Tuesday, June 26, 2007

Keagamaan
Fenomena Fiqih Sunnah

ZUHAIRI MISRAWI


Muhammad Abid al-Jabiri dalam bukunya, Takwîn al-'Aql al-'Arabi, mengutarakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban fikih. Peradaban Yunani adalah peradaban akal. Sedangkan peradaban Barat adalah peradaban ilmu pengetahuan dan eksperimentasi.

Ungkapan tersebut mempunyai keistimewaan tersendiri karena fikih telah menjadi salah satu disiplin ilmu yang paling banyak ditulis dan diperbincangkan oleh umat Islam. Hampir ratusan ribu buku fikih ditulis oleh para ulama Muslim.

Salah satu buku fikih paling fenomenal, yang diterbitkan di Tanah Air dalam satu tahun terakhir, yaitu Fiqih Sunnah. Dalam perhelatan Pameran Buku Islam 2007, yang diselenggarakan pada 3-11 Maret 2007, buku ini mendapat penghargaan dari IKAPI sebagai buku terjemahan terbaik tahun 2007. Sedangkan di Timur Tengah, buku ini juga mendapatkan penghargaan King Faisal Prize dalam bidang kajian Islam.

Buku ini merupakan salah satu buku fikih terbaik, ditulis oleh Sayyid Sabiq, seorang ulama modern. Lahir di Mesir, pada tahun 1915, ia dikenal sebagai ulama yang mempunyai otoritas akademis dalam bidang fikih, karena lulus dari dua universitas terkemuka di Timur-Tengah, yaitu Universitas Al-Azhar dan Universitas Ummul Qura, Mekkah, Arab Saudi. Ia wafat pada Februari 2000.

Dalam pelbagai kitab klasik disebutkan bahwa fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum Islam yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci dengan jelas. Sebagai ilmu tentang hukum-hukum Islam, maka fikih menempati tempat yang sangat penting dan strategis. Fikih telah menjadi panduan umat Islam untuk hal-hal yang berkaitan dengan peribadatan dan sosial-kemanusiaan. Fikih membahas pelbagai persoalan, dari masalah shalat hingga jual-beli.

Nah, lalu apa yang menjadi keistimewaan buku ini? Setidaknya ada dua alasan penting yang perlu dikemukakan. Pertama, buku ini mengupas berbagai persoalan fikih secara komprehensif, lengkap dengan tradisi (sunah Nabi Muhammad SAW) sebagai rujukan utamanya. Banyak mengutip berbagai pendapat lintas mazhab tanpa terjebak dalam fanatisme mazhab tertentu. Sebuah hal menarik karena berarti mendewasakan masyarakat untuk memilih pendapat yang paling sesuai dengan nalar dan konteks masyarakat setempat.

Misalnya, dalam hal pembahasan masalah jihad, yang kerap kali disederhanakan oleh sebagian kelompok keagamaan. Sayyid Sabiq dalam buku ini menjelaskan secara komprehensif tentang makna dan aturan jihad. Ia juga membandingkan perintah jihad dalam Islam dengan pesan serupa yang terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Pada mulanya ajaran Islam adalah dakwah ke jalan Tuhan dengan kebijaksanaan, nasihat yang baik dan debat yang konstruktif. Namun, dalam situasi tertentu terdapat ancaman dari luar, yang memaksa umat Islam untuk mempertahankan diri.

Karena itu, ajaran jihad atau perang merupakan perintah untuk melakukan tindakan defensif, bukan ofensif. Setidaknya harus ada tiga alasan dalam melaksanakan jihad, yaitu karena diperangi, mempertahankan tempat ibadah, dan menjaga stabilitas (Jilid IV, hal 2-3).

Satu hal yang menjadi polemik di kalangan ulama fikih, yaitu soal hukum meminta bantuan non-Muslim untuk berperang melawan musuh-musuh umat Islam. Sayyid Sabiq mengetengahkan sejumlah pendapat yang amat menarik.

Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat, tidak dibenarkan meminta bantuan mereka, dan juga tidak dibolehkan sekiranya mereka membantu tanpa diminta. Imam Abu Hanifah berpandangan lain, mutlak dibenarkan meminta bantuan mereka. Sedangkan meminta bantuan orang musyrik adalah makruh. Adapun Imam Syafi’i berpendapat, diperbolehkan dengan dua syarat, yaitu jika umat Islam berjumlah sedikit dan orang musyrik mengetahui kebaikan dan simpati pada Islam (Jilid IV, hal 7-8).

Itulah salah satu bentuk keragaman pendapat dalam fikih, yang mana setiap Muslim diberikan kebebasan untuk berpendapat sesuai dengan pedoman kemaslahatan umat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan.

Kedua, meski komprehensif, penulis buku ini tidak terjebak dalam pembahasan yang bertele-tele, bahkan cenderung mempermudah pembaca awam dalam memahami materi buku.

Misalnya, dalam soal perbudakan. Sayyid Sabiq dalam buku ini berpendapat bahwa tidak ada satu ayat pun yang membolehkan perbudakan. Bahkan, Nabi Muhammad SAW justru membebaskan para budak yang dihadiahkan kepadanya (Jilid IV, hal 65). Bila cara pandang ini dijadikan sebagai acuan, maka anggapan buruh migran sebagai budak sama sekali tidak sejalan dengan fikih Islam.

Buku ini juga telah membawa angin segar dalam dunia penerbitan buku-buku terjemahan dari Timur Tengah. Tidak seperti kebanyakan buku lainnya, buku ini telah mengantongi hak cipta dari ahli waris penulis buku, yaitu Ahmad Sabiq.

Dengan demikian, buku ini menghadirkan khazanah keislaman yang komprehensif dan mudah dipahami. Dalam satu tahun ini, menurut Ahmad Budiyanto, Direktur Produksi, setidaknya sudah terjual sebanyak 15.000 eksemplar. Jumlah tersebut terbilang spektakuler untuk buku yang dicetak dalam empat jilid, sehingga total buku terjual sebanyak 60.000 eksemplar.

Besarnya minat publik untuk memahami fikih secara komprehensif, maka akan semakin meningkatkan wawasan keislaman sesuai dengan tradisi yang berkembang dalam sejarah Islam. Karena itu pula, tidak ada alasan untuk terjebak dalam radikalisme dan puritanisme.

Zuhairi Misrawi Intelektual Muda Nahdlatul Ulama dan Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir

No comments: