Prof Dr Azyumardi Azra
Dalam Resonansi 28 September 2006 lalu, saya menulis tentang tugas dan dilema intelektual Muslim Indonesia. Seperti kaum intelektual Muslim Indonesia yang memiliki sejarah yang panjang, maka sejarah golongan intelektual di Dunia Islam lebih panjang lagi. Terlepas dari sejarah mereka yang berbeda di sana-sini, tetapi satu hal sudah pasti; mereka memiliki posisi dan tugas yang relatif distingtif, tidak hanya di masa silam, apalagi di masa modern yang menghadirkan banyak tantangan baru.
Periwayatan sejarah tentang pertumbuhan dan wacana kaum intelektual Muslim di Dunia Islam belum lagi tersedia secara memadai. Memang ada monografi-monografi tentang kaum intelektual Muslim di wilayah atau negara tertentu. Tetapi, sekali lagi, sejarah yang relatif lengkap dan komprehensif tentang kaum intelektual di Dunia Muslim secara keseluruhan sangat sulit ditemukan.
Padahal, kaum intelektual Muslim yang terpencar-pencar dalam berbagai lingkungan geografis terpisah sangat jauh, juga terhubungkan bukan hanya secara keimanan, tetapi juga secara intelektual. Bahkan, ketika kekuatan-kekuatan Eropa semakin mencengkeramkan kekuasaannya atas banyak wilayah Dunia Muslim sejak akhir abad ke-19 sampai Perang Dunia II, kaum intelektual Muslim yang terpencar-pencar itu justru semakin terkait dalam kepedulian yang sama; membebaskan kaum Muslimin dari penjajahan. Dan penjajahan itu bukan hanya berlangsung secara fisik, bahkan juga sangat boleh jadi juga secara intelektual.
Dilihat dari konteks itu, maka buku Intellectuals in the Modern Islamic World: Transmission, Transformation, Communication (London: Routledge, 2006) terasa begitu istimewa. Buku suntingan Stephane A Dudoignon, Komatsu Hisao, dan Kosugi Yashusi ini menjadi lebih istimewa lagi, karena merupakan hasil dari proyek "Islamic Area Studies Project" yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan Pemuda dan Olahraga Jepang sejak tahun 1997 sampai 2002. Proyek ini menunjukkan minat pemerintah Jepang, yang bekerja sama dengan beberapa ahli dan universitas terkemuka Jepang, untuk lebih memahami dinamika Islam dan Dunia Muslim.
Saya sendiri juga terlibat dalam beberapa kegiatan "Proyek Kajian Kawasan Islam" tersebut; dan melalui keterlibatan itu saya mengenal dan kemudian bersahabat dengan sejumlah intelektual Muslim Jepang. Salah satunya adalah Kosugi Yashusi, guru besar pada Sekolah Pascasarjana Kajian Kawasan Asia Afrika, Universitas Kyoto. Kosugi, seorang Muslim asli Jepang, pernah belajar di Universitas al-Azhar, Kairo; dan sangat lancar berbahasa Arab. Seorang putrinya, Khadijah, kini belajar di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Kosugi adalah salah seorang dari sejumlah sarjana atau pakar Muslim asli Jepang, yang mengajar di berbagai universitas terkemuka di negara 'Matahari Terbit'. Mereka merupakan generasi kedua intelektual Muslim Jepang, yang kini berperan kian penting dalam diseminasi pemahaman lebih baik tentang Islam dan kaum Muslim di Jepang. Mereka kini juga aktif dalam Organisasi kaum Muslim Jepang, dan sekaligus membuat terjadinya transisi kepemimpinan Islam di Jepang; dari Muslim imigran kepada Muslim asli Jepang.
Kajian-kajian yang diselenggarakan 'Proyek Kajian Kawasan Islam' Jepang menghasilkan serial 'New Horizons in Islamic Studies'. Proyek ini menggunakan pendekatan penelitian multidisiplin tentang dinamika masyarakat-masyarakat Muslim baik yang hidup di Dunia Islam maupun di kawasan-kawasan non-Islam. Pendekatan seperti ini didasarkan pertimbangan bahwa wilayah-wilayah Muslim semakin menjadi bagian tidak terpisahkan dari dunia secara keseluruhan. Karena itu, pemahaman lebih baik tentang dinamika Islam dan kaum Muslim hanya bisa dicapai melalui kajian atas keterkaitan Dunia Muslim dengan kawasan dunia lainnya.
Kajian tentang kaum intelektual Muslim di Dunia Islam memperlihatkan jelas adanya keterkaitan-keterkaitan tersebut, baik di antara kawasan-kawasan Dunia Muslim sendiri, maupun dengan dunia lebih luas. Dan ini bisa dilihat antara lain melalui pengalaman jurnal al-Manar yang diterbitkan di Kairo oleh tokoh reformis, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) antara tahun 1898-1935.
Jurnal al-Manar tidak ragu lagi secara signifikan memengeruhi wacana dan gerakan kaum intelektual Muslim, tidak hanya di Kairo atau Timur Tengah umumnya, tapi juga bahkan wilayah-wilayah Dunia Muslim lainnya. Dalam tulisan saya yang juga dimuat dalam buku ini, saya mengemukakan, bahwa adalah jurnal al-Manar yang mengilhami dan menjadi sumber rujukan bagi jurnal al-Imam dan jurnal al-Munir yang terbit di kawasan Dunia Melayu-Indonesia.
Jurnal al-Manar, seperti dikemukakan Kosugi dalam pengantarnya, mendorong perubahan-perubahan orientasi wacana dan gerakan kaum intelektual Muslim di Dunia Islam secara keseluruhan. Dan dinamika intelektual yang menemukan momentumnya dengan penerbitan al-Manar terus berlanjut hingga hari ini dalam berbagai corak yang distingtif.
( )
No comments:
Post a Comment