Monday, June 18, 2007

Tamadun

Saya selalu suka dengan Malaysia. Negeri Melayu ini sedang bergerak menuju negara maju, membangun dengan prinsip harga diri, semangat Islam dan Melayu. Negeri --yang dalam berberapa hal bersaing dengan Singapura-- itu, seakan ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Islam mendorong kemajuan.

Malaysia --yang dahulu dalam banyak hal belajar dari Indonesia -- seperti ingin mengembalikan kejayaan masa Umayyah (756-1031 M) di Cardova dan Alhambra, Spanyol. Andalusia, nama Spanyol masa itu, menjadi pusat ilmu pengetahuan modern Eropa. Melahirkan pemikir-pemikir besar di antaranya Al Farabi, Ibnu Rusyd (falsafah), dan Ibnu Sina (kedokteran).

Malaysia menyebutkan kejayaan itu sebagai tamadun Islam. Tamadun berarti membangun masyarakat yang memiliki peradaban maju. Dalam setiap percakapan, tulisan, spanduk, dan juga pernyataan pers, kosa kata tamadun di negara multietnis ini mudah sekali ditemukan, di antaranya ada kalimat, 'Memahat sejarah, mencipta tamadun.'

Selama sepekan atas undangan Institute of Strategic & International Studies (ISIS) Malaysia, saya bersama 12 wartawan Indonesia berkunjung ke Malaysia. Berbagai diskusi dan pertemuan dengan tokoh-tokoh Malaysia, termasuk Perdana Menteri Abdullah Badawi, semakin menyiratkan tekad besar negara ini untuk merebut kembali tamadun Islam.

Dalam dialog jauh sebelumnya --kebetulan dalam beberapa kesempatan bertemu PM Badawi dan seniornya mantan PM Mahathir-- tersirat keyakinan para pemimpin itu bahwa kemajuan Islam sangat mungkin muncul di Malaysia dan Indonesia, dua negara dengan masyarakat yang terbuka dan tidak dalam bara konflik seperti Timur Tengah.

Malaysia tidak berwacana. Mereka merancang arah tamadun --culture, civilization-- itu dalam konsep Islam Hadhari. Konsep ini mendorong kualitas hidup masyarakat, yang mempunyai peradaban unggul dalam menghadapi globalisasi, teknologi informasi, ekonomi global, budaya materialisme, krisis indentitas, dan penjajahan pemikiran. Dalam tataran negara, konsep ini mendorong sistem ekonomi, sistem keuangan yang dinamis, dan pembangunan terpadu serta seimbang.

Konsep tersebut tentu dapat diperdebatkan, namun Malaysia telah membuat jalan yang sangat jelas bagi kemajuan rakyat dan harga diri mereka. Investasi Malaysia telah merambah ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Kini, mereka mempersiapkan infrastruktur Johor, negara bagian terdepan dengan Singapura, sebagai kawasan terpadu, mengantisipasi limpahan investasi dari negeri Singa itu, seperti Indonesia mempersiapkan Batam puluhan tahun lalu.

Dalam teknologi, mereka menciptakan superkoridor layaknya Lembah Silikon. Akhir pekan lalu, Malaysia berhasil pula menciptakan mikrocip terkecil di dunia dengan ukuran 0,7 mm. Mikrocip yang memancarkan gelombang radio ini di antaranya dapat dipasang di dokumen, mata uang, VCD, dan lainnya, sehingga mudah dideteksi.

Malaysia sedang bergerak dalam keseimbangan. Mereka sangat yakin, Islam adalah rahmat dan sekaligus semangat bagi kamajuan. Dengan keyakinan itu, mereka menjalankannya. Jumat lalu di Putra Jaya, PM Badawi menerima wartawan-wartawan Indonesia. Ia berbicara tentang dunia dengan mengenakan pakaian Melayu --teluk belanga berwarna cerah dan peci hitam. Di jalan, remaja-remaja putri bergerak lincah dengan baju kurung.

Saya selalu ingat kalimat bernas Badawi tiga tahun lalu, ketika menerima ulama-ulama Indonesia di kantornya. Ketika itu, sebelum mengantar kami ke mulut pintu ruang kerjanya, Badawi menyingkap gorden jendela yang berhadapan dengan Masjid Putra Jaya yang besar dan indah. Badawi berujar: "Dari sini (ruang kerja) negara diurus, dan di sana (ia menunjuk masjid) tujuan kita."

Para pemimpin Malaysia yang satu kata, mungkin sedang menanti waktu yang tak lama ini: Cardova dan Alhambra baru.

( Asro Kamal Rokan )

No comments: