merangkap jadi negarawan karena sifatnya yang berbeda.
Negarawan saat ini semakin langka di masyarakat kita. Suatu keadaan yang memprihatinkan, seandainya tradisi politik, sistem demokrasi, dan kepartaian yang terbentuk setelah reformasi hanya bisa melahirkan para politisi yang mahir bermain politik, tapi kurang mendorong bagi lahirnya negarawan. Penulis menumpahkan perhatian dan harapan terutama kepada aktivis dakwah adalah karena mengamati banyak belakangan ini aktivis dakwah, ulama, dan kiai terjun ke kancah politik praktis dengan kendaraan partai politik yang beragam.
Bahkan, Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni baru-baru ini merisaukan makin berkurangnya ulama yang berkonsentrasi penuh untuk memikirkan dakwah dan memimpin lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan sebagainya. Posisi umat Islam sebagai pemeluk agama terbesar di Indonesia, bukanlah sekadar merupakan kebanggaan, tetapi di balik jumlah mayoritas itu terdapat kewajiban dan tanggung jawab yang lebih besar untuk memelihara dan membangun Indonesia menjadi lebih baik dari sekarang.
Seorang aktivis dakwah yang kemudian naik ke panggung politik praktis mempunyai beban moral yang besar di pundaknya dibanding orang lain yang bukan aktivis dakwah. Mereka tidak boleh terjebak dalam orientasi kepentingan jangka pendek, dalam arti hanya untuk meraih dan mempertahankan jabatan politik dan kursi di parlemen. Tetapi haruslah disadari bahwa mereka membawa misi perjuangan Islam secara konstitusional. Orang bijak mengatakan beda antara politisi dan negarawan adalah politisi berbicara tentang kemenangan yang akan datang, sedang negarawan berbicara tentang generasi yang akan datang.
Kepedulian dan tanggung jawab untuk memikirkan dan memajukan kehidupan umat dan bangsa tidaklah datang secara tiba-tiba. Tetapi merupakan hasil dari proses pendidikan dan penanaman nilai-nilai yang diterima sejak waktu kecil, dan terus ditempa hingga dewasa melalui berbagai ragam peristiwa dan pengalaman hidup. Bakat atau talenta juga memegang peranan yang penting dalam pengembangan jiwa kepemimpinan.
Persatuan umat
Pelajaran yang bisa kita petik dari pasang surut peranan politik dan kepemimpinan umat Islam dalam kehidupan bernegara, antara lain adalah betapa penting dan strategisnya upaya memperkuat ukhuwah dan persatuan umat. Mengutip ungkapan almarhum HM Yunan Nasution, umat Islam Indonesia mudah bersatu ketika menghadapi musuh bersama, tetapi setelah musuh bersama dianggap tidak ada lagi, maka dicari musuh dari dalam.
Kadang sebagian tokoh dan pemimpin memperlihatkan pertikaian di depan publik dan bukan memberikan teladan kepada umat tentang bagaimana menyelesaikan persoalan secara Islami dalam semangat ukhuwah dan silaturrahim. Sikap menyerang dan menyalahkan secara terbuka di antara para tokoh dan pemimpin, menjadi fakta yang mengganggu kerukunan umat Islam.
Perbedaan pendapat sangatlah mudah meruncing menjadi pertentangan yang tajam karena ketidakmampuan mereka yang berbeda sikap dan pendirian untuk menahan diri. Padahal, untuk membangun persatuan dan kebersamaan sungguh diperlukan waktu yang lama, tapi untuk menghancurkannya cuma perlu waktu sebentar.
Persatuan umat adalah modal sosial untuk membangun persatuan dan kesatuan bangsa. Persatuan yang harus dimiliki umat Islam adalah persatuan yang membawa kepada kekuatan, dan persatuan yang tidak mudah goyah karena persoalan-persoalan sesaat seperti masalah 'kursi dan koalisi'. Dalam menghadapi masalah-masalah yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, para pemimpin organisasi Islam perlu menyatukan pandangan, pendapat dan langkah.
Tokoh politik Islam yang pernah menjadi Menteri Agama RI menjelang tahun 1950-an, almarhum KH Masjkur, dalam Tasyakkur 80 Tahun Mohammad Natsir tahun 1988 menulis beberapa pokok pikiran yang perlu disadari oleh generasi penerus pemegang estafet perjuangan umat. Menurut KH Masjkur, umat Islam haruslah memadukan semua potensi dan kekuatan yang kita miliki, agar kekurangan yang satu dapat ditutupi atau dicukupi oleh kelebihan yang lain.
Dalam kaderisasi kepemimpinan umat Islam di Indonesia yang patah tumbuh hilang berganti mengikuti sunnatullah, diperlukan adanya tokoh dan pemimpin yang mampu menempatkan dirinya tidak cuma sebagai pimpinan suatu partai, kelompok, atau organisasi Islam, tetapi juga sebagai pemimpin umat Islam secara keseluruhan.
Menurut hemat penulis, peran pemimpin yang mengayomi semua golongan dalam rangka mempersatukan umat merupakan salah satu pilar untuk mewujudkan kebangkitan Islam dan Indonesia. Almarhum Ki Bagus Hadikusumo, seorang pemimpin Islam dan pejuang kemerdekaan pernah memperingatkan dalam suatu ucapan yang bersayap, "Jangan cari benda-benda yang bertebaran, nanti kaum Muslimin akan bertebaran, lantarannya."
Ikhtisar
- Para pemimpin umat yang masuk dalam aktivitas politik praktis tidak boleh terjebak pada kepentingan jangka pendek.
- Demi menjaga persatuan umat, para pemimpin juga semestinya tidak memperlihatkan pertikaiannya dengan tokoh lain di depan publik.
- Kaderisasi kepemimpinan umat Islam di Indonesia memerlukan sosok yang mampu memimpin umat secara keseluruhan.
No comments:
Post a Comment